Chapter 15

2K 201 13
                                    


Praditya POV

Buatku urusan anak adalah hak prerogratifnya Allah. Semua kuasa ada ditangannya. Aku sebagai manusia biasanya hanya cukup berikhtiar dan berdoa. Bukan aku tak mau program seperti yang diinginkan Cyara. Tapi buatku saat ini terlalu dini. Kami baru menikah 2 minggu, sperma yang aku tumpahkan hampir setiap hari di dalam rahim Cyara mungkin lagi berusaha juga untuk berkembang saat ini. Jadi aku masih santai. Toh, aku juga masih mau berduaan dengan Cyara. Urusan anak aku pasrah saja, biarlah Allah yang menentukan. Sambil tidak berhenti kami berdua berikhtiar.

Tapi sikap santaiku ternyata tidak diikuti oleh Cyara. Sejak masuk ke dalam mobil tadi bukan aku tidak menyadari ada perubahan padanya. Dia yang biasanya banyak bercerita tiba-tiba saja diam. Aku sudah bisa menebak sih, dia pasti kepikiran tentang kehamilan Sasti, karena tadi siang dia ijin ke rumah mama. Dan ternyata benar dugaanku. Tiba-tiba saja dia mengatakan soal kehamilan Sasti dan disusul dengan permintaannya untuk konsultasi dengan dokter Indira. Buatku itu terlalu berlebihan.

"Sayang, ngadep sini dong tidurnya. Dosa lo munggungin suami," dia mendesah lalu berbalik dan tidur miring menghadap ke arahku. Wajahnya masih cemberut. Tapi sangat lucu. Aku menariknya lebih dekat lalu memeluknya erat. Seperti biasa dia menyusup ke dadaku. Aku pun seperti biasa akan mendaratkan beberapa kecupan tepat di puncak kepalanya. "Maafin omongan aku tadi ya, gak maksud bikin kamu sedih," kataku sambil mencium puncak kepalanya lagi dan tanganku mengusap punggungnya. "Bukannya aku gak mau program, bukan! Tapi maksud aku kita tunggu beberapa bulan lagi. Kita nikah baru 2 minggu ya jelas belum ketahuan kan, siapa tahu bulan depan kita langsung dikasih cepet sama Allah, jadi santai aja dulu," kataku mencoba untuk menenangkannya.

"Kadang aku pengen kayak Mas Adit, bersikap santai menghadapi sesuatu. Tapi aku gak bisa, Mas. Apalagi aku akan jadi posisi yang paling tersudutkan. Aku bakalan jadi tersangka utamanya nanti," katanya dengan suara yang teredam dalam pelukan. Aku kembali mencium puncak kepalanya. Gila ya cium puncak kepalanya doang udah bikin aku 'pengen' tapi tahan dulu ah lagi serius nih.

"Ya terus mau gimana? Mau ngotot juga gak ada gunanya karena memang sudah dicatat waktunya sama Allah kok, kapan kita nikah, kapan kita punya anak dan bahkan kapan kita meninggal juga kan udah ada catatannya," kataku. "Aku juga sama kayak kamu, pengen banget punya anak, apalagi umurku udah gak muda lagi, tahun depan aku udah 34," kataku.

Dia terkikik, "Heem Mas Adit udah tua," katanya membuat aku terkekeh.

"Tapi aku masih kuat lo sayang buat bikin anak beronde-ronde, mau bukti?" kataku jenaka membuat dia tertawa. Lumayan kan dia bisa ketawa, gak sedih-sedih lagi. "Kemarin di lombok aja kamu yang kewalahan, jadi percayalah bahwa si pria tua ini tetap bisa membuat kamu terbang ke awang-awang sambil merem melek," kataku asal dan lagi-lagi dia tertawa.

"Hih, udah ah tidur! Omongannya suka ngerusak momen! Tadi aku baru aja mau kagum sama suami aku yang bijak, dewasa, sabar eh malah ngaco lagi ngomongnya," aku terkekeh mendengar kata-katanya. lalu mengurai pelukanku. Tanganku yang tadi memeluknya mencoba merangkum wajahnya, membubuhkan satu kecupan di bibirnya, lalu sekali lagi, sekali lagi dan satu kali lagi membiarkannya berlama-lama di sana, sedikit melumatnya dan Cyarapun menyambut ciumanku.

"Kamu harus tetap bahagia kayak gini. Gak boleh stres biar semua apa yang kita inginkan cepat dikabul Allah," kataku lalu menciumnya sekali lagi. Inget ya ini bukan kecupan tapi ciuman. Dan ciumanku semakin lama semakin menuntut malah berubah menjadi ciuman penuh gairah. Cyara terkikik dalam ciuman kami saat dia merasakan ada sesuatu yang keras di balik celanaku dan aku hanya bisa tersenyum saja. Malu sih tapi ya mau gimana lagi. Reaksi si junior emang gini kok kalau deket-deket Cyara.

Still My HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang