Chapter 28

2.1K 241 11
                                    


Aku menoleh ke arah pintu kaca dan melihat mama yang berjalan mendekatiku. Dengan cepat aku membuang puntung rokok yang baru terbakar setengah, karena aku tahu mama benci dengan asap rokok.

Weekend ini memang jadwalnya aku dan Cyara menginap di rumah mama. Kegiatan yang rutin kami lakukan sejak menikah.

Mama mendekat lalu duduk di kursi kayu di sebelahku, "Kenapa belum tidur?" tanya mama. Aku tersenyum lalu menggeleng. "Sibuk banget kelihatannya, Bang? Job foto lagi banyak?" aku hanya mengangguk.

"Alhamdulillah, Ma. Mumpung masih ada jalan untuk cari rizki," mama tersenyum lalu mengangguk.

"Syukurlah! Tapi jangan lupa kalau kamu punya prioritaslain selain cari uang," aku menoleh ke arah mama. Sepertinya ada yang curhat pada mama mertuanya tadi siang. "Umur kamu udah hampir 34, mama pikir sudah waktunya kamu mikirin untuk punya anak. Jangan Cuma pasrah, tapi harus ada ikhtiar lain, misalnya program ke dokter. Cyara bilang kamu beberapa kali batalin janji sama dokter Indira?" nah, kan bener pasti tadi siang Cyara habis curhat. Tapi tak apalah, mungkin dia butuh orang untuk bicara saat hatinya galau karena ketidakpekaanku atau karena masalah anak yang belum hadir dalam rumah tangga kami.

"Jadwal yang Cyara buat gak sinkron terus sama jadwal aku, Ma. Aku bisa, dokter Indiranya gak bisa, dokter Indira free akunya yang padat, gitu," kataku menjelaskan. Mama terlihat mengangguk-anggukan kepalanya tanda memahami apa yang aku katakan. Lalu terdengar helaan napas pelan dari mama.

"Masalah anak kadang memang jadi masalah dalam setiap kehidupan rumah tangga, apalagi buat perempuan. Sensitif," iya benar. Masalah anak sudah hampir setahun ini jadi masalah buat Cyara, dan aku sekuat tenaga meredamnya. Bukan tak jadi masalah buatku, tapi aku tak mau menambah kesedihan Cyara, apalagi saat orang-orang di sekeliling kami yang menanyakan hal ini. Aku tahu ini menjadi beban dan menyakiti Cyara.

"Mama dulu terhitung cepet dapet kamu. Cuma 4 bulan langsung dapet, sama lah kayak Sasti gitu. Pas dapet Sasti juga gak lama, begitu kamu siap, mama lepas KB dan jadi deh. Makanya mama gak bisa merasakan gimana rasanya jadi Cyara yang pasti selalu dihantui rasa takut kalau-kalau gak bisa ngasih anak, apalagi dengan keadaan dia pernah mengalami sakit. Makanya mama salut sama istri kamu yang selalu balas pertanyaan orang-orang dengan senyum aja, padahal mama yakin dia tersinggung," kata mama panjang lebar. Iya, mama memang benar, Cyara terhitung kuat menghadapi semua, apalagi akhir-akhir ini. Aku selalu sibuk dan terkadang tak paham bagaimana perasaan Cyara. Ya seperti pagi tadi. Saat dia butuh aku peluk dan ditenangkan, aku malah cuek, pergi begitu saja sampai dia mungkin berpikiran negatif.

"Kehidupan itu misteri, Bang. Kita gak akan tahu apa yang terjadi dalam kehidupan kita besok, jadi mama harap apapun yang terjadi jangan pernah sakitin Cya. Kamu harus jadi yang paling sabar menghadapi semuanya," aku mengangguk. "Coba ikhtiar yang lebih giat lagi, Bang. Mama yakin Cya mau memberikan yang terbaik buat kalian, termasuk berusaha untuk melakukan program kehamilan,"

Aku menghela napas, "Aku bukan gak mau mama, tapi waktunya gak pas aja. Pernikahan aku sama Cya udah setahun dan aku rasa memang sudah saatnya aku sama Cya buat program, sekalian agar kita tahu juga aku sama Cya sehat atau enggak. Tapi ya itu tadi, waktunya gak pas terus," kataku. Ya mau beralasan apalagi coba selain memang mengatakan hal itu.

"Ya makanya kamu yang harus sedikit mengalah, longgarkan waktu, toh Bagas udah bisa handle kerjaan kan biasanya?!"

"Kerjaan akhir-akhir ini padat, Ma. Jadi kerjaan au bagi-bagi sama Bagas dan Yusril, karena kalau Cuma mereka yang pegang kayak dulu gak akan ke handle makanya ada beberapa kerjaan yang aku handle secara langsung," kataku menjelaskan. Mama mengangguk.

Still My HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang