"Jarak tali layaknya kaki yang menyentuh bumi, menjadi gravitasi yang memudahkan diri ini untuk mengerti bahwa semua ini hanya halusinasi."
🎭🏵🎭
Secangkir kopi yang ia bawa di balkon kamar seperti menemaninya dalam kesunyian. Banyak pemikiran yang terus saja membelenggu benak Regan. Seragam sekolah yang masih terpakai dengan bercak darah, setia ia kenakan tanpa ada niatan untuk digantikan. Entah malas atau sengaja dikenakan.
Hembusan napas lelah Regan bergabung bersama dengan angin malam. Geram yang sampai saat ini ia rasakan, terus saja tenggelam dalam pikiran. Tak juga hilang dan teringat perlahan, kejadian yang menyeramkan sampai membuat Regan rasanya ingin hilang dalam kegelapan.
Hembusan perlahan kini ia berikan kepada angin malam yang ikut terbang merasakan. Jutaan bintang yang biasanya terang, sekarang hilang dan terbenam dalam langit gelap yang hitam. Rasa bersalah yang terasa, terus mengusik ia yang mencoba membawa kedamaian yang terus rusak.
Jujur saja kejadian siang yang terang, begitu membuatnya tak menduga akan terjadi hal yang tak ia inginkan. Pertama kali dalam hidupnya Regan merasa ia gagal membuat rencana. Semuanya ancur begitu saja. Menyesal dan khawatir terus terasa hingga sampai saat ini. Apalagi gadis yang ia lindungi sampai berada di rumah sakit dan di rawat yang katanya hanya butuh tiga hari. Tentu saja tak membuat Regan tenang.
Baginya kata rawat sudah ia anggap sebagai ruangan orang sakit sebelum ruang ICU atau ruang jenazah. Mengartikan bahwa Vrena sudah siaga satu dan sudah berada di tengah kematian.
Pemikiran yang mungkin bisa dianggap menyeramkan namun bisa dijadikan sebagai awasan dan membuat Regan harus lebih hati-hati lagi. Dan tak mau kejadian ini kembali terjadi di kemudian hari. Cukup ini dan hanya satu kali.
Tatapan elang Regan terus tertuju pada halaman rumah yang ber-embun akibat hujan kecil yang beberapa menit lalu menyiram hampir seluruh kota. Lumayan, untuk menenangkan pikiran Regan yang penuh dengan kekhawatiran yang jadi terasa menyebalkan.
Tatapan elang yang semula tertuju pada halaman kini berganti kepada ponsel berdering yang sedang ia genggam.
Nana is calling
Rasa panik mulai menjalar saat nama itu menghiasi layar ponselnya. Ada sedikit permohonan agar panggilan itu hanya ilusi bualan mata. Tapi berkali-kali ia lihat kembali, ponselnya terus berdering bernamakan nama khas yang ia buat satu tahun yang lalu.
Regan menghembuskan napas lalu dengan ragu ia memencet bentuk bulat berwarna hijau di pinggir kanan layar.
"Ha... lo?" ragu Regan.
Sapaan yang Regan berikan tak dijawab di seberang sana, malah yang terdengar adalah sebuah napas tak beraturan yang terdengar jelas, seperti napas seseorang yang baru saja berlari berjam-jam dengan jarak kilometer jauhnya. Atau... mungkin itu yang terjadi?
"Aku gak tau.... hhh... hhh... kenapa pas aku cari nama kamu di kontak... hhh... hhh... bener-bener ada dan muncul... hhh... tapi, yang harus kamu tau... sekarang... hhh... aku... hhh... di... minimarket deket rumah sakit... dan di belakang aku... ada Deran... tolongin aku Regㅡ"
Tut tut
Panggilan yang terputus begitu saja semakin membuat Regan bingung harus bagaimana. Secara ia masih tak mengerti kenapa Vrena menghubunginya dan... tunggu, gadis itu bilang apa? Mini market? Maksudnyaㅡbagaimana mungkin? Bukannya seharusnya Vrena terbaring lemah di brankar rumah sakit.
Regan menatap tajam gelas cangkir yang ia genggam, lalu meremasnya kesal. Lelaki itu dengan cepat membalikkan badan dan melangkah masuk kembali ke dalam kamar. Jacket track top adidas berwarna biru dongker yang setia tergantung di gantungan hitam dekat lemarinya kini ia kenakan. Lalu mengambil sebuah kunci motor yang selalu ia simpan di laci nakas.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Time For Revenge
Teen Fiction(WARNING!) Typo bertebaran Banyak kata-kata kasar (jangan dicontoh tapi dinikmatin aja). My first story 🎭🏵🎭 CERITA YANG BERDIRI SENDIRI Rahasia Sebuah rahasia yang sampai saat ini dijadikan sebagai topik hangat oleh Blue Sky High School. Sebuah...