Chapter 12

820 92 6
                                    

Skuy!
Selamat membaca 😊

***

Gartha memukul kursi taksi dengan emosi, ia gagal mengejar taksi Sasa. Taksi Sasa berjalan sangat cepat, sedangkan taksinya berhenti di tengah jalan. Gartha berteriak kesal kepada si sopir taksi. Sopir taksi hanya diam dan mengecek mobilnya.

Sopir taksi itu turun, disusul oleh Gartha. Gartha menunduk ke bawah melihat ada masalah apa dengan mobil taksinya. Sopir taksi berjalan membuka bagian depan mobil, muncul kumpulan asap disana. Mereka berdua batuk karena asap itu.

"Mobil saya mogok, Mas!" ucap sopir taksi itu.

"LAIN KALI KALAU PUNYA MOBIL, YANG BENER DONG, PAK!" ucap Gartha tak tahu malu.

"Mas pergi saja. Jangan naik taksi saya lagi." Sopir taksi itu kesal dengan ucapan Gartha yang seenaknya marah-marah saja.

"Ini bayarannya." Gartha memberikan uang kepada laki-Laki itu lalu pergi.

Gartha memesan ojek online untuk kembali ke tempat ia meletakkan motornya tadi. Ia dengan cepat langsung naik di bagian belakang ojek itu. Ojek online berseragam hijau membawa Gartha dengan cepat. Tak sampai setengah jam, Gartha sudah sampai pada tempat tujuannya. Cowok itu cukup lega, ia mengira motornya sudah tidak ada di tempatnya lagi.

Kini, Gartha sudah berada di dekat motornya. Ia memakai helmnya, lalu menyalakan motornya. Gartha memilih untuk tak mengejar Sasa lagi, ia melaju menuju rumah sakit.

Gartha memarkirkan asal motornya di area parkir rumah sakit. Ia memang tak peduli dengan aturan. Satpam bertubuh gemuk yang mengawasi kendaraan, melihat apa yang sedang dilakukan Gartha. Satpam itu murka dan langsung berjalan cepat ke arah Gartha yang baru saja ingin melepaskan helmnya.

Satpam itu sudah berada di damping Gartha. Ia melirik Gartha dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satpam itu menggeleng-geleng melihat anak muda yang kelakuannya tidak beres. Gartha sudah melepaskan helmnya. Ia menyadari kehadiran laki-Laki berbadan gemuk di sebelahnya.

"Eh Bocah!" Satpam itu menepuk pundak Gartha dengan keras. Gartha mengernyit keheranan.

"Ada apa? Minggir, saya mau lewat!" ucap Gartha ketus. Kelakuan Gartha semakin hari semakin aneh dan mencari masalah. Satpam itu semakin terkejut dengan respon Gartha yang tak menyadari apa-apa.

"Kalau memarkirkan motor yang benar dan baik! Jangan asal parkir! Kamu masih sekolah, kan? Masa anak sekolah tidak tahu aturan!" Pak Satpam mulai mengoceh.

"Saya gak suka diatur-atur, Pak!" balas Gartha.

"Saya hanya minta kamu memarkirkan motormu dengan benar!" suara pak satpam tak kalah besar.

"Oke, oke, jangan bicara lagi, Pak! Saya gak suka denger suara Bapak!" Gartha rupanya sudah keterlaluan dengan ucapannya.

Gartha segera memarkirkan motornya ke arah kumpulan motor pengendara lain. Satpam yang sudah dipenuhi dengan amarah, mencoba untuk lebih tenang dan sabar. Ia harus bersikap sewajarnya saja. Gartha pergi tanpa berbicara dengan satpam itu lagi.

Gartha memasuki pintu utama rumah sakit sambil bersiul dengan ria. Ia menyusuri sisi demi sisi rumah sakit mencari kamar yang ia tuju. Langkahnya berhenti di depan sebuah kamar dengan nama Kamar Melati No. 06. Ia memutar pegangan pintu lalu masuk ke dalam.

Tampak seorang wanita tua yang sedang terbaring lemah dan pucat diatas kasur rumah sakit. Wanita itu terlihat damai dalam tidurnya, nafasnya teratur, meskipun sebenarnya tubuhnya tersiksa dengan penyakit yang ia miliki. Dia adalah Astrid, Mama Gartha.

Setelah memasuki ruangan, raut wajah Gartha sangat berubah, dari yang terlihat kuat dan jahil menjadi tatapan yang lemah dan gelisah. Ia sangat menyayangi mamanya. Apapun akan ia lakukan untuk seseorang yang telah melahirkannya di dunia ini. Gartha membelai rambut mamanya. Gartha hampir menitikkan air mata, namun ia tahan sekuat mungkin. Ia tak mau menangis di hadapan orang yang ia sayangi.

Gartha beralih pada tangan mamanya, ia mengelusnya lalu menciumnya pelan. Gartha begitu cemas dengan keadaan mamanya saat ini. Ia tak ingin mamanya pergi dan meninggalkannya seorang diri. Hanya mamanya yang ia punya sekarang.

Gartha mendengar suara pintu dibuka, muncul seorang dokter muda cantik disana.

"Saya periksa Mama kamu dulu, ya," ucap wanita itu dengan santun.

Gartha menggeser, mempersilakan dokter itu memeriksa kondisi ibunya.

"Mama saya kenapa, Dok? Apa kankernya tambah parah?" tanya Gartha setelah dokter menyelesaikan pemeriksaan.

"Iya, kanker di paru-paru beliau semakin menyebar. Mama kamu harus menjalani kemoterapi dengan rutin mulai besok," jelas dokter muda itu.

"Baik, Dok. Tapi Mama saya akan pasti akan sembuh, kan, Dok?" tanya Gartha penuh harapan. Ia menanti kata 'Iya' dari dokter itu.

"Hanya Tuhan yang tahu. Kamu harus bersabar dan mendoakan Mamamu setiap saat." Dokter itu pergi meninggalkan ruangan.

Hati Gartha terasa sangat pedih, ia tak siap jika harus kehilangan lagi. Ia sudah terpuruk dengan kehilangan dua orang yang ia cintai. Seseorang di masa lalunya juga berubah dan meninggalkannya. Apakah ia harus rela kehilangan lagi? hati Gartha bertanya-tanya.

Gartha merasa frustasi, semakin ia terus merasa kehilangan, sifat buruknya akan semakin terbentuk. Gartha memegang kepalanya dengan kedua tangannya, lalu duduk di lantai, tubuh bagian belakangnya menempel di dinding. Gartha terus melihat ke arah Mamanya, wanita itu belum juga sadar sejak pingsan di rumah tadi. Sekarang,  ia sangat menginginkan keajaiban dari Tuhan untuk segera memberikan kesembuhan pada Mamanya. Saat ini, ia merasa Tuhan sudah tidak adil lagi.

***

"What? Serius lo?" Raya terkejut.

Sasa pura-pura tidur lalu mendengkur keras. Sasa tersenyum, ia menduga Raya pasti sungguh penasaran dengan apa yang ia katakan baru saja. Raya merasa sedikit kesal lalu mengambil bantal berbentuk hati yang berukuran besar, ia lemparkan ke arah wajah Sasa. Sasa langsung terbangun dan tertawa lepas.

"Mau tau?"

"Nggak!" jawab Raya berbohong.

"Yaudah, gue tidur dulu, ya," Sasa hendak membaringkan tubuhnya lagi. Namun, Raya menahannya.

"Ya, iyalah, Sa. Gue kepo nih, kok lo ketemu sama cowok gila itu sih? ceritain dong. Dia gangguin lagi? Sampai jadi murung kaya tadi? Wah, tenang, gue besok bakal kasih pelajaran tinju tendang buat dia!" Raya mengoceh sekaligus emosi dengan sangat antusias.

Sasa tertawa lagi mendengar ucapan Raya yang berlebihan. Seketika Sasa melupakan kesedihannya. Raya memang selalu terdepan jika menyangkut masalah sahabatnya.

Sasa sangat senang memiliki sahabat seperti Raya. Meskipun Raya cewek yang tomboy, namun ia sahabat yang sempurna untuk Sasa. Raya selalu bisa membuat Sasa bangkit, Raya selalu hadir untuk membelanya dan melindunginya. Begitupun juga dengan ketiga sahabatnya yang lain, Keyfa, Vina dan Bianca.

Raya terus meringis dan memaksanya, Sasa terpaksa harus menceritakan segalanya sekarang. Raya mulai menyimak dengan wajah fokus dan serius.

***

Gimana puasanya? 🤔
Lancar? Alhamdulilah dong.
Semangat selalu, ya! 😍

Tunggu update selanjutnya! 💕

Dear Trouble Maker (Completed)  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang