expectations

23 5 0
                                    

(a/n)
nyalain video di media for extra something ya wa. sebetulnya lagu itu kurang nyambung sama cerita ini, tapi vibe nya dapet imo dan ku ngehalunya emang sambil dengerin itu. tadinya ku belum mau bikin lanjutan cerita si nopal nana, tapi ku gregetan jadi yaudala. enjoy ehe xx

"Bunda ngerti Adek mau cepat selesaikan pendidikan, dan Bunda dukung itu. Sangat dukung. Tapi jangan sampai Adek lupa dengan kehidupan Adek di luar sekolah, Sayang."

"Adek nggak lupa kok Bun, buktinya Adek suka main ke rumah Abang dan Kakak, sesekali juga bakal pulang ke Malang ketemu Bunda-Ayah,"

"Maksud Bunda, kehidupan cintamu itu lho, Dek."

Nana tercenung. Betul-betul tak tahu bagaimana harus menanggapi ucapan ibunya.

"Umur adek 24, dan belum pernah punya hubungan serius. Memang belum tua, tapi pendidikan spesialis Adek sendiri bisa baru selesai saat umur Adek 28. Belum lagi internship satu tahun sebelum Adek bisa mulai praktek sendiri.

"Bukannya Bunda nggak percaya Adek bisa dapat jodoh di usia 29, tapi kalau Adek nggak mulai memikirkan soal ini dari sekarang, Bunda takut Adek akan terlambat sadar."

"Iya, Bun.."

"Nggak ada salahnya 'kan, punya support system tambahan untuk menemani Adek meraih cita-cita?"

---

"Bunda emang bener sih, Dek. Lo itu cantik, pinter, calon dokter. Pasti banyak cowok yang mau. Lo-nya aja yang otaknya kuliah melulu."

Aku baru tersadar sekarang. Terutama setelah Kakak memperjelas poin Bunda. Hidupku sejak pindah ke Malang memang tidak jauh-jauh dari belajar, kuliah, belajar, kuliah.

Walau bisa kubilang, semua itu sepadan. Aku lulus kuliah dalam tiga setengah tahun, selesai koas satu setengah tahun. Internship satu tahun, dapat SIP, dan sekarang baru saja mulai sekolah spesialis. Jika semua berjalan lancar, targetku untuk menjadi dokter anak sebelum umur tiga puluh akan tercapai.

Tapi jika aku terus menjomblo begini, resikonya ya jadi perawan tua.

Bukannya aku tidak pernah pacaran. Aku sempat pacaran ketika semester tiga dulu, cukup lama. Enam bulan sebelum Denny --mantanku, selingkuh karena dia merasa aku tidak ada waktu untuknya.

Maksudku, jika seseorang yang sebidang denganku, yang harusnya sama sibuk denganku saja bilang bahwa aku tidak punya waktu buatnya, berarti aku benar-benar parah, 'kan?

Febby bilang, aku harus membenahi pola hidup. Dan waktu itu, aku hanya menanggapi dengan "Nggak ada yang perlu dibenahi, kok. Gue oke-oke aja hidup begini."

Songong memang. Sekarang, aku mahasiswi spesialis yang ketika lebaran kemarin sudah mulai ditanya, "Kapan nikah?" dan hanya bisa cengar-cengir.

Oke kalau cengar-cengir tapi punya pacar. Ini?

Kupandangi tumpukan buku dan layar laptop di atas meja, perlahan meneguk iced asian dolce latte yang isinya tinggal separuh.

Starbucks Cik Ditiro sore ini menjadi saksi bisu lamunan berkedok belajarku.

"Pak Naufal Hasibuan, ya?" kudengar seorang pria 40-an tahun yang baru datang menyapa laki-laki lain yang sudah duduk di ujung lain ruangan sejak lima belasan menit yang lalu. Percakapan itu terdengar jelas karena tempat ini sedang tidak ramai.

"Betul Pak. Dengan Pak Harris, ya?"

Aku membelalak.

Suara itu. Lebih berat dari enam tahun lalu, namun aku masih dapat mengenalinya dengan jelas.

piecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang