as you wish

34 6 2
                                    

(a/n)
biasa wa, nyalain video di media for extra something. i hope you enjoy reading this as much as i enjoyed writing it. semoga suka xx


"Juno,"

"Iya, Lia?"

"Aku mau sama Juno, selamanya."

"As you wish, my love."

---

Juno perlahan membuka mata, merasakan sakit yang teramat sangat di sekujur tubuhnya. Kepalanya seakan mau pecah, telinganya berdenging, pandangannya kabur. Ia tak dapat merasakan kakinya, dadanya seakan remuk.

"Lia.." elunya pelan, hampir tak terdengar.

Sosok berambut panjang itu adalah hal pertama yang muncul ketika penglihatannya membaik. Terbaring di aspal, tak bergerak sepelemparan batu di hadapan Juno.

Dengan segenap sisa kekuatan, Juno beringsut mendekati gadis itu. Dengan setiap gerakan yang dibuatnya, beribu rasa sakit baru menghunjam tubuh Juno. Luka menganga di kepalanya berdenyut tajam, darah segar terus mengaliri pelipisnya. Seluruh tubuhnya seakan hancur, setiap tarikan nafas menghasilkan sakit yang teramat menusuk di dadanya. Ia tak dapat berpikir jernih.

Namun ia harus menggapai kekasihnya.

"Lia.."

Susah payah, pemuda itu terus menyeret tubuhnya mendekati gadis bermantel kelabu yang kini terbujur kaku. Hujan deras yang terus mengguyur memperburuk sakit di kepala Juno, tiap tetes air yang mendarat di lukanya laksana jarum bersalut garam.

Jarak mereka kini cukup dekat hingga Juno mampu meraih tangan gadisnya, menggenggamnya lemah.

Tangan kecil itu dingin. Entah karena hujan, atau tanda telah hilangnya sebuah kehidupan. Juno tak peduli. Ia coba mengguncang tangan itu, berharap akan mendapat sebuah pertanda, apapun itu, bahwa Lia akan baik-baik aja.

"Lia.." kembali Juno memanggil, suaranya serak dan sulit sekali baginya untuk sekadar bernafas. Tidak hanya dadanya seakan remuk tiap kali ia menarik nafas, namun paru-parunya juga seakan berhenti bekerja sedikit demi sedikit.

Juno tak percaya semuanya jadi seperti ini.

Ini adalah hari jadi mereka yang ketiga. Tiga tahun sejak Juno meminta Lia untuk menjadi miliknya. Tiga tahun sejak Lia menjawab iya.

Sebelum Lia datang, hidup Juno berantakan. Ibu Juno mengakhiri hidupnya ketika usia Juno baru menginjak delapan tahun, dengan adik Juno yang berusia delapan minggu di dalam kandungannya. Ayah Juno adalah lelaki kasar yang tak pernah absen memukuli istri dan anaknya.

Berkali-kali Juno berusaha mengakhiri hidupnya, dan berkali-kali pula ia gagal.

Perilaku sang ayah baru terungkap oleh keluarga besar ketika usia Juno enam belas tahun, dan sejak saat itu pula Juno dirawat oleh bibi dan pamannya.

Mereka merawat Juno dengan amat baik, namun luka di tubuh maupun hati Juno tak dapat hilang begitu saja. Hidup telah membentuk Juno menjadi seorang yang tertutup dan kerap menyakiti dirinya.

Kemudian Lia hadir sebagai musim semi, mengakhiri musim dingin yang semula Juno pikir abadi.

Miracle, that's what Lia is to Juno. Lia berdiri di hadapan Juno sebagai semburat cahaya bagi gelap dunia Juno. Memberi Juno kekuatan dan membangun sepotong hati yang baru untuk Juno.

Lia adalah bidadarinya. Keajaiban yang Tuhan hadiahkan untuknya.

Juno masih ingat kejadian tadi. Ketika mereka berkendara dengan sepeda motor Juno, menyusuri jalanan sepi dengan senyum terukir di wajah keduanya. Tawa yang mereka bagi bersama. Sepasang lengan Lia yang erat memeluk pinggang Juno. Dagu Lia di bahunya, tanpa helm yang menghalangi sentuhan kepala mereka.

"Selamat tiga tahun," begitu ujar Lia dengan suara merdunya.

"Aku cinta kamu," Juno menatap mata cinta dalam hidupnya melalui kaca spion, "Selamat tiga tahun."

"Aku mau sama Juno, selamanya." Lia mengucap kalimat yang tak bosan diulang-ulangnya, ikrar mereka.

Senyuman tak luput dari parasnya ketika menjawab seperti yang selalu dilakukannya, "As you wish, my love."

Ketika keduanya tengah tenggelam dalam lautan rasa, sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan.

Sembari membenamkan kepalanya di bahu Juno, Lia menjerit ketakutan, "Junooo!"

Juno buru-buru membanting stir ke arah kiri, namun terlambat. Truk itu terlanjur menghantam keras motor Juno, menyebabkan Vespa itu beserta kedua penumpangnya masuk ke kolong truk. Juno dan Lia terlempar menjauh dari satu sama lain, keduanya terlindas roda truk yang menabrak mereka.

Kemudian truk itu pergi seolah tak terjadi apa apa.

"Lia.." Juno kembali memanggil lemah, "Lia bangun.." air mata mengaliri pipinya yang penuh luka.

Bidadarinya tak bergeming. Matanya terpejam rapat, bekas darah yang tadi keluar dari mulutnya ketika tubuhnya terlindas masih terlihat walau telah diguyur hujan. Bibirnya pucat, cenderung biru. Tubuhnya kaku, tangannya masih dalam genggaman Juno.

Luka di kepala Juno yang semula berdenyut hebat, kini mati rasa. Ia masih tak bisa merasakan kakinya, seakan yang tersisa dari tubuhnya hanya perut hingga kepala.

Namun dengan sakit yang sehebat ini, diam-diam Juno berharap agar sekujur tubuhnya ikut mati rasa.

Dengan Lia yang tak lagi menunjukkan sedikit pun tanda kehidupan, Juno berharap agar ia juga diambil saja.

Juno tak ingin hidup tanpa Lia. Juno tidak bisa.

Pemuda 21 tahun itu menggunakan sisa kekuatan terakhirnya untuk mengeratkan genggamannya pada tangan sang pujaan hati. Memejamkan matanya, merasakan dirinya melebur dengan Lia.

Hujan deras yang sedari tadi membasahi pelataran Bumi kini mereda, seiring dengan melambatnya detak jantung Juno. Tubuhnya perlahan berhenti menggigil. Nafasnya yang semula menderu, kini terhembus pelan-pelan, satu-satu.

Tiga tahun terakhir ini merupakan yang terbaik dalam hidupnya. Semua karena Lia. Semua karena kehadiran Lia yang selalu ada di sisinya.

Adalah Lia, yang membuat Juno merasa bermakna.

Adalah ingatan tentang senyuman Lia, yang membuatnya rela.

Benar adanya, bahwa hidup telah menyuguhkan Juno bagian terbaik sebelum semuanya mencapai akhir.

Kamu nggak perlu tunggu aku, Lia.

Kita akan bersama, selamanya.

Malam itu, seorang ksatria telah pergi bersama bidadarinya.

(a/n)
vomments klen sungguh berarti buatku ehe xx

love,
t.

piecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang