untold

27 6 0
                                    

(a/n)
this time gaada video di media, wa. but this oneshot is inspired by my friend b0ubblegurls and her friends' unreleased song, "untold". enjoy ehe xx

Aku mengenal Naufal sejak kami kecil. Keluarganya pindah ke rumah sebelah ketika aku berusia lima tahun, yang mana waktu itu umur Naufal enam tahun.

Naufal dan aku yang memang pada dasarnya mudah bergaul, dengan mudahnya jadi akrab. Kami keluar main sepeda bareng keliling komplek setiap sore, memetik bunga asoka di dekat taman dan mengisap madunya. Bolos tarawih bareng dan malah main petasan dengan anak-anak lain ketika orang-orang di mushalla sedang shalat witir --kebiasaan yang selalu kami jaga hingga Naufal masuk SMP. Mengejar-ngejar mbok jamu, minum buyung upik setidaknya tiga kali seminggu. Sampai memulai rumor di antara anak-anak komplek bahwa rumah blok 35 nomor 22 berhantu --kemudian sok membuat uji nyali, yang menyebabkan lima teman kami lari terbirit-birit padahal nggak ada apa-apa.

Singkatnya, aku mulai suka Naufal ketika usiaku sepuluh tahun.

Iya, sepuluh. Tahun. I know, that's messed up. Bisa-bisanya seorang bocah umur sepuluh tahun sudah naksir cowok. But that's the truth, though. As weird as it sounds.

Naufal yang saat itu sedang dalam persiapan UN SD jadi dibatasi waktu mainnya oleh kedua orangtuanya. Naufal hanya boleh main keluar dua kali seminggu, dan jatah dua kali itu selalu dihabiskannya bersamaku.

"Gue bisa senang-senang cuma pas sama lo, Na." Bayangkan betapa bahagianya aku yang berumur sepuluh tahun, sedang naksir Naufal, ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulut Naufal yang cemberut.

Kemudian, Naufal masuk SMP. Kami jadi jarang main bareng. But when we do hang out, it's always a good time. Kami masih sangat menikmati kehadiran satu sama lain tanpa rasa canggung walau intensitas pertemuan kami tidak lagi seperti dulu.

Aku masuk SMP yang sama dengan Naufal. Saat aku kelas tujuh, aku selalu pulang bersama Naufal dan supir keluarganya ketika Bunda atau supir keluargaku sendiri tidak bisa menjemput. Begitu juga sebaliknya, Naufal selalu pulang denganku ketika tidak ada yang jemput. Jadi, selain aku dan Naufal yang kadang diminta mengantarkan sesuatu ke rumah satu sama lain oleh ibu-ibu kami, sesi-sesi pulang bareng itulah saat kami banyak bicara.

Kelas sembilan adalah pertama kalinya Naufal punya pacar. Dan mengingat dirinya yang terkenal ganteng di sekolah, aku tak perlu mengetahui langsung darinya karena tiga angkatan langsung gempar dengan berita itu.

Patah hati pertamaku.

Dan sejak saat itu, aku dan Naufal tidak pernah saling bicara lagi, meski kami akhirnya bersekolah di SMA yang sama. Hanya sapaan-sapaan canggung yang sesekali di koridor sekolah, atau ketika kami bertandang di rumah satu sama lain mengantarkan titipan ibu kami. We both have a really good reputation at school, tapi itu tidak mengubah apa-apa. Aku dengan duniaku, Naufal dengan dunianya.

Yet I still love him. Berkali-kali Naufal ganti pacar dan aku menyaksikannya. Menangis dalam diam.

Berandai-andai, jika saja aku salahsatu dari gadis-gadis cantik itu, aku pasti sudah menyatakan cintaku pada Naufal sejak lama. Jika saja aku tidak setakut ini akan penolakan. Jika saja.

Namun di sinilah aku, termenung di balkon kamarku, menyaksikan Naufal dengan baju rapih dan seikat bunga di tangan, masuk ke mobilnya dan berangkat menjemput gadisnya untuk pergi kencan --sepertinya.

Kisah cintaku pilu dan penuh perandaian. Tanpa pernah tahu, berapa lama aku harus memendam rasa ini sendiri.

---

piecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang