Sekitar duapuluh menit berjalan kaki, akhirnya telapak kaki berpijak pada tanah kering. Terbentang lapangan luas dengan butiran debu yang memekakkan penglihatan. Di sampingnya sungai dengan aliran air yang sangat deras. Menghantam ribuan batu yang masih kuat bertengger di hamparan sungai.
“Nah, alhamdulillah kita telah sampai di tempat camp. Di dekat sungai Gede Tujuh. Kita bisa mendirikan tenda di sekiran sini, ya! Posisinya, untuk akhwat sebelah kanan, untuk Ikhwan sebelah kiri. Panitia di depan sini, saja!” Pak Wahid memberikan arahan kembali.
Seluruh peserta dan panitia kini tengah duduk di atas tanah tanpa alas. Ada yang minum, makan, atau hanya sekadar mengistirahatkan diri.Setelah dirasa istirahat sudah cukup, peserta mendirikan tenda bersama teman sekelompoknya. Termasuk kelompok Akhwat 2 yang diketuai oleh Siti.
“Kita mah bangun tendanya di sini aja, yuk! Ukhty Delia bawa tenda dome, ‘kan?”
“Iya, bawa!”
“Mana tendanya, Ukh?”
“Tas Dede Emesh dibawa sama si Dzaky.”
“Oh, ya sudah! boleh dibawa dulu gak, Ukh?”
“Lu nyuruh gue?” tanya Delia sinis.
“Gak! M-maksudnya, ‘kan itu teh barang bawaan Ukhty Delia. Masa dibawanya sama saya!”
Awalnya Delia menolak untuk mengalah, tapi ia kembali berfikir bahwa jika ia menemui Dzaky, pasti ada si Aa Bidadara. Karena mereka termasuk panitia Ikhwan.
“Ck … ya udah gue ambil!” Delia mulai mencari-cari sosok Dzaky.
Namun, yang pertama kali ditemuinya adalah Aa Bidadara dan Satria. Meski mereka sedang membelakangi Delia, tapi ia tahu betul itu pasti mereka.
“Mereka ngapain mojok di situ? Wah… gak bisa dibiarin, nih! Jangan-jangan mereka ….” Delia dengan cepat mengendap-endap menghampiri mereka berdua.
“Pokoknya, hari ini lu harus terus jaga dia tapi tetep harus bersikap dingin, oke! Kalo bisa, kasih dia kode apa kek seolah lu suka sama dia, biar seneng,” ujar Satria berbisik-bisik pada Aa Bidadara.
“Ok, asal duitnya ditambah, dong!”
“Iy—“
“Duarrrr, mamang! Hayo … lagi ngapain kalian bisik-bisik berdua, hahh? Apa jangan-jangan kalian … kalian … kaliaaannn!” ujar Delia mendramatisir suasana.
“Apaan sih, Delia! Dateng-dateng bikin orang kaget,” ketus Satria.
“Lah, terus kalian ngapain mojok di sini?”
“Bukan urusan lu! Lah elu ngapain di sini?” Satria balik bertanya.
“E-eh … ada Aa Bidadara. Kirain malaikat ‘tak bersayap, ihiyy!” Delia ‘tak memedulikan pertanyaan Satria, ia malah fokus pada pria yang ia sebut Aa Bidadara.
Nahas, yang difokuskan malah pergi begitu saja, masih setia menampakkan wajah datar dan dinginnya.
“Ih … Aa Bidadara! Kok Dede Emesh dikacangin, sih?” rajuk Delia.
“Bhahah! Kacang gurih dua ribu lima ratusan, tanpa dikacangin yang bisa bikin hati perih ‘tak karuan!” ucap Satria dengan memperagakan gaya Kang Sayur sedang berjualan. Lantas pergi meninggalkan Delia dengan wajah yang dibuat berkerut-kerut dilanda amarah tertahan.
“Ukhty Delia, ini tas punya Ukhty!” Seseorang berhasil mengejutkan Delia dari belakang.
“Dzaky! Lu gak ada akhlak banget, ya! Dateng-dateng bikin orang jantungan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar Bikin Iman Akhy Ambyar [TELAH TERBIT]
Novela JuvenilBerawal dari hijrah dengan niat yang salah. Mencari perhatian dan cinta dari seorang Aa Bidadara dengan merubah diri menjadi seorang Ukhty tertutup seperti pada umumnya, berusaha keluar dari penampilan sangar. Tapi, kok ... malah jadi barbar? Terlep...