Bab 20 - Secret of Dzaky

982 98 38
                                    

Berkali-kali, mau Satria atau Delia, mengharapkan takdir sedang melakukan aksi prank. Takdir-Nya mampu mengubah rencana Satria.

Lelaki mana yang akan tanpa lelah memperjuangkan cintanya, saat orang yang diperjuangkan kini ‘tak bisa lagi diharapkan? Mengejar cinta sendirian, meski ‘tak mendapat balasan. Tentu hal ini sangat menyakitkan, terlebih hidup wanita yang diidamkan kini ada yang mau menyempurnakan. Hanya bisa teringat apa yang dikatakan Kang Parkir jalanan, “Mundur, yuk! Mundur!”

Begitulah kiranya yang dirasakan oleh pemuda yang kini dilanda ambyar beberapa pekan terakhir, Satria. Jika pun takdir mau bekerja sama, mungkin ia akan menyuapnya meski harus menguras isi dompet. Apalah arti uang bagi Sultan? Tapi apa daya? Khayalan bertolak dengan kenyataan.

Lalu, apa kabar dengan Delia? Dengan segala keresahan dalam hatinya, ia terpaksa menerima paksaan keadaan. Mencoba ikhlas, mungkin ini bentuk cobaan dari Tuhan. Sama seperti perempuan lain, tentu ia meringis merasakan hati yang teriris. Menangis saat perlakuan sederhana Satria yang mampu membuat bahagia kembali berlayar melintasi dermaga fikirannya.

Dua manusia itu kini berjalan pada arah masing-masing. Mencoba untuk ‘tak lagi saling mengacuhkan. Meski pada dasarnya, ada hati yang masih melebam.

Pagi ini, Delia ‘tak perlu pergi ke kampus pagi-pagi. Toh, Satria pasti ‘takkan mencarinya lagi.

Setelah shalat Subuh, Delia memutuskan untuk bersepeda keliling komplek perumahan. Ia mulai mengayuh sepeda keramatnya yang kini telah berdebu, karena sangat jarang ia gunakan lagi. ‘Tak lupa ia mengenakan hoddie peach kesukaannya, mengingat hari masih sangat pagi dan terasa sangat dingin. Telinganya telah dikaitkan ear phone yang tersambung ke gawainya, hingga dapat didengar dengan jelas lantunan shalawat yang berputar merdu.

Dari luar, memang Delia terlihat bungkam. Tapi tidak hatinya. Dia menyamai irama shalawat yang mampu membuat hatinya sangat bahagia.

Ckiiittt

Sepeda itu direm paksa, terhenti pada sebuah tempat yang begitu terasa menenangkan. Rembulan bisa dilihatnya dengan jelas dari sana. Langit masih kelam, hingga cahayanya mampu menerobos awan.

Delia menatap ke atas. Ada kebahagiaan tersendiri di dalam hati saat melihat cahaya itu. Sesak di dadanya mulai memudar secara perlahan. Sejenak, ia menutup mata, merasakan angin pagi hari yang berembus menjenjangi kulit wajahnya. Sedikit berandai, jika suatu hari ia bersama kekasih halalnya menatap rembulan bersama. Indah.

“Hai!” Sapaan itu mangusik ketenangannya. Delia menoleh ke arah sumber suara.

“Rehan?”

Nampak pemuda itu tersenyum manis ke arahnya.

“Ternyata kamu juga suka menatap rembulan, ya!” tebaknya benar.

“Iya. BTW, kamu lagi ngapain di sini?”

“Iseng-iseng aja olahraga, cari udara segar gitu.”

“Oh. Kabar kamu sama Gendis gimana? Kok, sekarang jarang kelihatan?”

“Cukup baik, sih ….”

“Kok, ragu?” selidik Delia saat melihat ada keraguan di sudut matanya.

“Aku mau jujur sama apa yang terjadi selama ini. Delia, aku dibayar Bang Satria buat dek—“

“Gak usah dibahas lagi, Delia dah ikhlas, kok. Semoga hubungan kamu sama Gendis bisa sampe pelaminan, ya! Ditunggu loh undangannya,” kelakar Delia.

“Eh, kita dah putus!”

“Hah? A-apa? Kok, bisa?” Delia terbelalak bukan main, mengingat ia sangat tahu betul bagaimana mesranya mereka saat chattingan malam itu.

Ukhty Barbar Bikin Iman Akhy Ambyar [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang