“Loh, Ukhty Delia kok ada di sini?” tanya Gendis yang datang entah darimana.
Sampai sejauh ini, masih belum ada jawaban dari Delia. Ia hanya mematung, seolah mengingat-ingat sebuah nama yang Gendis panggil.
“Re-Rehan?” tanyanya dengan bibir gemetar, pandangannya diarahkan pada Aa Bidadara yang terlihat panik.
“Delia mengerti.”
Delia berlari ke tempat makan, meninggalkan Gendis dan Aa Bidadara. Tidak, bukan lagi Aa Bidadara, tapi Rehan. Fikirannya telah sampai pada kejadian di bis akhwat malam itu.
“Bang Sat, ayok pulang!” ajak Delia pada Satria yang tengah sibuk menantap seblak pedas miliknya.
“Loh, makanannya belum dihabisin. Seblak cekernya juga belum disentuh, tuh! Mau kemana, sih?” tanya Satria.
‘Tak ada jawaban. Gadis bergamis panjang itu terlebih dahulu keluar dari tempat yang kini terasa sesak. Air mata masih setia menggenang di pelupuk Delia. Berusaha menahan sesuatu yang hendak meledak.
Satria lebih dulu membayar makanan pada Kang Maman, lantas menyusul Delia yang tengah berdiri gelisah di samping motor Satria.
Melihat hal itu, Satria ‘tak banyak bertanya. Ia langsung menancap gas dan memecah kepadatan jalan kota. Bingung, hanya itu yang dirasakan Satria.
“Bawa Delia ke Masjid terdekat, Bang Sat!” lirihnya di tengah perjalanan.
Satria ‘tak banyak omong, ia langsung mencari Masjid terdekat. Belum tepat lima menit, motor Satria terjajar di tempat parkir Masjid Daarul Hikmah yang cukup luas.
Delia hendak meninggalkan Satria pergi ke arah tempat wudhu. Namun, Satria mencekalnya lebih dulu. Mengumpulkan keberanian untuk sekadar bertanya, “Kamu kenapa?”
Delia terdiam. Matanya sedikit sembab, mungkin saat di perjalanan ia menangis. Bibirnya bergetar, seolah ingin berteriak tapi ia tahan.
“Bang Satria…,” lirihnya.
Boom!
Tangis yang sedari tadi ditahan kini meledak. Membuncah di depan Satria yang berdiri kikuk. Delia menutup wajahnya yang diguyur air mata dengan telapak tangannya.
Satria sangat ingin memeluknya, tapi ini belum saatnya. Tangan kekarnya hanya tergerak untuk mengalihkan telapak tangan dari wajah cantik Delia.
“Shalatlah! Curahkan semuanya pada Allah, Delia!” ujarnya dengan senyuman yang disunggingkan.
Delia menatapnya lekat. Kini, mata bulatnya terlihat memerah. Wajahnya tampak lesu tanpa semangat. Sekejap kemudian ia berlari menuju tempat wudhu.
***
“Ya Allah, maafkan Delia telah membuat-Mu cemburu.” Delia ‘tak memiliki banyak kata untuk menggambarkan rasa malunya terhadap Sang Pencemburu.
“Mungkin ini adalah teguran dari-Mu, agar Delia bisa meluruskan niat hijrah,” lirihnya.
“Tolong bantu Delia untuk ikhlas …,” isaknya bercampur dengan mulut yang seakan kaku begitu saja. Fikirannya melebur pada masa-masa dulu yang hanya mementingkan ego dan hasrat semu.
Dalam hening suasana Masjid, Delia masih terisak pilu. Hatinya begitu terasa lelah, ddarahnya berdesir pelan. Butuh sandaran ‘tapi ingin sendiri. Menangis tapi dapat meneteskan air mata lagi. Fikiran dan hatinya seolah berkecamuk dengan angin lalu yang berusaha untuk menenangkannya.
***
Di sisi lain, Satria tengah menunggu Delia di pekarangan Masjid. Sembari jemari tangannya asik menggeser-geser menu di gawainya. Mungkin jika dilihat dari jemarinya memang sedang asik, tapi hatinya tidak. Fikirannya resah menebak-nebak hal yang tengah terjadi pada Delia.
“Akhy Satria!” tegur seorang wanita yang entah dari kapan berada di depan Satria.
“Eh, Ukh-ukhty Siti.” Satria beranjak dari duduknya dan memposisikan diri berdiri di depan Siti.
“Akhy Satria teh sedang apa di sini?”
“A-anu, lagi … nunggu Delia lagi Shalat di dalam.”
Siti cukup terhentak ketika mendengar nama Delia, lagi. Sedetik kemudian ia melengkungkan bibir, tersenyum seolah sedang menenangkan hatinya.
“Ukhty Siti lagi ngapain di sini? Hm … maksud saya, mau kemana?” tanya Satria segan.
“Tadi teh gak sengaja lewat sini, eh malah lihat Akhy Satria. Akhy, kalau diperbolehkan … saya minta nomor WhatsApp-nya buat nanti kalo ada acara-acara lagi di Masjid, jadi saya gak ketinggalan info?”
“Oh … iya boleh. Sini HP-nya!”
Siti menyodorkan gawai miliknya, yang langsung dimasuki kontak WhatsApp milik Satria ke dalamnya.
“Siti!” sapa Delia yang datang dari dalam Masjid, membuat dua pasang mata tertuju padanya.
“Delia, gimana? Udah tenang sekarang?” tanya Satria prihatin.
“Loh, Ukhty Delia teh kenapa emangnya? Kok, matanya bisa sembab gitu? Abis nangis, ya?” sosor Siti.
“Ng-nggak kenapa-kenapa, kok!” jawab Delia cepat.
“Hm … Delia, Bang Sat mau ajak kamu makan malam di rumah, boleh? Soalnya, Mama dah lama ingin lihat kamu.” Tiba-tiba saja Satria melontarkan hal yang mengganjal sedari tadi.
“Eh, emangnya Mama kamu kenal Dede Emesh?” tanya Delia heran.
“Ya, ‘kan Mama suka tanya kenapa Bang Sat pulangnya selalu telat, Bang Sat jawab karena nganterin Tuan Putri dulu.”
Deg, lagi dan lagi. Di sini, Siti hanya bisa menghela nafas. Menatap dua manusia yang mungkin tengah kasmaran atau entah apa namanya. Mengingat hal itu, Siti berangsur memundurkan diri.
“Sa-saya … saya pulang dulu, ya! Assalaamu’alaikum.”
Belum sempat Siti melangkah pergi, sebuah tangan berhasil mencekalnya.
“Kamu ikut makan malam di rumah Bang Sat, ya!” sosor Delia.
“Tapi, Ukh—“
“Sudahlah, Siti! Kamu ikut saja,” potong Delia.
“I-iya, deh.”
Sementara si pengajak malah celingukan, seolah ada sebuah rencana yang akan berjalan ‘tak sesuai harapan.
“BTW, nih HP Bang Sat, makasih dah pinjemin sehari.” Delia menyodorkan sebuah gawai branding yang harganya terbilang cukup mahal baginya.
“Buat kamu aja, Bang Sat bisa beli lagi.”
“Wuih … sultan!”
Siti lagi-lagi hanya terkekeh kecil saat melihat keakraban yang mereka ciptakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukhty Barbar Bikin Iman Akhy Ambyar [TELAH TERBIT]
Genç KurguBerawal dari hijrah dengan niat yang salah. Mencari perhatian dan cinta dari seorang Aa Bidadara dengan merubah diri menjadi seorang Ukhty tertutup seperti pada umumnya, berusaha keluar dari penampilan sangar. Tapi, kok ... malah jadi barbar? Terlep...