Alvin melipat kedua tangannya dengan tatapan tajam kearah Rio yang sekarang tengah menunduk dengan wajah yang masih terlihat pucat. Rio sesekali melirik kearah Reza yang juga sama tengah menatapnya tajam. Sudah pasti tidak ada orang yang bisa dia mintai pertolongan."Bandel banget sih! Kan tadi kak Zidan juga udah wanti-wanti buat nggak ikut olahraga. Kenapa malah ngeyel sih?!"
Rio tidak menjawab, mendengar nama Zidan semakin membuat dia merasa bersalah. Dia hanya bisa menunduk saja.
"Maaf bang, gue seharusnya cegah dia tadi. Tapi dia bandel banget. Main ganti baju aja terus pergi ke lapangan," ucap Reza.
Alvin menggelengkan kepalanya. Tidak. Jelas ini salah adiknya yang terlalu bandel. Lihat saja bagaimana keadaannya sekarang. Alvin hampir saja kehilangan akal sehatnya saat melihat Rio yang dengan riang berlari bersama teman-temannya yang akhirnya membuat adiknya itu tumbang karena terlalu kelelahan.
"Rio dengar kakak nggak sih? Kenapa diam aja ?" Tanya Alvin.
"Maaf kak," ucap Rio dengan suara pelan namun masih dapat terdengar.
"Masih mau bandel lagi ? Kalau gini lagi gue mendingan lapor papa supaya lo homeschooling aja," ucap Alvin yang membuat Rio terkejut. Dia menatap Alvin kemudian menggelengkan kepalanya kuat.
"Enggak! Enggak mau! Gue mau sekolah disini. Kakak jangan seenaknya!" Marah Rio yang juga menyulut emosi Alvin.
"Lagian lo sekolah juga buat apa? Kalau tiap hari ngelanggar aturan kita semua juga percuma. Lo harusnya ngerti kalau kita semua kayak gini karena kita sayang sama lo. Kita semua cuma mau jaga lo," ucap Alvin emosi.
"Terus kakak mau gue gimana? Kakak pikir gue juga mau kayak gini ? Enggak! Apa salah kalau gue cuma mau kayak anak biasanya ? Gue juga mau olahraga bareng mereka, senang-senang bareng! Nggak cuma duduk di pinggir lapangan sambil terus nyatet! Gue nggak mau! Gue muak tau nggak!"
Nafas Rio memburu karena terlalu emosi. Reza yang melihat itu tentu saja langsung mendekat. Dia mengusap pundak Rio untuk menenangkan sahabatnya itu.
"Udah tenang." Reza berusaha melerai keduanya. Dia memang sempat marah karena Rio yang tidak menurut, tapi melihat pertengkaran antara sahabatnya dan kakaknya ini membuat Reza tidak mau tinggal diam, terlebih keadaan Rio yang seharusnya tidak usah diajak debat dulu.
"Lo juga maunya kita gimana! Lo pikir kita juga mau bersikap kayak gini sama lo ? Enggak! Kita semua juga nggak tega sama lo! Tapi mau gimana lagi? Lo nggak tau seberapa takutnya gue kalau sampai lo kenapa-napa! Lihat aja sekarang! Lo lari nggak lebih dari lima menit aja udah kayak gini, apalagi kalau kita tambah bebasin lo ? Lo mikir nggak sih!"
"Bang udah," ucap Reza kepada Alvin yang masih saja emosi.
"Enggak Za! Dia harus dikasih tahu dulu biar dia sadar akan kondisi dia! Biar dia sadar kalau gue kayak gini juga karena peduli sama dia, bukan karena mau nyiksa dia! Biar dia ngerti. Biar dia mikir kalau yang dia lakuin itu salah," ucap Alvin.
Rio mengepalkan kedua tangannya dengan mata yang memanas. Mendadak dia sangat membenci dirinya sendiri yang hanya bisa menyusahkan saja. Mendadak dia benci pada takdir yang sudah membuat dia harus seperti ini.
"Kakak nggak pernah ngerti. Mendingan kakak pergi aja. Rio nggak mau ketemu kakak dulu."
"Yo!" Tegur Reza yang terkejut dengan ucapan Rio itu. Dia melirik kearah Alvin dengan takut, wajah kakak kelasnya itu sudah merah karena emosi.
"Terserah deh! Kalau ada apa-apa jangan minta bantuan gue!"
Setelah berucap seperti itu, Alvin pun beranjak meninggalkan Rio dan juga Reza. Dia sudah terlanjur dibuat kecewa sehingga memilih untuk menyerah dan pergi saja darisana. Daripada terus dibuat emosi oleh adiknya itu.