Baru beberapa jam yang lalu, Seokjin menginjakkan kakinya kembali di Seoul. Ia bahkan masih belum sempat untuk melihat-lihat rumah kakeknya yang super luas itu. Namun, tiba-tiba saja salah seorang asisten di rumah itu mengatakan bahwa sang kakek memintanya pergi ke ruang tamu untuk menemui tamunya. Seokjin pun segera menurutinya.
Setelah sampai di ruang tamu, Seokjin akhirnya dapat melihat siapa gerangan tamu tersebut. Seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahunan dan juga seorang pemuda sebaya yang duduk di sebelahnya. Mereka terlihat cukup mirip. Seokjin tebak, mereka adalah ayah dan anak.
"Ia adalah Min Yeon-seok, orang yang selama ini menjadi CEO sementara setelah aku pensiun." Tutur sang kakek.
"Senang bertemu denganmu." Ujar tamu yang lebih tua seraya tersenyum ramah.
"S-senang bertemu denganmu juga..." Balas Seokjin canggung.
"Lalu yang ini, anak sulungnya. Namanya Min Yoongi." Lanjut kakeknya.
Pemuda itu juga tersenyum ramah. Senyumannya terlihat begitu manis hingga membuat Seokjin sempat terpaku selama sepersekian detik karena terpana.
"Kuharap kita bisa berteman."
"Ah, kuharap juga begitu!" Ujar Seokjin mendadak antusias.
"Seokjin." Panggil sang kakek yang sukses mengalihkan atensinya. "Meskipun kau adalah cucuku, aku ingin mengetahui seberapa besar kemampuan dan potensimu terlebih dahulu sebelum menjadikanmu pewaris. Selain kemampuan akademis, kau juga harus mahir dalam bermusik dan beladiri."
"Tapi... bukankah kemampuan bermusik dan keahlian beladiri tidak diperlukan untuk menjadi CEO?" Tanya Seokjin.
"Kata siapa?" Sang kakek tersenyum misterius. "Tapi, kau tidak perlu khawatir. Yoongi yang akan membantumu berlatih anggar dan piano hingga kau mahir. Benar kan, Yoongi?"
"Akan saya usahakan." Ujar Yoongi dengan sopan.
.
.
.
Setelah pindah ke Seoul, Seokjin tidak langsung kembali bersekolah. Sisa tahun ajaran itu ia manfaatkan untuk memulihkan kondisinya terlebih dahulu sekaligus mulai berlatih anggar dan piano. Barulah setelahnya, ia akan kembali melanjutkan sekolahnya sebagai murid kelas 2 SMA. Di sinilah kelak ia akan mengenal Byulyi dan juga beberapa teman lainnya.
"Kau ingin masuk ke universitas mana?" Tanya Yoongi ketika Seokjin baru saja selesai berlatih piano.
"Seoul! Universitas yang sama denganmu!" Jawab Seokjin antusias.
"Kalau begitu kau harus mulai mempersiapkannya mulai dari sekarang."
"I-iya..."
Yoongi mengusak surainya sekilas. "Semangat! Aku yakin kau bisa melakukannya. Jika kau membutuhkan bantuan, katakan saja padaku."
"Ah, tentu! Terima kasih, hyung!"
Selama beberapa saat, suasana kembali hening. Keduanya mulai sibuk dengan pikiran masing-masing.
Awalnya Seokjin kira, Yoongi hanya akan menjadi sebatas pelatih saja baginya. Namun, rupanya pemuda itu tidak berbohong ketika ia mengatakan bahwa dirinya ingin berteman dengan Seokjin. Yoongi seringkali mengajak Seokjin berjalan-jalan ketika yang bersangkutan sedang jenuh untuk berlatih. Selain itu, Yoongi bahkan memberikan bantuan emosional ketika gangguan kecemasan Seokjin kembali kambuh.
Dalam waktu singkat, keduanya menjadi dekat. Dan pada waktu yang sama, Seokjin mulai jatuh hati pada pemuda itu. Namun, ia tidak memiliki cukup nyali untuk mengungkapkannya.
"Um... bagaimana rasanya menyukai seseorang?" Tanya Seokjin kembali memulai obrolan.
"Eh? Mengapa kau tiba-tiba bertanya tentang hal itu?" Yoongi balik bertanya.
"Aku hanya penasaran saja, hehe."
"Hm... mungkin ini akan terdengar sedikit menggelikan." Ujar Yoongi seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Katakan saja setiap kita adalah pemeran utama dalam kehidupan masing-masing. Dan ketika menyukai seseorang, kau akan merasa seolah dirimu bukanlah pemeran utama dalam kehidupanmu sendiri."
"Woah... aku jadi bertanya-tanya, apa kau ini sudah memiliki pacar?" Tanya Seokjin penasaran. Dalam hatinya, ia berharap bahwa Yoongi akan menjawab belum.
Namun, harapannya itu hanyalah harapan. Yoongi malah mengangguk seraya menyunggingkan senyum manis ciri khasnya. "Ia salah seorang juniorku di kampus."
"Oh? Sejak kapan?" Tanya Seokjin berusaha menyembunyikan rasa kecewanya.
"Sejak 3 bulan yang lalu."
"Semoga... hubungan kalian... bisa... terus berjalan dengan lancar." Ujarnya seraya memaksakan sebuah senyum.
"Terima kasih. Kuharap juga begitu."
Meskipun kecewa, namun Seokjin bersyukur karena ia tidak langsung mengutarakan perasaannya. Setidaknya ini jauh lebih baik daripada mengungkapnya dan membuat hubungan mereka menjadi canggung. Ia pun memutuskan untuk terus memendam perasaannya hingga pada akhirnya hilang dengan sendirinya.
.
.
.
.
.
"Aku tidak ingin yang lain. Kau, jadilah jalangku untuk malam ini."
Sebenarnya, Namjoon tidak sedang mabuk sore hari itu. Ia sengaja menguji Seokjin untuk mengetahui seberapa jauh pria itu menginginkan kerjasama di antara perusahaan mereka. Mana ia tahu yang bersangkutan malah menerimanya.
Awalnya, semua berjalan lancar sesuai dengan semestinya. Namun, ketika ia hendak membuka kancing kemeja pria itu, Namjoon menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dengan Seokjin. Pria itu memejamkan kedua matanya rapat-rapat sementara tubuhnya mulai gemetar entah mengapa.
"Seokjin?"
Seokjin membuka kedua matanya kembali. Nafasnya terengah dan matanya terlihat berkaca-kaca.
"Ada apa denganmu?" Tanya Namjoon heran bercampur khawatir.
"A-aku..." Air mata menyeruak keluar. Seokjin mengusapnya menggunakan lengan bajunya sendiri. "Aku baik-baik saja."
"Jangan bohong."
Selama beberapa detik, tidak ada yang berbicara di antara mereka. Ini pertama kalinya bagi Namjoon melihat seseorang menangis di saat seperti ini. Dan sepertinya itu menjadi sebuah turn off baginya.
"Kita batalkan saja." Namjoon berbalik, hendak bergegas. Namun, Seokjin segera menahan tangannya.
"Tidak. L-lanjutkan saja, kumohon..."
"Aku tidak bisa melihatmu menangis seperti ini."
"B-biarkan saja! Aku... sangat membutuhkan kerjasama ini." Seokjin menundukkan wajahnya.
Namjoon menatapnya prihatin. "Kau yakin?"
Seokjin mengangkat wajahnya kembali dan mengangguk. "Aku yakin!"
Namjoon meraih wajah pria itu dan mengusap kelopak matanya menggunakan ibu jarinya. "Redakan tangisanmu terlebih dahulu. Aku akan menunggu." Namjoon berjalan ke arah sofa di mana ia meletakkan setelan jas miliknya tadi dan mengambil sebuah tissue saku. Ia kembali dan menyodorkannya kepada Seokjin.
"Terima kasih. Aku tidak mengira kau membawa barang seperti ini."
"Memangnya mengapa? Tissue saku itu adalah hal yang penting." Ujar Namjoon heran. "Selain itu, aku juga membawa lip balm setiap berpergian."
"Benarkah?"
"Ya, aku harus menjaga agar bibirku tetap terlihat fresh."
Seokjin tersenyum kecil. "Kau sangat menjaga penampilan rupanya."
Suasana kembali hening. Namjoon hanya menatap pria yang sedang sibuk mengelap wajahnya itu dalam diam. Tak lama kemudian, Seokjin pun selesai. Meskipun wajahnya masih kemerahan, setidaknya itu terlihat jauh lebih baik.
"Kau siap?"
Seokjin kembali mengangguk.
"Baiklah. Jangan ragu-ragu untuk mengatakannya padaku jika kau merasa kurang nyaman. Jika perlu..." Namjoon terdiam sejenak. "Jika perlu, kau boleh mencakar bahuku untuk melampiaskannya."
Ia sedikit menyesali perkataannya karena dirinya mendapat cukup banyak cakaran pada awalnya. Meskipun begitu, Seokjin terlihat lebih rileks seiring berjalannya waktu dan bahkan mulai menikmati jalannya permainan mereka.
Namjoon sendiri tidak mengerti mengapa ia merasa begitu peduli pada pria itu. Jika saja yang ada di hadapannya kini adalah orang lain, mungkin ia tidak akan berpikir dua kali untuk membatalkan perjanjiannya. Namun, faktanya orang itu adalah Kim Seokjin. Dan Namjoon tahu bahwa Seokjin bukanlah sembarang orang.
.
.
.
.
.
Namjoon tersenyum kecil seraya menatap Seokjin yang sedang duduk dan makan dengan lahap. Jika ia mengingat-ingat lagi bagaimana pertemuan pertama mereka dulu, Namjoon tidak pernah berpikir bahwa pada akhirnya ia akan benar-benar jatuh hati pada pria itu.
"Kau tidak lapar?" Tanya Seokjin yang merasa buruk karena hanya makan sendirian.
"Aku sudah sarapan sebelum ke rumah duka tadi." Jawab Namjoon.
"Ah, begitu rupanya." Seokjin terdiam sejenak. "Uh... jadi, kapan kau akan memberitahuku tentang alasanmu melakukan semua ini?"
"Aku tidak bisa memberitahumu sekarang."
"Mengapa begitu?" Seokjin tidak dapat menyangkal bahwa dirinya mulai meragukan pria itu. "Kau kan sudah berjanji untuk memberitahuku tadi pagi."
Sejauh yang Seokjin tahu, Namjoon mencampurkan obat tidur pada minumannya semalam dan membawanya ke rumah keduanya yang terletak cukup jauh dari pusat kota. Namjoon juga membuat berita kematian palsu tentangnya. Sementara Seokjin sendiri masih belum tahu menahu apa yang sebenarnya menjadi alasan bagi Namjoon untuk melakukan hal konyol seperti ini. Apalagi ponselnya sengaja dirusak dan diganti dengan yang baru.
"Beri aku waktu 4 hari. Aku akan memberitahumu setelah hari ke-4."
"Baiklah... aku akan menunggu." Tutur Seokjin sedikit murung. "Oh iya, bagaimana dengan pemakamanku tadi? Eh, maksudku... pemakaman... kau tahu sendirilah!"
"Aku mengerti maksudmu." Namjoon tersenyum gemas. Namun, senyuman itu tidak bertahan lama karena segera tergantikan dengan wajah kesal. "Aku hampir bertengkar dengan adik sepupumu."
"Apa?! Mengapa bisa begitu?"
"Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja ia menuduhku sebagai dalang utama dari semua ini."
"Tapi, bukankah faktanya kau memang dalang utama di sini?"
"Memang benar. Hanya saja aku tidak habis pikir. Ia bisa dengan begitu mudah menuduhku habis-habisan hanya karena salah seorang temannya kebetulan melihat kita semalam." Namjoon menggeleng-gelengkan kepalanya dramatis.
"Maklumi saja, Namjoon." Seokjin mengusap bahu Namjoon pelan. "Mungkin saja itu karena ia sedang bersedih. Lalu, apa ada orang lain yang tahu bahwa aku masih hidup selain kita?"
Namjoon mengangguk. "Sepupumu itu memang tidak tahu. Tapi, ada beberapa orang lain yang tahu. Yoongi hyung, sekretarismu, adik dan juga kakekmu. Tapi, aku tidak melihat kakekmu tadi pagi. Kata Yoongi hyung, ia akan datang siang hari." Tutur Namjoon.
"Tunggu. 'Yoongi hyung?' Kalian terdengar cukup dekat."
"Ah, aku lupa memberitahumu bahwa sebenarnya Yoongi hyung adalah kakak tiriku."
Seokjin membelalakkan matanya. "Kau bercanda?"
"Aku serius. Ia bahkan yang menawariku menggunakan restaurant miliknya untuk kematian palsumu. Memangnya ada yang aneh jika ia kakak tiriku?"
Seokjin menggeleng. "Tidak ada yang aneh. Tapi, aku tidak menyangka bahwa ternyata kita hanya sedekat ini! Yoongi hyung sudah kuanggap seperti kakakku sendiri."
"Aku tahu. Kau kan orang yang mencium pipi Yoongi hyung di acara resepsi pernikahannya." Ucap Namjoon yang segera mengingatkan Seokjin akan memori beberapa bulan yang lalu."Apa kau juga hadir di acara itu? Aku tidak melihatmu sama sekali!"
"Aku hadir, tapi hanya sebentar." Namjoon berdeham. "Sebenarnya, ia pernah bercerita cukup banyak tentangmu padaku jauh sebelum kita mengenal satu sama lain."
"Benarkah? Seberapa banyak yang kau ketahui?" Tanya Seokjin khawatir. Bagaimana jika Namjoon sudah mengetahui segalanya? Termasuk tentang kejadian tidak menyenangkan yang terjadi sepuluh tahun yang lalu.
"Cukup banyak. Termasuk... alasan mengapa kau pindah ke Seoul."
"Ah, begitu rupanya." Seokjin menundukkan kepala, menatap dengan tanpa nafsu ke arah makanannya yang masih tersisa.
Namjoon mengelus surai pria itu. "Kau orang yang kuat, Seokjin."
"Namjoon..." Seokjin tersenyum kecil. Entah mengapa, perkataan Namjoon barusan justru membuat dirinya merasa begitu lemah. "Boleh aku memelukmu sebentar?"
"Tentu saja. Lama pun boleh." Namjoon merentangkan kedua tangannya seraya menyambut pria manis itu dalam pelukannya. Ia kembali mengusap surainya dengan begitu lembut. "Pasti rasanya tidak adil jika hanya aku saja yang mengetahui tentangmu. Kurasa ini sudah waktunya bagimu untuk mengetahui tentang kehidupan masa laluku juga."
.
.
.
.
.
Seumur hidupnya, Namjoon hampir tidak pernah melihat kedua orang tuanya akur. Ia bahkan sempat mengira bahwa pertengkaran adalah hal yang lumrah bagi pasangan seperti halnya kedua orang tuanya. Tapi, Namjoon tidak bodoh. Meskipun ia masih berusia 9 tahun kala itu, ia mengerti betul apa yang menjadi akar dari permasalahan kedua orang tuanya, yaitu perselingkuhan.
"Namjoon, Ibu tidak bisa lagi bertahan menghadapi Ayahmu." Ujar wanita berusia pertengahan 30-an itu kepada anak lelaki yang menatapnya bingung. "Singkatnya, kami akan bercerai."
Tatapan bingung itu kini berubah menjadi tatapan kecewa. "T-tapi..."
Sang ibu menghela nafasnya dalam-dalam. "Kau jangan khawatir, hak asuhmu jatuh ke tangan Ibu. Tapi, Ibu tidak bisa terus-terusan menjagamu. Ibu harus tetap bekerja di sini agar bisa memenuhi kebutuhan ekonomi kita. Maka dari itu, kau akan kutitipkan sementara kepada pamanmu di Ilsan. Bersikaplah dengan baik pada mereka, ya. Jangan jadi anak nakal! Ibu janji kita akan kembali tinggal bersama lagi suatu hari nanti."
Semuanya hanyalah janji manis belaka. Nyatanya, hingga 10 tahun berlalu, tidak ada kabar apapun dari Ibunya kecuali bahwa ia telah menikah dengan seorang pria kaya. Bukannya Namjoon tidak suka tinggal bersama paman dan bibinya. Sungguh, mereka adalah orang yang sangat baik. Ia hanya merasa kecewa karena Ibunya tidak memenuhi janji dan juga tanggung jawabnya.
"Namjoon." Panggil sang paman ketika makan malam keluarga. Namjoon memang sudah ia anggap seperti anak sendiri.
"Ada apa, Paman?"
"Apa kau ingin berkuliah di Seoul?"
Untuk sepersekian detik, Namjoon merasa senang mendengar pertanyaan itu. Namun, berbagai pertanyaan lain yang muncul di benaknya membuat rasa senangnya surut. Siapa yang akan membiayainya kuliah? Lalu, apakah itu artinya ia harus pergi meninggalkan paman dan bibinya?
"Ayah tirimu yang akan membiayaimu kuliah." Tampaknya sang bibi bisa membaca pertanyaan-pertanyaan itu dari raut wajahnya.
"Tidak perlu. Aku akan mencoba mencari beasiswa untuk berkuliah di kota ini saja, agar-"
"Kau masih tidak mau mengakuinya sebagai ayahmu?" Tanya pamannya tepat sasaran.
"Tidak akan pernah." Jawab Namjoon tegas.
Sang paman menepuk bahunya pelan. "Aku tidak tahu mengapa kau begitu membencinya, tapi aku percaya bahwa ia sangat menyayangimu. Ia ingin kau kuliah di Seoul agar bisa mendapatkan masa depan yang lebih baik. Ia juga yang telah menyekolahkanmu selama ini."
Namjoon terdiam. Sejujurnya, ia merasa cukup penasaran bagaimana sosok ayah tirinya itu mengingat mereka belum pernah bertemu secara langsung. Namun, ego membuatnya enggan untuk bertemu. "Lalu, bagaimana dengan kalian?"
"Kami akan baik-baik saja di sini." Ujar bibinya.
"Kau tidak perlu khawatir, hyung. Ada aku yang akan menjaga mereka di sini." Kata seorang anak laki-laki yang beberapa tahun lebih muda darinya. Ia adalah anak dari paman dan bibinya.
"Baiklah." Namjoon tersenyum kecil. Setidaknya, selama ini ada Paman dan Bibinya yang sangat baik padanya. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti, ia akan membalas semua kebaikan mereka. "Terima kasih banyak karena kalian telah membesarkanku selama ini. Walaupun aku tidak pernah mengatakannya, tapi aku merasa sangat beruntung memiliki kalian."
"Aww, manisnya." Ujar sang bibi mencubit pipinya gemas.
Sang paman menepuk bahu Namjoon pelan. "Jangan sungkan untuk mampir kemari kapan pun kau merindukan kami, Nak."
"Tentu saja. Aku pasti akan merindukan kalian."To be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Partner | Namjin [End]
FanfictionOrang-orang mengira bahwa hubungan Kim Seokjin dan Kim Namjoon hanyalah sebatas partner bisnis saja. Padahal, sebenarnya lebih dari itu.