15. Break Up

3.9K 422 26
                                    

"Aku sudah melakukan apa yang kau minta. Sekarang, mana bayaranku." Ujar Jimin kepada seseorang yang kini sedang duduk santai sambil menaikkan sebelah kakinya.

"Bayaran apa?" Tanya orang itu tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang dibacanya.

"Jangan bercanda. Aku telah membunuh Seokjin dan kau berjanji akan memberitahu di mana Ayahku berada sekarang." Tutur Jimin mengingatkan.

Orang itu meletakkan buku bacaannya ke atas meja dan beralih menatap Jimin lurus. "Jangan bercanda." Ledeknya menirukan cara bicara pemuda itu. "Seokjin tidak mati. Mengapa aku harus mengembalikan Ayahmu?"

Jimin tak lagi bicara. Semua rencananya terbongkar sudah.

"Kau terlalu lembek. Aku butuh sekutu yang lebih kuat. Hm... aku akan menyerahkan tugas ini kepada si Tikus Merah itu."

"Lalu, bagaimana dengan Ayahku?"

"Ayahmu? Aku akan memberitahukan tempat di mana ia dikuburkan nanti."

Jimin menatap tak percaya.

Orang itu tertawa lepas. "Bercanda! Karena kau sudah cukup berjasa, aku akan mengembalikannya setelah Seokjin mati."

Jimin merasa sangat kesal. Ingin sekali ia menghabisi orang itu sekarang juga. Namun, tentu saja ia tidak mungkin melakukannya. Belum saatnya.

.

.

.

.

.

Puluhan tahun yang lalu, ada seorang pria bermarga Kim yang mendirikan sebuah perusahaan bernama Kim Company. Berkat ketekunan dan jerih payahnya, perusahaan tersebut dapat berkembang pesat dan berhasil masuk ke dalam jajaran perusahaan besar di Seoul.

Kim dikaruniai dua orang anak lelaki kembar identik bernama Kim Jongkyu dan Kim Jongmin. Ia begitu menyayangi kedua anaknya sehingga setelah mereka beranjak dewasa, Kim Company dipecah menjadi dua perusahaan yang sama besarnya. Hal ini ia lakukan karena tidak ingin ada salah seorang dari anaknya yang merasa tersisihkan.

Perusahaan yang diberikan kepada Jongkyu kemudian diubah namanya menjadi K+1 Corporation. Sedangkan perusahaan milik Jongmin berganti menjadi 2×K Corporation. Jongkyu membangun gedung kantor baru dan menjadikannya sebagai kantor pusat perusahaannya. Sementara Jongmin tetap berada di gedung yang lama dengan nama perusahaan yang baru. Kedua perusahaan ini pun tumbuh bersama-sama.

Waktu terus berjalan, si kembar pun akhirnya membangun keluarga mereka masing-masing. Jongkyu dikaruniai 2 orang anak kembar tidak identik, laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki bernama Kim Seokjin, sementara yang perempuan ia beri nama Kim Jisoo. Sementara itu, Jongmin pun menyusul 3 tahun setelahnya. Ia dikaruniai seorang anak laki-laki yang kemudian ia beri nama Kim Taehyung.

Namun tak lama setelahnya, Jongkyu meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Itu artinya, anaknyalah yang akan menjadi pewaris berikutnya. Namun di luar dugaan, istri dari Jongkyu menolak hal itu dan membawa kedua anaknya pergi secara diam-diam.

Untuk mengisi kekosongan, Kim menunjuk Min Yeon-seok sebagai CEO sementara. Setelah Seokjin menyelesaikan kuliahnya dan siap untuk mengambil alih, ia pun mengundurkan diri.

.

.

.

"Sudah lama sekali kita tidak berkumpul dan makan bersama seperti ini." Ujar Jongmin seraya menatap ke orang-orang yang kini duduk mengelilingi meja makan. Mereka adalah ayah, istri, saudara ipar, keponakan dan anak semata wayangnya.

"Sayangnya kita baru dapat berkumpul setelah Seokjin tiada." Sahut Sang Ayah.

"Aku tidak pernah menyangka bahwa ia akan pergi meninggalkan kita secepat ini." Ucap Taehyung tak dapat menyembunyikan wajah sendunya.

Jongmin menghela nafasnya. "Aku yakin semua orang juga begitu. Tapi, hidup dan mati adalah hal yang lumrah. Benar begitu kan, Saudara Ipar?"

Seorang wanita paruh baya yang juga berada di sekitar meja itu menoleh ke arahnya. "Benar. Setelah kehilangan tulang rusuk, kehilangan jantung tidak terasa sesakit itu rupanya."

Jongmin menatap prihatin. "Sudah lama sekali aku tidak melihatmu. Kurasa sudah 17 tahun lebih kita tidak bertemu. Kuharap kau baik-baik saja sekarang."

Yang bersangkutan hanya terdiam.

Jisoo berdeham. "Ah, sudahlah. Sebaiknya kita jangan merusak suasana makan malam kali ini. Bukankah lebih baik kita berusaha melihat sisi positifnya?"

"Aku setuju. Omong-omong, bukankah kau yang akan menjadi pewaris K+1 berikutnya?" Tanya Jongmin.

"Eh? Aku belum berpikir sejauh itu, Paman."

"Kau harus mulai memikirkannya. Masa depan perusahaan ada di tanganmu." Ucap Jongmin. "Lagipula, bukankah sejak awal seharusnya perusahaan itu menjadi milikmu setengahnya? Aku masih tidak mengerti mengapa Jongkyu hanya menginginkan Seokjin yang mendapatkan bagian." Lanjutnya.

"Untuk menghindari kesalahpahaman, Jongkyu memang berniat untuk memberikan K+1 kepada Seokjin dan Jisoo. Namun karena keadaan sedang mendesak, maka kepemilikan perusahaan menggunakan nama Seokjin untuk sementara. Jisoo tetap memiliki hak atas separuh dari aset perusahaan." Tutur Ayahnya.

"Benarkah? Apa itu sesuai dengan apa yang sudah ditulis dalam surat wasiat Jongkyu?" Tanya Jongmin.

"Surat wasiat itu tidak pernah ada." Sangkal sang Ayah cepat.

Suasana menjadi hening seketika.

"Tapi, meskipun Seokjin sudah pergi sekalipun, aku bukanlah orang yang pantas untuk menggantikan posisinya." Ucap Jisoo yang segera mendapat tatapan penuh tanya dari kelima pasang mata di ruangan itu.

"Lalu, siapakah orang yang layak untuk itu?"

"Orang itu adalah..."

Pintu terbuka. Semua orang beralih menatap ke arah seorang pria tampan yang kini berada tepat di depan pintu.

"Bagaimana dengan seseorang yang baru saja kembali dari neraka?"

Ya, orang itu adalah Kim Seokjin.

.

.

.

.

.

Dua bulan berlalu, kini Seokjin telah kembali pada kesehariannya. Dunianya seolah dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu pekerjaan, keluarga dan Namjoon. Di satu sisi, ia masih disibukkan dengan berbagai program kerja yang sempat tertunda. Di sisi lain, ia berusaha meluangkan waktu untuk berekreasi bersama ibu dan saudara kembarnya. Lalu, akhir pekan akan menjadi momen di mana ia bisa menghabiskan waktu bersama Namjoon.

Seokjin menyadari bahwa sikap Namjoon berubah drastis setelah mereka resmi berpacaran. Pria itu menjadi overprotective. Ia selalu meminta Seokjin untuk menceritakan secara detail apa yang ia lakukan ketika weekend jika tidak sedang bersama dengannya. Ia juga melarang Seokjin berpergian jika bukan untuk urusan yang sangat penting dan mendesak.

Pria itu begitu perhatian padanya. Namun, sepertinya hal ini sudah sedikit kelewatan. Meski begitu, ia hanya mengikuti apa yang Namjoon mau saja. Ia takut jika dirinya membantah, itu akan menjadi awal dari retaknya hubungan mereka. Seokjin tahu, hubungan mereka sudah mulai tidak sehat. Namun, ia ingin melihat seberapa jauh dirinya bisa bertahan.

"Hari Sabtu minggu depan aku akan pergi ke acara reunian SMA." Tutur Seokjin.

Kini ia dan Namjoon baru saja sampai di depan rumahnya setelah selesai makan malam bersama di sebuah restoran.

"Jangan pergi ke acara itu." Pinta Namjoon.

"Mengapa tidak?" Tanya Seokjin heran.

"Aku... memiliki firasat buruk."

"Firasat buruk seperti apa?"

"Aku tidak bisa menjelaskannya. Pokoknya jangan pergi ke acara itu."

"Kau saja tidak bisa menjelaskannya. Mengapa aku harus mengikuti perintahmu?" Tanya Seokjin heran.

Namjoon menghela nafasnya. "Ini semua untuk kebaikanmu, Seokjin."

Seokjin terdiam sejenak. Kali ini ia mulai merasa kesal. "Bisakah kau berhenti?"

"Berhenti apa?"

"Berhenti mengatur kehidupanku."

"Mengatur kehidupanmu? Kau tidak mengerti bahaya seperti apa yang mungkin saja sedang mengincarmu, Seokjin."

"Aku tidak mengerti karena kau tidak pernah memberitahuku!" Ujar Seokjin kesal. "Kau seperti menyembunyikan sebuah rahasia besar dariku. Aku mulai bertanya-tanya, apa sebenarnya penculikan Jungkook hanyalah sandiwaramu saja? Dengan begitu, kau bisa mengatur hidupku sesukamu?"

"Omong kosong! Mana mungkin aku melakukan hal sebodoh itu?" Kini Namjoon pun ikut menaikkan nada bicaranya.

"Mungkin saja. Tidak ada hal yang tidak bisa kau lakukan."

"Apa aku terlihat seperti seseorang yang akan melakukan hal bodoh hanya karena aku mampu?"

"Iya. Kau terlihat seperti itu. Dan memang seperti itu. Jika status membuatmu berpikir bahwa kau bisa mengatur hidupku seperti ini, maka lebih baik kita putus saja."

Namjoon mengerutkan keningnya. "Kau benar-benar meminta putus hanya karena masalah sepele seperti ini?"

"Masalah ini sebenarnya hanya sepele. Kau yang membesar-besarkannya."

"Bukankah terbalik? Kau sendiri, memangnya apa yang sudah kau lakukan untuk menyelesaikannya?"

"Aku. Ingin. Putus."

"Tidak boleh."

"Aku ingin putus, brengsek."

Suasana berubah hening selama beberapa saat.

Namjoon menghela nafasnya. "Baiklah. Kurasa memang itu jalan yang terbaik untuk kita sekarang."

"Terima kasih untuk makanan dan tumpangannya." Ucap Seokjin sebelum keluar dari mobil dan segera masuk ke dalam rumahnya.

.

.

.

.

.

"Aku baru saja putus dengan Namjoon semalam." Ujar Seokjin ketika ia dan Byulyi sedang makan siang di restoran dekat kantor.

Byulyi membelalakkan matanya. "APA? KAU SERIUS?"

"Iya. Memangnya ada yang aneh?"

"Tidak ada, sih... Oh! Biar kutebak! Pasti ini ada hubungannya dengan acara reunian itu, kan?"

"Benar. Ia melarangku untuk datang ke acara itu. Bagaimana kau bisa mengetahuinya?"

Byulyi memetikkan jari. "Aku lupa memberitahumu bahwa kemarin ia sempat bertanya melalui via chat tentang agenda apa yang akan kau lakukan akhir pekan depan. Ia juga bertanya tentang siapa saja yang datang ke acara itu."

"Yang benar saja? Apa ia sering bertanya seperti itu padamu?" Tanya Seokjin heran.

"Kadang-kadang ia seperti itu."

"Keterlaluan. Apa ia tidak bisa mempercayaiku saja? Mengapa harus mencari informasi dari orang lain?"

Byulyi mengangkat bahu. "Aku juga heran."

"Lalu, kau jawab bagaimana kemarin?" Tanya Seokjin penasaran.

"Aku sebutkan nama-nama teman sekelas kita. Selain itu, aku juga menyebutkan secara khusus bahwa Kyung-ho, mantan pacarmu, juga akan hadir di sana."

"Hm... mungkin saja ia melarangku pergi ke sana karena cemburu."

Byulyi mengangguk. "Masuk akal. Ia takut jika api-api asmara antara kau dan Kyung-ho kembali menyala."

"Konyol sekali. Bukankah itu sudah keterlaluan?"

"Itu yang dinamakan posesif. Yah... mungkin memang agak kelewatan."

"Tapi, sebenarnya aku masih memiliki alasan lain untuk memutuskan hubungan kami." Seokjin menyandarkan punggungnya pada kursi. "Aku akan membaginya dalam tiga poin. Yang pertama, aku merasa bahwa sepertinya ia menyembunyikan sesuatu dariku. Kedua, kupikir hubungan kami sangatlah rawan. Jika masalah sepele saja bisa membuat kami goyah, bagaimana dengan masalah yang lebih besar?"

"Terakhir, kau mungkin tidak memahami hal ini. Setiap laki-laki memiliki ego masing-masing. Ego itu berupa rasa ingin dibutuhkan oleh pasangannya. Kau lihat sendiri, Namjoon memiliki segalanya. Bahkan, setelah ini pasti sudah ada banyak orang yang mengantri untuk menjadi kekasih barunya."

"Selama ini, selalu aku yang mengandalkannya. Tidak pernah sebaliknya. Tentu saja hal ini membuat egoku tidak pernah terpenuhi." Seokjin menyesap kopinya sejenak untuk mengakhiri sesi berceritanya.

Byulyi mengangguk paham. "Hm... kalau begitu, aku juga akan membagi pendapatku dalam tiga poin. Pertama, aku rasa Namjoon adalah orang yang tidak suka berterus terang. Maka dari itu, kau bisa saja salah paham terhadapnya. Kedua, kalian kurang berkomunikasi. Ini bisa jadi akibat dari poin sebelumnya. Tapi, aku yakin kau juga ikut ambil bagian."

"Maksudmu?" Tanya Seokjin.

"Sebuah hubungan itu dijalankan oleh dua orang, Seokjin. Jika kalian berdua tidak berusaha untuk saling mengerti, lalu siapa? Dan yang terakhir, kau bilang Namjoon memiliki segalanya. Jika ia memiliki segalanya, mengapa ia memilihmu?"

Seokjin terdiam. Apa yang dikatakan Byulyi terdengar masuk akal. Justru ialah yang sedikit melebih-lebihkan di sini. "Mungkin kau benar. Well, aku sudah terlanjur memutuskannya. Aku tidak mungkin datang dan minta maaf padanya."

"Lalu, kau akan diam saja?"

Seokjin mengangguk. "Aku pernah mendengar pepatah, 'Kau harus melepaskan apa yang kau cintai dan melihat apakah ia akan kembali padamu.' Maka dari itu, aku akan menunggu sampai ia datang dan memohon-mohon padaku untuk kembali."

.

.

.

.

.

"Minum. Jangan. Minum. Jangan. Minum. Jangan. Minum..."

"Aku telah membuat laporan yang kau minta kemarin."

Namjoon terperanjat ketika Hoseok tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang kerjanya. Ia segera mengambil botol soju yang berada di atas meja dan memasukkannya ke dalam laci. "Aku kan sudah berkali-kali mengatakannya padamu, ketuk pintu dahulu sebelum masuk."

"Kau hanya mengatakannya ketika sedang menyembunyikan sesuatu." Hoseok menggeleng-gelengkan kepala. "Mengapa kau tiba-tiba minum soju di pagi hari?"

"Aku hanya ingin saja. Memang apa salahnya?" Ujar Namjoon sekenanya.

"Kau pikir saja sendiri. Lebih baik kau jangan minum-minum di dalam kantor. Takutnya nanti akan ada..." Ia berdeham. "...skandal yang tidak enak untuk didengar."

"Iya iya aku tahu."

Hoseok berjalan mendekat dan meletakkan setumpuk kertas di atas meja. "Ini laporannya." Ia menatap pria itu sejenak sebelum menanyakan hal yang paling Namjoon benci. "Tidak biasanya kau seperti ini. Apa terjadi sesuatu?"

"Bukan hal besar." Jawab Namjoon seraya mulai memeriksa laporan tersebut.

"Katakan saja jika kau tidak mau menceritakannya. Aku tidak akan memaksa."

"Ya... begitulah."

"Oh iya, ada satu lagi yang ingin kusampaikan." Hoseok meletakkan sebuah amplop di atas meja. "Aku ingin meminta cuti selama enam bulan."

"Enam bulan?"

Hoseok mengangguk. "Aku sudah pernah memberitahumu, kan? Aku akan menikah bulan depan. Dan aku belum pernah mengambil cuti sejak perusahaan ini berdiri."

"Bagaimana jika kau kehilangan pekerjaanmu setelah enam bulan?"

"Aku akan mencari pekerjaan baru."

Sial. Pria itu tahu betul bahwa pegawai sepertinya itu hanya ada satu di antara satu juta orang. "Bagaimana jika tiga bulan saja? Aku akan menaikkan gajimu setelah kau selesai cuti."

"Jika kau hanya mengijinkanku cuti selama tiga bulan, maka aku akan menarik surat itu dan menggantinya dengan surat lainnya." Hoseok meletakkan sebuah surat lain di atas meja. "Ini surat pengunduran diri."

"Oke, enam bulan. Kau puas?"

"Beri paraf dahulu sebagai tanda bahwa kau telah menyetujuinya."

Namjoon membubuhkan tanda tangannya secara cepat.

"Aku tidak percaya bahwa kau akan begitu mudah ditipu, Namjoon. Amplop ini bukan berisi surat pengunduran diriku, tetapi surat tagihan asuransi."

"Eh? Kau membohongiku?"

"Yup. Orang bodoh mana yang mengundurkan diri dari posisi ini hanya karena cutinya tidak disetujui? Tiga bulan itu sudah bagus. Tapi, karena kau telah menandatanganinya, maka mau tak mau harus enam bulan."

"Menyebalkan. Selamat menikmati cutimu."

Hoseok terkekeh. "Terima kasih. Sepertinya kau memang sedang tidak fokus. Pasti ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Kau tidak ingin cerita?" Tanyanya lagi.

Namjoon menghela nafasnya. "Seokjin memutuskan hubungan kami."

"Tidak terlalu meleset dari tebakanku."

"Kau tidak akan menanyakan alasannya?"

"Tidak perlu. Itu sudah cukup." Ujar Hoseok dengan ekspresi misterius. "Aku pamit undur diri dulu."

.

.

.

.

.

"Hey, Seokjin! Aku ada berita baru untukmu. Sekretaris Namjoon memberita-"

"Jika itu tentang Namjoon, aku tidak mau tahu." Sela Seokjin tanpa menghiraukannya.

"Oke."

"Oke saja?"

"Memangnya aku harus mengatakan apa lagi?" Tanya Byulyi heran.

Seokjin memutar bola matanya. "Tentu saja menceritakan berita itu. Aku kan tidak bersungguh-sungguh tadi."

"Ahahah baiklah. Beritanya adalah bahwa Sekretaris Jung akan mengundurkan diri dari posisinya mulai bulan depan."

"Benarkah?"

Byulyi mengangguk. "Katanya ia ingin memulai karir baru sebagai seorang pengusaha."

"Beraninya ia mengorbankan jabatan sebagus itu untuk memulai usaha sendiri. Apa ia bodoh?"

Byulyi mengangkat bahu. "Entahlah. Sekarang ini, calon sekretaris baru sedang menjalani training. Masalahnya adalah..."

"Adalah apa? Ia tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik?"

"Bukan. Masalahnya adalah... sekretaris baru itu... agak..."

"Mengapa kau tidak langsung mengatakannya secara cepat saja?"

"Bagaimana aku bisa mengatakannya secara cepat jika kau terus menyelaku?"

"Sudah, sudah. Aku jadi malas mendengarkannya." Seokjin memutar kursinya dan beralih pada komputernya.

"Kau yakin? Baiklah, aku langsung katakan saja. Masalahnya adalah sekretaris baru itu agak seksi."

Seokjin menepuk meja hingga membuat Byulyi terperanjat. "Masih ada lagi?"

"A-ada! Katanya sekretaris baru itu juga seringkali menggoda Nam-maksudku, CEO Kim."

"Aneh."

Byulyi mengangguk setuju. "Memang aneh. Belum selesai masa training saja sudah berani menggoda atasannya."

"Bukan. Yang aneh adalah Sekretaris Jung. Untuk apa ia menceritakan hal seperti itu kepadamu?"

"Eh? A-aku juga tidak tahu... Ah, aku masih ada berita lain." Byulyi meletakkan sebuah amplop di atas meja. "Itu adalah surat undangan dari RM Company."

"Huh? Undangan untuk apa?"

"Undangan untuk menghadiri acara makan malam eksklusif sebagai bentuk perayaan keberhasilan kerjasama K+1 dan RM Company."

"Aku tidak mau datang." Ujar Seokjin tak acuh.

"Heee? Datang sajalah! Hitung-hitung bisa makan gratis."

"Memangnya kapan acara itu akan diadakan?"

"Sore ini juga."

Seokjin mengerutkan keningnya. "Mendadak sekali. Ia kira aku pengangguran? Setidaknya kirim undangan satu minggu sebelumnya."

"Ah, sudahlah. Toh, kau juga tidak ada jadwal apa-apa sore ini. Kita datang saja, ya?"

Seokjin menatapnya heran. "Mengapa kau semangat sekali?"

"Tentu saja, aku selalu semangat untuk makan gratis. Sudahlah, kita datang saja. Aku akan memberitahu Sekretaris Jung bahwa kau akan hadir. Sampai nanti." Ujar Byulyi sebelum setengah berlari pergi meninggalkan ruangan.

To be continued.

Partner | Namjin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang