Chapter Eight

351 38 17
                                    

"Hei, Tomo-kun. Aku merasa tidak enak menitipkan anakku pada mereka."

Yang diajak bicara mengibaskan tangannya.

"Tidak apa-apa. Lalu, apa kau dapat sesuatu?"

Ryota tampak berpikir sejenak. "Aku tidak mengerti maksudmu. Sesuatu apa?"

Tomoya berdecak. "Ya ... sesuatu. Kau lihat mereka, kan? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Atau sesuatu yang membuatmu--"

"Ah, ada!"

Ryota baru teringat sesuatu. Agar tidak didengar siapa pun, ia memajukan badannya untuk memberitahu Tomoya tentang sesuatu itu. Suaranya pun ia pelankan, sambil melirik sekitar untuk memastikan bahwa kondisi aman. Ia juga melirik istri mereka yang sedang menemani anak Tomoya untuk bermain.

"Kau tahu, Tomo-kun?" Ryota mengecek sekitar lagi sebelum melanjutkan ucapannya. "Saat aku ke apartemen Toru, dia membuka pintu untukku. Kau tahu apa yang kulihat?"

Tomoya mendelik. "Mana aku tahu!"

Ryota meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, menyuruh Tomoya untuk diam dulu.

Tomoya memutar bola matanya. "Tadi kau yang bertanya."

"Baik, sekarang kau tutup mulutmu dulu."

Tomoya pun mengangguk, lalu memberi perhatiannya lagi untuk mendengarkan informasi baru dari Ryota.

"Kau tahu, di lehernya ada bercak merah!"

Mata Ryota melebar seolah-olah bangga dengan informasi baru yang ia dapatkan. Namun anehnya, Tomoya malah terdiam. Orang itu nampak berpikir.

"Maksudmu ... Toru-san membuat lehernya berdarah? Tapi kenapa? Atau mungkin dia membuat orang lain berdarah dan tak sengaja memegang lehernya sehingga ada bekas itu? AH! Apa masalah mereka belum terselesaikan dan malah berkelahi sampai berdarah? Atau--"

"Shut! Tomo-kun, aku tidak menyangka kau sebodoh ini."

Tomoya mengerutkan alisnya. "Maksudmu apa menyebutku bodoh? Kau juga bodoh, tahu!"

Ryota berdecak. "Pelankan suaramu!" Ia melihat sekitar. "Oke, aku memang bodoh. Tapi kau seharusnya mengerti tentang hal ini. Masa kau tidak tahu sih? Mereka--"

"AH! Mereka melakukan itu?!"

Ryota menangguk. Tomoya menampilkan ekspresi terkejutnya dengan menutup mulutnya. Namun setelahnya Ryota menggeleng, membuat Tomoya bingung.

"Maksudku, aku tidak yakin mereka melakukannya. Tapi yang pasti, itu ulah vokalis kita karena tidak ada siapa pun di sana selain mereka." Ryota membenarkan maksudnya.

Tomoya menggelengkan kepala berkali-kali. "Ckckck. Ternyata mereka sampai di situ, ya. Aku jadi mulai berpikir tentang apa yang mereka lakukan saat berkata pada kita kalau mereka ingin membuat lagu bersama atau pun pergi bersama ke luar negeri untuk membuat lagu band kita."

Ryota bergumam. "Sepertinya aku juga mulai berpikir tentang itu." Tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Hei, Tomo-kun. Anakku kan tidak menyukai vokalis kita. Apa kau pikir tidak apa-apa meninggalkannya dengan mereka sampai sore hari?"

Tomoya meneguk minumannya sebelum menjawab, "Tenang saja. Ella-chan menyukai Toru-san, bukan? Aku pikir dia akan menjaganya."

Memikirkan itu, Ryota terkikik. "Apa kau pikir Mori-chan akan kesal?"

Tomoya terkekeh. "Dia akan kesal karena pacarnya mendiamkannya dan hanya menjaga putrimu."

Mereka sama-sama tertawa memikirkan hal itu. Mereka juga tertawa karena rencana mereka sukses. Tomoya sebenarnya tidak bermain dengan anjing kecil keluarganya di rumah, begitu juga dengan Ryota yang sebenarnya tidak ke Osaka. Mereka hanya janjian bertemu dan menghabiskan waktu bersama di taman ibukota Jepang dan mengerjai sahabat mereka dengan menitipkan Ella-chan.

The Love We've Made [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang