Chapter Fourteen

238 36 27
                                    

[Keesokan harinya]
08.15

TOK TOK TOK!

Tidak ada jawaban.

TOK TOK TOK!

Tidak ada jawaban.

TOK TOK TOK!

Masih tidak ada jawaban.

"TELINGAMU KEMANA, TORU-SAN?!"

Ceklek

"Berisik!"

Toru menatap kesal pada tamu di hadapannya. Masih dengan muka bantal, mulutnya yang menguap berkali-kali, dan tangannya yang mengucek mata, ia terpaksa keluar meladeni orang yang bisa saja membuat tetangga-tetangganya protes. Mengingat itu, ia jadi kepikiran Taka. Ia tak tahu apa yang terjadi padanya, apakah sudah tahu tentang masalahnya atau belum, karena koala itu tidak memberi kabar sama sekali. Padahal sudah ia kirimi pesan banyak dan menelepon berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban.

"HEI!"

Teriakan itu menyadarkannya.

"Aku sebagai tamu tidak disuruh masuk? Kau tega sekali."

Toru memutar bola matanya, lalu membuka pintunya lebar-lebar dan memberi ruang pada Ryota agar bisa masuk. Dengan cengiran kuda, Ryota melangkah ke dalam. Teman masa kecilnya itu langsung duduk di sofa dan menyalakan TV. Tak lupa dengan toples di atas meja yang berisi keripik. Dengan santai, Ryota melakukan semua itu seperti di rumahnya sendiri. Toru sudah biasa dengan kelakuan temannya yang begitu.

"Ada perlu apa kau ke sini?" tanyanya yang kemudian duduk di sebelah Ryota.

Ryota menoleh. "Memangnya aku tak boleh main ke rumahmu?"

Toru menghela napas. "Bukan begitu. Pasti kau ada sesuatu jika kelakuanmu seperti ini." Lalu ia menatap Ryota serius. "Aku ini sahabatmu. Kau bisa ceritakan padaku, tak perlu menutupinya. Lagipula kita sudah berteman cukup lama, walaupun kelakuanmu seperti itu."

Alis Ryota mengerut. "Kelakuanku seperti apa?"

Toru berdecak. "Ah, sudahlah. Cepat, ceritakan saja. Kalau tidak mau, ya sudah."

Sebelum Toru beranjak diri, Ryota segera angkat bicara.

"Ya! Kau benar, aku ada sesuatu." Ia menatap Toru dengan tatapan sedih. "Toru-san, istriku marah padaku."

Firasat Toru tidak enak. Sepertinya karena hal kecil.

"Marah karena apa?"

Ryota terdiam sejenak. Ia menghela napas panjang sebelum mengucapkannya.

"Saat sarapan, aku mengkritik makanannya karena keasinan, lalu Michelle malah marah dan menyuruhku untuk masak sendiri. Sudah tahu aku tidak bisa masak, malah disuruh masak sendiri. Tidak ada salahnya, kan, kalau aku bilang masakannya keasinan? Karena takut kena omelan lagi, aku pergi dengan alasan menyambut kedatanganmu."

Kemudian Ryota menangis.

Sungguh, benar-benar... Hanya masalah begini Ryota payah sekali.

Toru kini memukul kepala Ryota. Ryota jadi berhenti menangis. Kemudian Toru berkata, "Kau yang bodoh! Jangan mengatakannya dengan spontan, katakan dengan kalimat implisit dan baik-baik. Bisa saja marahnya istrimu karena dia sedang kedatangan tamu. Perempuan yang sedang begitu pasti sensitif sekali, tahu!"

Entah mendapat pencerahan dari mana, Toru bisa mengatakan seperti itu. Entah mengapa, pemikirannya lebih dewasa saat ini. Tetapi mengapa saat mengurusi urusannya sendiri otaknya tidak dapat berpikir? Sebenarnya, ia yang lebih bodoh mungkin.

The Love We've Made [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang