Kepala Taehyung masih dipenuhi pikiran akan event siang ini. Sesampainya di flat, sembari beri makan Yeontan dan awasi anjing itu berputar-putar entah mengejar apa, pikirannya dipenuhi sejumput pertanyaan bagaimana jika.
Bagaimana jika ia dan Seojoon dulu sempat aktualisasikan rencana mengadopsi? Bagaimana jika saat berpisah, Seojoon bersikeras mendapatkan hak asuh atas anak adopsi mereka? Bagaimana jika Seojoon meninggalkannya karena Taehyung tak akan pernah, tak akan bisa pernah, berikannya keturunan asli dari darah daging mereka.
Dan seribu bagaimana jika yang lain.
Sejemang, Taehyung rasakan ruang tamunya mengecil, udara sekitarnya cekik dia tanpa ampun. Pengap. Terlalu banyak tekanan. Aromaterapi lavender yang masih menyala seolah beri dia lebih banyak pikiran negatif—dari setiap uap yang membubung, dari setiap tarikan napas. Jimin akan datang sebentar lagi—janji akan habiskan waktu selama makan siang.
Dan di sinilah Taehyung—menyalahkan dirinya lagi dan lagi tanpa kasihan.
Pantas saja Seojoon berpikiran cari yang lain. Pantas saja Seojoon berhenti bicara padanya. Pantas saja Seojoon benci dia. Pantas—
—Taehyung pantas diperlakukan demikian. Haha. Siapa yang akan mencintai seseorang sepertinya? Yang pekerjaan sehari-harinya jual visual ke khalayak ramai. Yang fotonya terpajang di mana-mana—di majalah, papan iklan, produk ambassador, hell—Taehyung bahkan yakin tak sedikit yang menjadikannya bahan untuk get off kala penat dan bosan.
"Aing!"
Hai. Katakan terima kasih pada Yeontan karena buntalan kecil itu berhasil tarik Taehyung pada kenyataan.
"Tannie—nggak baik kagetkan orang," komentar Taehyung, lantas bawa si anjing mungil ke pangkuan. Dia bangkit sembari berat hati; arahkan langkah ke pintu. Mungkin Jimin sudah tiba sekarang.
"Tae!"
Ya, benar.
Yeontan melompat dari gendongan Taehyung ke permukaan lantai berkarpet—seluruh flat-nya sengaja dipasangkan build-in carpet; karena si pemilik benci dingin.
"Kamu baik?" Suara Jimin hangat dan ringan; Taehyung mampu usir insekuritas di kepalanya sejenak. "Aku bawa banyak makanan, dan side dish, dan dessert, dan camilan, dan—"
"Jiminieee!" Taehyung tergelak, masih berada dalam rengkuh erat sahabatnya. Sulit bertemu, akhir-akhir ini, karena Jimin harus habiskan waktu untuk latihan. Jadwal perform spesialnya kian mendekat. "Aku nggak peduli kamu mau bawa makanan atau nggak sama sekali. Cuma mau habiskan waktu ngobrol ...."
"What's with the pout, Taehyungie, of course I'd love to." Jimin katakan lagi; kali ini lebih lembut. Sebelah tangannya bawa sebongkah besar plastik isi makanan, dan tangan lainnya masih belum lepaskan Taehyung. "Hai, Tannie!" Lalu dibalas Yeontan yang memekik kecil.
—
Taehyung berakhir tak ceritakan apa pun pada Jimin siang itu—well, di luar improvement yang dia dapatkan semenjak konsultasi, maksudnya. Jimin adalah pendengar yang baik, hanya menginterupsi satu, dua kali untuk pastikan sesuatu. Sesekali pangku Yeontan yang kebetulan berlarian ke dekat mereka.
Waktu meja rendah di ruang tamu bersih dari makanan—Taehyung buatkan es cokelat dingin. Permukaan kaca mulai mengembun, sementara Taehyung dan Jimin masing-masing peluk bantal sofa.
"Tae, mau tahu apa yang ada di pikiranku waktu dulu kamu tunangan sama Seojoon? Waktu kamu telepon hampir tengah malem, dan kamu nangis bahagia, bahkan aku dibuat khawatir dan maksa buat pergi ke sini?"
Taehyung hela tawanya. "Which I denied, karena kamu ada di Busan buat liburan," komentarnya; pembicaraan tentang Seojoon sudah tak seberat dulu. Taehyung masih bisa tahan untuk yang ini. "Kenapa kamu tiba-tiba keinget masa lalu?"
"Karena aku inget, Tae, kamu nangis juga di telepon saat bilang mau pisah. Saat bilang Seojoon udah nggak cinta kamu lagi. Saat bilang kalau kamu banyak kekurangan dibanding mantan pasangan kamu. Dan waktu itu—setengah jam menuju tengah malam." Jimin berlirih; pandangnya ia lempar ke pangkuan. "And I was—I promised to myself. I want to punch his face; for making my best friend cry in delight, but also scream in despair.
"It's—you deserve everything good in this world, Taehyungie. Bukan karena kamu sahabat aku, bukan karena aku udah kenal kamu sejak masih pakai popok. Nggak. You're too pure, okay?" Jimin menghela napas lagi. "Even I want to put you in my pocket, roll you in a blanket, keeps you warm. Aku bahkan bakal minta ke Joonie supaya buatkan rumah boneka buat kamu tinggal."
Dan Taehyung tertegun.
Iya. Jimin adalah orang pertama—bahkan sebelum Yoongi—yang dia hubungi saat Seojoon got down on his knees. Dan yang jadi pendengar pertama juga; waktu Taehyung menelepon di tengah pandangan buram karena air mata.
"I'm sorry—"
"It was not your fault." Jimin tekankan lagi. Tangkup kedua pipi sahabatnya; pandang dalam. Nada lembut seolah Jimin tengah hadapi seorang remaja. "It was never your fault, you hear me?"
Dan Taehyung mengangguk.
Perasaan berat di hatinya berangsur hilang. Pun saat Jimin tawarkan untuk putar film, Taehyung tak jawab apa pun selain anggukan setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] And I'm Afraid I'll Miss You Forever • KOOKV
Fanfictiontaehyung temuinya di kantor konseling umum bagi mereka yang pernikahannya tak bisa diselamatkan. ketika taehyung bergumul dengan kesedihan; dia mencoba pahami mengapa jeon jeongguk terlihat lebih hidup setelah berpisah dengan pasangannya. tw// divor...