act thirteen

2K 352 22
                                    

Of all things happening between the two, kali ini Jeongguk terlihat luar biasa kikuk. Oke. Pria itu bahkan terbilang kaku dan reserved di mode normal, jadi Taehyung agaknya tak terlalu terganggu untuk ini.

Pembicaraannya dengan Yoongi tempo hari, Taehyung simpan baik-baik. Bahwa sekarang semua ada di tangannya—keputusan apa pun itu. Pun Yoongi sudah yakinkan Taehyung bahwa juniornya bukanlah tipe individu yang akan paksakan kehendak. Jauh; jauh berbeda dari orang yang pernah torehkan memori pahit di benak Taehyung.

Pertemuan kali ini atas undangan sang model.

Tak pilih tempat fancy; sengaja. Dan Taehyung pastikan lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat Jeongguk bekerja. Ambil jam makan siang seselesainya dia dari agensi pula.

"Saya—"

"Kalau kamu mau minta maaf, aku udah maafin kamu sejak kemarin, Jeongguk."

Pasang onyx the latter pandang Taehyung sejenak; hint terkejut membayangi di belakang. Untuk sejemang, rasa steak di lidah Taehyung berangsur hambar. Air muka Jeongguk pancarkan kondisi helpless, bahwa ya, dia sangat kecewa dengan sikapnya sendiri tempo hari. Jangan ingatkan soal serangan panik yang dia akibatkan.

"Tetap aja—saya ngerasa kurang ajar."

Letakkan alat makannya, Taehyung berinya senyum tulus.

"Hyungie udah cerita ke aku. Kalian ... saling kenal sebelumnya, kan?"

Seperti baru saja tertangkap basah ambil kudapan manis sebelum makan siang, Jeongguk tercenung. Buka mulut, hanya untuk tutupnya lagi. Ingin sampaikan sesuatu namun kelihatan urung.

Untuk sejenak, otaknya blank tanpa mampu berpikir jernih.

Kenyataannya dihamparkan jelas. Agaknya Jeongguk rasakan sedikit ketakutan.

"Maaf ... saya lancang."

Sejemang, sebelah alis Taehyung mengangkat bingung. Jeongguk beats him again before he could response.

"Yoongi hyung sebenernya ... sudah sering bicara tentang kamu. Kalian. Waktu berita kecelakaan pesawat orangtua kamu dan hyung. Gimana waktu itu kamu masih di sekolah menengah, dan bener-bener down karenanya. Dan keluarga kalian yang lain ... as in, nggak ada yang bersedia bantu dan malah ...."

Taehyung layangkan senyum tipis. Jeongguk kentara tak enak hati sampaikannya.

"Iya. Aku dan hyungie justru dianter ke panti. It's okay, Jeongguk ...."

"No, that's—harsh." Si dokter muda bersikeras. "Tapi, well, you've got each other. Dari situ nggak terpisahkan. Pun waktu kamu discover something about yourself, dan jadi momok di panti." Jeongguk hela napas pelan. "Waktu hyung cerita tentang ini, saya punya respect besar buat kamu, Taehyung. Walaupun waktu itu saya cuma lihat kamu lewat foto di ponsel hyung. You've been always fighting for your rights—dan somehow, it puts me to shame."

"Jeongguk—"

"Mungkin hyung sudah cerita?"

Taehyung amini pertanyaan Jeongguk dengan anggukan.

"Itu kenapa .... Despite saya belum kenal kamu secara proper, saya selalu punya respect besar buat kamu. I adore you, Taehyung, and I hope to meet you someday—that time." Dari sini, senyum Jeongguk teduh. Taehyung sukainya. "But then, Lady Fate has her own way. She makes us face each other in a situation like this. And I can't help but—"

"Jadi yang kamu rasakan buatku—it's just a feeling of adoration ...?"

"More than that." Jeongguk tundukkan kepala. Dia ragu—bimbang; apakah Taehyung mampu mencerna confession yang tiba-tiba. "I've—it's more than an adoration, Taehyung. Despite everything, that I've been always easily falling. Saya tahu—kali ini, perasaan saya yakin. Kalaupun—kalaupun kamu terganggu, saya bisa menjauh dari kamu. Kapan pun. Kamu cuma tinggal bilang. One word, and I'll disappear."

Taehyung tak suka bagaimana Jeongguk sembunyikan pasang tangannya di bawah meja. Tak miliki sesuatu dari Jeongguk untuk dia genggam dan berikan keyakinan. Bahwa bukan itu yang Taehyung maksudkan. Bukan Jeongguk untuk menghilang.

Pun sekarang, Jeongguk masih menolak tatap muka.

Sang model miliki keinginan kuat seberangi meja dan berikan keyakinan padanya.

"Did I tell you that I refuse your feelings for me, Jeongguk?"

"What—"

Kali ini, manik onyx Jeongguk membesar. Kerling bingungnya muncul. Keraguan yang semula warnai tiap inci dirinya perlahan dikikis. Diganti sentuhan tak percaya penuhi air mukanya.

Senyum Taehyung melebar.

"Aku nggak pernah suruh kamu buat menghilang gitu aja, kan?"

Laiknya anak bocah yang didikte harus makan gunakan tangan kanan, Jeongguk anggukkan kepala. Paham. Taehyung harus kerahkan seluruh kekuatan untuk tidak pergi ke sana dan cubit kedua pipi si lawan bicara.

"I've traumatized over my past marriage, Jeongguk. Aku bahkan bisa alami serangan panik setiap lihat wajahnya di teve, papan iklan, whatever you name it. Aku nggak bisa mengingat hal lain selain permintaannya untuk pisah dengan alasan dia nggak cintai aku kayak dulu," bibir bawah digigit, Taehyung bersikeras tetap lanjut, "hampir semua ingatan bahagia aku terhapus gitu aja, Jeongguk. Dan—dan aku nggak bisa berhenti berpikir kalau—kalau kamu ...."

"Kalau saya adalah dia yang lain?"

Dahi Taehyung bertaut sempurna. Ada ketakutan dalam dirinya perihal Jeongguk yang ketahui isi pikirannya. Pikiran terburuk yang pernah dia miliki.

Karena, hei, selama dia mengenal Jeon Jeongguk, hanya hal baik yang selalu pria itu tunjukkan padanya. Caranya merawat Haru, kasih sayangnya, pun bagaimana Jeongguk berusaha bangkit dari perpisahan yang kini hancurkan keluarga kecilnya.

Taehyung ingin singkirkan itu.

Tak mencoba munafik, karena sejujurnya, dia cuma butuh waktu.

"Baby steps?"

Hazel kini bersirobok dengan onyx yang dipenuhi harap. Taehyung tak pernah saksikan itu pada siapa pun. Bahkan pada mantan pasangannya—kala dia berlutut di sebuah restoran mewah tempatnya lakukan proposal. Meanwhile Jeongguk—Jeongguk pancarkan hal demikian. Sarat. Pure.

Tidak bohong kalau bilang perutnya serasa digelitik.

"Saya pun nggak ingin mengulang kesalahan saya yang dulu; terlalu gegabah dan berpikir kalau semua ini takdir. Bahwa dia—diciptakan buat sama saya. But then, di hari kami tandatangan surat, dia bilang, bahwa yeah. Saya terlalu cepat ambil kesimpulan." Jeongguk akui perasaannya. "That's why—saya menyesal sama diri saya sendiri waktu saya bikin kamu kena serangan panik kemarin .... Saya minta maaf."

Taehyung denguskan tawa geli. Otot-otot wajahnya gerakkan suka cita.

"Apology accepted," tuturnya dengan nada jenaka. "Tapi kamu harus belikan aku es krim dengan porsi paling besar di restoran ini."

Jeongguk—ever the whipped one setelah tambatkan matanya pada satu objek, tiba-tiba tegakkan badan. Maniknya menerawang daftar menu yang kala itu ditinggalkan di meja sebelah. Alisnya bertaut kala memilah. Taehyung perhatikannya sembari topang dagu.

Iya, baby steps. Taehyung bisa berkutat dengan itu. Sambil obati traumanya, dan yakini diri sendiri bahwa Jeon Jeongguk bukanlah personifikasi Park Seojoon yang lain.

Mereka berbeda. Sangat. Karena Jeongguk pun tengah bekerja keras tunjukkan perasaannya pada Taehyung.

Lima belas menit kemudian, saat menu dessert diantar ke meja, hazel Taehyung membelalak.

"Jeongguk! Ini terlalu besar!"

[✓] And I'm Afraid I'll Miss You Forever • KOOKVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang