part 36

7.3K 470 47
                                    

🥀🥀

Kebaikan orang lain bagaikan jarum dalam tumpukan jerami. Sukar untuk ditemukan. Sebaliknya, sejauh mata memandang yang tersebar hanyalah jerami busuk. Begitulah susahnya mencari kebaikan orang yang tampak dimata hanyalah keburukan dan keburukan.

🥀🥀


Sepekan berada di rumah sakit membuatku migrain berat. Bau antiseptik yang menguar dari setiap kamar rumah sakit semakin merasuki indra penciumanku.

Keberuntungan seakan berpihak padaku. Jingga hari ini diperbolehkan pulang namun harus tetap dalam pantauan dokter dan tidak boleh melakukan pekerjaan yang berat.

Tanganku sibuk mengepak barang-barang yang kubawa ke rumah sakit saat menginap.

Ingatanku masih berputar-putar pada satu hal. Sikap Abi sewaktu di rumah sakit tempo hari masih membuatku penasaran setengah mati. Sampai aku belum menemukan titik terang dari masalah ini aku tak kan berhenti.

Selesai mengurus administrasi Jingga sepenuhnya diizinkan pulang.

Saat ini kami sudah berada di dalam mobil untuk segera menuju rumah.
Aku melirik ke arah Jingga yang terlalu sibuk memasang sabuk pengaman.

"Sini Gus pasang." Aku mengambil alih pekerjaannya. Jingga kesusahan karena Al berada dalam gendongan.

"Makasih Gus."

Aku hanya tersenyum sebagai balasan. Dalam perjalanan pulang hanya keheningan yang tercipta.

Bukan perang dingin, kami tidak sedang perang dingin. Hanya saja aku terlalu sibuk dengan pikiran sendiri.

Siasat apa yang harus kulakukan untuk membongkar bom waktu yang akan meledak kapan saja? Aku tidak tahu. Petunjuknya terlalu rancu. Aku tidak boleh bertindak gegabah.

"Gus kita mau kemana? Kok jalannya beda?" Jingga menautkan alisnya. Menciptakan guratan di sana. Aku kembali dari alam bawah sadar mendengar pertanyaannya.

"Pulang ke rumah Ning. Memangnya Gus mau nyulik kamu apa? Enggak perlu panik gitu."

Jingga tersenyum. Manis sekali. "Rumah siapa? Kok arahnya berlawanan?"

Tanganku terulur mengusap puncak kepalanya. "Kamu tenang aja Ning. Sebentar lagi sampai. Gus enggak bakalan ninggalin kamu di pinggir jalan."

"Gus aneh tapi tampan."

Aku mendelik tajam mendengar pujiannya.

Jingga mengernyit. "Ada apa?"

"Hmmm ... Gus lagi mikir, untuk apa pujian itu?" tanyaku membuat Jingga semakin melebarkan senyumnya.

"Untuk suami Gus."

"Bucinnn ...."

Biasanya kalau ada maunya aja muji-muji. Dasar istri!

Suanasa kembali hening. Aku hendak membuka suara namun sudah terdahului oleh Jingga. "Gus boleh enggak Ning manggil Gus dengan panggilan Bi?"

Bi?

Aku mengulas senyum. "Abi?" tanyaku ingin tahu.

Jingga menggeleng, "Bi 'kesayangan', boleh,kan?"

"Memangnya itu artinya?"

Jingga mengganguk.

"Tapi Gus enggak punya panggilan spesial buat kamu selain, Jingga," kataku tanpa menatapnya.

"Bukan masalah besar Gus."

"Tapi Ning tau, kan apa arti Jingga?"

Ia mengganguk. "Jingga memiliki arti atau karakter gabungan antara warna merah dan kuning. Selain melambangkan kegembiraan, kekuatan dan kekuatan seperti warna merah, juga melambangkan keagungan dan kehidupan, seperti warna kuning."

GUS ZAIDAN (Mahabbah cinta Gus) Selesai✓ (Open Pre Order) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang