🥀Pov Jingga🥀
Aku duduk termenung di atas ranjang sempit ini. Lidahku terasa kelu, deraian air mata terus bersimbah layaknya badai. Sayangnya badai itu telah berhasil memporak-porandakan hidupku.
Rasa bersalah seakan menusuk-nusuk hatiku, perih, takut, gelisah, semua bercampur menjadi satu.
Takut jika anakku tidak akan kembali.
Gelisah, tidak tau apa yang kukatakan pada suamiku. Aku tidak bisa menjaga bayi kecil itu. Tadi pagi kami seakan keluarga yang paling bahagia di dunia ini. Dan siangnya, aku hancur berantakan. Begitu mudah waktu membolak-balik keadaan."Apa yang sedang kamu pikirkan?" Usapan lembut dikepalaku menyadarkanku dari lamunan panjang.
Aku mendongak. Suamiku berdiri sangat dekat denganku."Banyak Gus," sahutku menahan isakan tangis agar tidak pecah dihadapannya.
Ibu mana yang akan terlihat baik-baik saja ketika melihat anaknya sudah tiada.
"Istirahatlah. Gus akan menjagamu di sini. Jangan menangis terus. Utamakan kesehatanmu. Gus tahu ia akan baik-baik saja di sana. Malaikat akan menjaganya. Kau percaya pada kuasa Allah, kan? Tak ada yang bisa menyakitinya jika Allah sudah melindungi dia."
"Itu salahku, Gus. Aku tidak bisa menjaganya. A-aku bahkan dengan nyenyaknya tertidur tanpa ...." Aku menghentikan kata-kataku. Rasanya berat. Entah bagaimana hidupku jika selanjutnya. Tanpa dia, anakku.
"Sttt ... tenanglah itu bukan salahmu. Gus juga mengerti. Ning butuh istirahat. Sekarang tidurlah. Jangan berpikir macam-macam." Dia menuntunku agar terus berbaring.
Pria dihadapanku terlihat berpikir. Sesekali meminjit pelipisnya dengan geram.
Aku memberanikan diri bertanya."Apa ada yang sedang menggangu pikirinmu, Gus?" tanyaku hendak bangun dari tidur.
Namun buru-buru ia menahannya. "Jangan bergerak. Kamu belum sepenuhnya pulih. Gus tidak mau hal yang buruk menimpamu." Tersirat jelas nada khawatir dalam benaknya. Aku bisa merasakan hal itu.
"Lantas kenapa Gus terlihat gelisah?" tanyaku seraya menyetuh pipinya.
"Aku tidak tau, Ning. Setiap kali melihatmu ... rasa itu terus mendera. Membuat Gus sesak dan tidak bisa berpikir jernih. Menurutmu, apakah aku seorang laki-laki yang tidak baik?" Aku mengernyit mendengar penuturannya.
"Kenapa Gus merasa seperti itu?" Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.
"Entahlah. Mungkin hanya perasaan Gus. Abaikan saja."
Tidak Gus. Aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Ada hal sedang kamu sembunyikan dariku. Dam aku bisa merasakan itu. Batinku tak terima jika dia menyimpan kegelisahan itu sendiri.
Aku mengulurkan tangan. Berusaha menjangkau pipinya. Mengusap lembut rahang kokohnya. Ia kembali menatapku. "Gus, katakan jika ada sesuatu yang menggangmu."
Dia menggenggam tanganku yang masih berada di wajahnya. " Tidak ada. Gus hanya penasaran, setelah pergi dari sini. Apakah ada orang lain yang menjengukmu." Akhirnya ia memilih berbicara. Tentu saja ada Gus.
"Setelah Gus pergi, Kayla mampir kesini." Raut wajah Gus semakin datar dan dingin. Baru kali aku melihat tatapan semenakutkan itu. Apakah begini marahnya orang yang suka bercanda? Tapi untuk apa? Kenapa dia marah?
Dia semakin mengetatkan rahangnya. "Tapi cuma sebentar. Setelah melihat keadaanku dia pergi," lanjutku tetapi tetap saja tidak mendapat balasan darinya.
Aku benar-benar dibuat bingung. Tadinya Kayla memang mampir kesini. Toh dia juga sahabatku, apa salahnya? Sejenak aku terdiam mengukur reaksinya suamiku.
Kayla hanya menjengukku sebentar lantas berlalu pergi begitu saja. Lagipula dia tidak mengatakan apapun.
Aku semakin dibuat terperangah melihat kelakuan pria dihadapanku sekarang. Dia lebih memilih pergi ketimbang mendengar penjelasanku.
Itu sangat tidak wajar dan aneh.
Baiklah lupakan. Mungkin keadaannya sedang tidak baik.
Atau jangan-jangan Gus curiga pada Kayla? Tapi itu tidak mungkin. Dia bersamaku dan tidak ada gelagat aneh yang ia tunjukkan. Rasanya mustahil.Aku larut dalam keheningan, sampai suara handphone di atas nakas mengalahkan pandanganku. Kuraih benda itu dan ternyata kakakku yang menelpon.
"Assalamualaikum, dek!
"Waalaikumsalam, kak."
"Gimana keadaan kamu sekarang? Persalinannya lancar,kan? Ponakan kakak sehat, kan? Kakak tidak sabar ingin melihatnya."
Aku menghela nafas, malas mendengar ocehan kakakku. Jika penasaran kenapa tidak langsung pulang saja melihat sendiri? Dia terus menodongku dengan berbagai pertanyaan.
"Kapan kakak pulang? Aku merindukanmu."
Akan lebih baik jika aku tak memberitahunya hal buruk apa yang telah menimpaku. Aku tidak ingin dia khawatir.
"Minggu depan. Setelah acara haul Abah Tasik selesai. Belum juga lama pergi udah ditagih kapan pulang."
"Iya-iya. Segera pulang dan bawa kabar baik. Ingat!"
"Iya bawel. Istirahatlah."
Aku memutuskan panggilan sepihak. Beginilah kami setiap bertemu. Biarpun dia sedikit cerewet, bagiku dia adalah kakak yang sangat pengertian.
Pernikahan kami memang tidak terlalu jauh berbeda. Meskipun duluan kakakku yang menikah, namun sampai saat ini ia belum juga hamil. Terkadang aku merasa iba melihatnya.
Mungkin saja Tuhan sedang mengujinya.
Lalu bagaimana denganku? Tak lebih terpuruknya dengan kakakku. Malahan lebih menyakitkan melihat kebahagiaan yang sudah kugenggam hilang dalam sekejap.
🥀🥀
Jarum jam sudah menunjukkan angka tengah malam. Berulangkali aku menghalau rasa gelisah.
Bagaimana keadaan anakku di luar sana? Dia sedang menangis? Kehausan? Atau ....Tak terasa buliran bening itu kembali berjatuhan. Rasa sesak kembali menyeruak di dadaku. Belum lagi sikap dingin suamiku masih sama sejak tadi siang ia meninggalkanku dengan beribu tanda tanya.
Aku tidak ingin selemah ini.
Anakku pasti baik-baik saja.
Yakinkan dirimu Jingga.
Kepalaku terasa pening dan suasana di dalam benda-benda di dalam ruangan itu terlihat berputar-putar.
Di sela-sela kesakitan yang kurasakan. Samar-samar dari arah luar aku mendengar suara tangis bayi. Tunggu? Bayi? Aku semakin memperjelas pendegaranku. Mungkin hanya firasat saja karena aku sangat merindukan anakku.
Kuhiraukan suara tersebut. Bisa saja itu suara dari kamar sebelah. Mungkin ... namun semakin kuhiraukan suara tersebut semakin nyaring terdengar.
Aku bimbang ingin membangunkan Gus tapi tidurnya nyenyak sekali. Kurasa ia kelelahan. Tanpa pikir panjang aku segera beranjak turun dari ranjang. Sendikit meringis ketika tanganku tertarik, selang infus masih melekat di sana. Perlahan aku menariknya agar tidak menimbulkan rasa sakit ditanganku.
Dengan tertatih menahan kepala yang terasa berat akhirnya aku sampai di ambang pintu.
"AL-KAFF?"
"Blibet amat idup lu Thor. Udah nyulik anak orang, terus tiba-tiba dibalikin. Apa maksudnya? Cepat jelaskan sebelum lu ane bawa ke kantor polisi."
"Terserah gue mau ngapain. Si Al cucu gue."
Apa maksudnya? Jelaskan. Yang jelas kelen udah nuduh calon istri gue si Kayla. Minta maaf 😏
KAMU SEDANG MEMBACA
GUS ZAIDAN (Mahabbah cinta Gus) Selesai✓ (Open Pre Order)
Ficção AdolescenteEnd season 1 (Part masih lengkap) Sebagian cerita diunpublish demi kepentingan penerbitan 🙏🙏 Membangun betra rumah tangga dengan orang yang belum kita kenal. Sungguh itu di luar perkiraan. Namun, jika takdir mengharuskan demikian. Maka, aku tidak...