🥀🥀
"Gus ...."
Jingga memanggilku dengan isakan pilu yang tak tertahan. Aku segera berlarian ke arahnya.
"Ning, ada apa?" Aku menangkup kedua pipinya. Jemariku mulai gemetaran tak karuan. Dokter yang bertugas mengoperasi Jingga juga berada di sana.
Tatapanku menyisir ke seluruh ruangan. Hingga titik fokusku tertuju pada satu arah. Di mana anakku?
Jingga semakin mengeraskan tangisannya membuatku semakin kalut.
"Aku tidak bisa menjaganya, Gus."
"A-aku tidak bisa ...."
Ya Tuhan ... cobaan apalagi ini.
"Tenang, Ning." Aku semakin mengeratkan pelukan. Mencoba menenangkannya.
Wanita berseragam putih itu mendekat ke arahku. Aku langsung menodongnya dengan berbagai pertanyaan yang sudah terpatri sejak tadi. "Apa yang terjadi, Dok? Di mana anak saya?" tanyaku padanya. Namun ia mengernyitkan keningnya.
"Itulah yang ingin saya tanyakan. Kemana anak bapak. Sejak saya masuk untuk pemeriksaan, hanya istri bapak yang tengah tertidur lelap, sedangkan anak bapak ...." Ia menjeda kalimatnya. Tanpa dilanjut pun aku sudah bisa menebak kemana arah pembicaraannya.
Bagaikan dilempar ke dasar jurang, kemudian batu besar melayang di atas kepalaku. Itulah yang kurasakan saat ini. Aku tak sanggup berpikir jernih, kepalaku terasa berdenyut.
Sedangkan di hadapanku. Jingga terus menangis tak karuan. Aku mendekapnya, memberikan ketenangan untuk sesaat. Tapi,
itu tidak cukup untuk membuatnya tenang, Jingga semakin tergugu. Ia meronta dalam pelukanku meminta untuk pergi mencari anaknya. "Anakku dimana, Gus? Dia menghilang. Biarkan aku mencarinya. Dia ... dia masih terlalu kecil Gus.""Kumohon ... biarkan aku pergi, Gus!"
"Gus ...."
Aku bergeming. Menghiraukan segala permintaannya. Apa yang harus aku lakukan?
Aku melirik ke arah sang dokter. Ia pun sama gelisahnya denganku. "Apa ya g harus saya lakukan dokter?" lirihku perih.
"Tenangkan diri anda, Pak. Saya telah memberitahukan masalah ini ke pihak keamanan. Kami sedang menunggu instruksi selanjutnya."
"Berapa lama dokter? Anak saya mungkin dalam bahaya sekarang," sergahku tak sabaran.
"Kami akan mengupayakan yang terbaik untuk anak bapak."
24 jam adalah waktu yang sangat lama untuk menunggu. Jangankan melewati menit. Satu detik saja sudah sangat Menyiksa batinku.
Sejauh ini aku tidak pernah punya musuh. Siapa yang ingin menghancurkan keluargaku?
Jika dalam waktu tersebut anakku tidak juga ditemukan. Maka jalan terakhir adalah pihak kepolisian.
Aku tidak bisa menerka siapa yang telah berani bermain-main denganku. Akan kubalas ia berkali lipat jika sampai terjadi sesuatu dengan anakku.
Tak berselang lama kabar ini tersiar seluruh keluarga besarku dan Jingga sudah kembali ke rumah sakit. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Umi dan mertuaku berulang kali memenangkan Jingga agar selalu berpikir positif perihal kehilangan anaknya.
Mungkin saja perawat salah membawanya. Mungkin? Tapi kemungkinan itu tipis sekali.
Aku tak bisa berdiam diri menunggu kabar yang tidak pasti kebenarannya. Segera aku beranjak menemui kepala keamanan di rumah sakit ini.
Tak harus melangkah terlalu jauh. Pihak mereka sudah berjalan menuju ke arahku terlebih dulu.
"Selamat siang, Pak!" sapanya mengulurkan sebelah tangan.
"Bagaimana dengan anak saya, Pak?" tanyaku tak sabaran. Ayah mana yang masih terlihat tenang? Sedangkan di luar sana nasib anaknya masih terombang-ambing.
"Kami telah menyerahkan kasus ini ke pihak yang berwajib atas permintaan bapak sendiri. Dan kasus ini murni kejahatan berencana. Sesuai dengan bukti yang kami temukan yaitu CCTV."
"Terimakasih banyak atas bantuannya, pak."
"Sudah menjadi kewajiban kami selaku aparat keamanan di rumah sakit ini."
🥀🥀
Janji dibuat untuk ditepati bukan untuk di ingkari. Sepertinya aku tidak bisa menepati janjiku dengan Abah. Belum lewat sehari aku berjanji sudah membuat Jingga menangis. Ini semua salahku. Salahku karena telah meninggalkannya sendirian.
Aku tak sanggup biarpun hanya untuk sekedar melihat keadaan Jingga. Mungkin saja hatinya lebih perih saat kehilangan melebihi sakit ketika melahirkan. Apa yang harus kulakukan?
Aku bersandar di dinding kamar Jingga di rawat. Tak sanggup melangkahkan memikirkan apapun. Kakiku terasa lemas tak berdaya, seketika aku luruh di lantai dengan punggung masih bersandar pada dinding.
Kebahagiaan yang baru saja kami petik sirna dalam sesaat. Dosa apa yang telah kuperbuat hingga mendapat balasan sepedih ini? Jika memang dosaku terlalu besar, ampuni hamba ya Rabb. Kembalikan anak hamba bersama kami.
Karena untuk saat ini, bahagia Jingga adalah melihat anaknya.Di saat-saat seperti ini kilasan senyuman Jingga terpancar jelas dal ingatanku.
Bahkan saat itu kami sempat berdebat hanya karna nama calon bayi yang masih setia di dalam perut ibunya.
"Ning, kalau bayinya laki-laki Gus yang kasi nama, ya?" tanyaku kala itu.
Ia tak terima atas usulku. "Enggak bisa gitu, Gus. Jingga juga pengen ngasih nama dia," balasnya tak mau kalah.
Aku memutar otak mencari cara agar dia mau sesuai dengan keinginanku. "Al-kaff Mubarrak. Gimana?" Kurasa nama itu sangat cocok dengannya. Apa lagi ada namaku di belakang.
"Ya bagus sih Gus. Tapi nama belakangnya enggak perlu sama juga enggak pa-pa, Gus."
Tentu saja perlu, malahan sangat-sangat perlu. "Dia itu penerusku di masa depan. Tentu saja harus mengikut ayahnya. Asalkan jangan ibunya, nanti diajarkan yang enggak bener."
Jingga tersenyum masam. "Enggak di ajarin apa-apa kok Gus. Cuman di ajarin 'nak kalau gedek jangan seperti ayah, ya' cuman bilang gitu."
Aku mengernyit. Memangnya sifatku seperti apa? "Kenapa dengan sifat Gus?"
"Kadang-kadang suka bikin naik darah," sahut Jingga dengan santainya.
"Halahhh ... memang dasarnya aja yang punya riwayat darah tinggi."
"Gussss ...."
Aku memang ahli dalam membuat orang lain darah tinggi. Walaupun begitu Jingga tetap saja tidak bisa jauh-jauh sedikitpun dariku.
Segi posesifnya selalu muncul ketika kami jalan-jalan dan mendapati perempuan lain memandang kearahku.
Lamunanku teralihkan oleh suara dering Handphone yang berada dalam saku. Entah sudah berapa kali ia berbunyi.
5 panggilan tak terjawab dari Gus Rofiq, sahabat baikku. Dan satu pesan dari nomor yang tidak ku kenal.
Tidak, bukan hanya satu. Melainkan pesan beruntun. Aku tergerak untuk membuka pesan tersebut dan menghiraukan panggilan sahabatku sendiri.
"Ikuti perintahku jika ingin anakmu panjang umur!"
"Aku tidak berkata dua kali."
Bersambung .....
Tebak-tebakan yuk... Kira-kira siapa yang nyulik anaknya si Gus.
A. Kayla
B. Dokter
C. Orang tak dikenal
D. Author sendiri😂
Ane kasih clue-nya. Yang nyulik punya dua lobang hidung. Dah sekian selamat membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
GUS ZAIDAN (Mahabbah cinta Gus) Selesai✓ (Open Pre Order)
Novela JuvenilEnd season 1 (Part masih lengkap) Sebagian cerita diunpublish demi kepentingan penerbitan 🙏🙏 Membangun betra rumah tangga dengan orang yang belum kita kenal. Sungguh itu di luar perkiraan. Namun, jika takdir mengharuskan demikian. Maka, aku tidak...