Prolog : Suara

424 36 15
                                    

Di dalam sini dingin, aku bisa merasakannya lewat pori-pori kulitku. Aku belum siap untuk membuka mata. Karena disini cukup sunyi, dan tenang.

Aku ingin memulainya dengan pergerakan kecil. Kemudian, jemariku mencoba meraba sekitar. Tak ada yang bisa kusentuh. Aku heran.

Perlahan aku membuka indra penglihatanku, aku menyerah. Walaupun rasa takut membuat kaki ini gemetar. Tapi, aku harus melihat seperti apa tempat ini.

"Allahu akbar! Allahu akbar!" Suara ini samar-samar terdengar.

Sontak aku melanjutkan niatku tadi. Mataku terbuka, menjelajah seisi ruangan. Tak ada yang bisa kulihat selain putih.

"Allahu akbar! Allahu akbar!" Suara itu lagi, sepertinya suara itu berasal dari barat.

Kaki ini langsung berlari mengejar suara yang indah itu. Walaupun hanya dua kata, tapi seseorang yang mengumandangkannya memiliki suara bak malaikat.

Suara ini semakin dekat.

Semakin jelas.

Aku bisa mendengarnya.

"DASHA!!"

Seluruh tubuhku bagai menerima setruman hebat. Aku terbangun dari mimpi anehku. "Apa sih,Ma?"

"Bangun udah siang," Mama membuka gorden kamarku.

"Aku kan pengangguran, kenapa harus bangun pagi-pagi gini?"

"Ini udah jam 10, pagi apanya? Udah gak usah ngeles, Papa udah nunggu kamu di kantornya." Mama berjalan keluar dari kamarku.

Beginilah kehidupan seorang Dasha Eleanor. Gadis pemalas, yang tidak ingin terikat dalam urusan pekerjaan. Aku hanya ingin mencari uang dengan cara serabutan, tanpa harus terikat perusahaan mana pun. Tapi kenapa kali ini Papa memanggilku ke kantornya? Aku harap bukan untuk tawaran bekerja disana.

Kedua burung di luar jendela menarik perhatianku. Mereka mengepakkan sayap dengan indah. Terbang kemana pun yang mereka mau. Aku rasa, kedua burung itu sangat beruntung. Mereka tak terkurung dalam sangkar seperti burung lainnya.

Melihat kedua burung itu, aku jadi ingin seperti mereka. Aku tidak ingin terikat dengan perusahaan Eleanor milik keluarga kami. Sayangnya, perusahaan itu sudah resmi diwariskan untukku. Jika bukan aku, lalu siapa yang akan mengurus perusahaan turun temurun itu? Sementara aku ini adalah putri tunggalnya. Seandainya aku ada dua seperti burung itu. Mungkin aku akan menyerahkan warisan ini pada diriku yang satunya. Lalu aku terbang bebas tanpa beban apa pun.

"Allahu akbar," gumamku.

Aku jadi teringat dengan suara yang belakangan ini menghantuiku. Nada merdu itu menenangkan, rasanya seperti siren sedang memanggilku. Apa artinya Allahu akbar? Aku jadi ingin mengetahuinya.





Teman Dari Tuhan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang