Part 14 : Callena

61 9 0
                                    

"Huwaaaaa!!" suara tangisan anak laki-laki itu memenuhi seisi ruangan.

"Jangan menangis Damian," Callena berusaha menenangkan putranya.

"Mama?" Damian menghapus air matanya kemudian terduduk dengan wajah yang lucu.

"Apa?"

"Apa Mama mencintai Papa?" tanya Damian dengan polisnya. Halilintar bagai bertamu pada dada Callena. Bibirnya tertutup rapat.

"Bukankan orang tua itu harus saling mencintai?" Damian mengerucutkan bibirnya. Callena masih terdiam dalam kebingungan. Ia tak tahu bagai mana menata kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan anaknya itu.

"Tentu saja kami saling mencintai," suara yang tak asing bagi Callena tiba-tiba menjawab pertanyaan si buah hati.

"Neron?" Callena terkejut dengan kehadiran suaminya.

"Damian, jangan menanyakan hal yang tidak sopan pada Mamamu, tentu saja kami saling mencintai karena itu kau lahir ... " jelas Neron.

"Berhentilah menanyakan hal yang tidak perlu," lanjut Neron.

"Maafkan aku Papa," Damian merasa bersalah.

"Sudahlah, jangan terlalu keras pada anakmu, lagipula dia masih kecil, rasa penasarannya tak bisa ia tahan," Callena mengelus lembut rambut Damian.

"Dan kau, aku tidak ingin memiliki anak yang manja, jadi jangan sekali-kali kau membuatnya menjadi seperti itu, berhentilah memanjakannya," ucap Neron dingin. Damian hanya bisa menatap wajah ibunya yang tertunduk. Wajah itu tengah menyimpan ribuan luka dan Callena harus menahannya seorang diri.

    Akhirnya sang Surya menyerah pada malam. Langit berubah menjadi gelap. Tak ada bulan juga bintang yang bertaburan di langit. Hanya hitam yang mampu Callena pandang. Tubuhnya memerlukan udara segar dari balkon kamarnya ini. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam namun Neron tak kunjung pulang. Damian sudah terlelap tanpa kecupan ayah untuk pengantar tidurnya.

    Semakin larut malam, semakin jatuh Callena pada lamunannya. Pupilnya menatap kedepan namun tak ada objek yang ia tatap, pandangannya kosong. Memori masa lalu menyeruak masuk pada ruang otaknya. Saat itu ketika Callena akan menikahi Neron.

     Empat tahun lalu di Pireas, Yunani. Kota yang dipenuhi dengan pelabuhan dan kapal-kapal yang berjejer. Callena setengah berlari di trotoar jalan. Ibunya menyampaikan bahwa ayahnya akan mengajak Callena untuk makan siang bersama kerabatnya. Tenenot tenenot, ponsel Callena berdering. Tangan Callena merogoh isi tasnya. "Halo?" Callena menyapa si Penelpon.

"Kamu dimana, Cal? Nongkrong yuk!" ajak seseorang di sebrang sana.

"Aku gak bisa, Sha. Ayahku ngajak makan siang sama kera—" Callena seketika berhenti. Ia menangkap sosok yang membuatnya mematung.

"Apa Cal? Kamu mau makan siang sama kera? Hahahaha," Dasha tertawa terbahak-bahak.

"Ehh bukan! Sha aku liat Neron," ujar Callena antusias.

"Hah? Serius? Dimana? Cal please kasih tau aku, kamu tau kan aku udah lama nyariin dia," Dasha pun lebih antusias. Mata Callena menjelajah sekitar.

"Dia ada di depan resto Kali pita tempat kita nongkrong, tapi kayanya dia mau pergi deh, soalnya dia mau naik mobil," jelas Callena secara rinci.

"Yahh, ga apa-apa deh Cal, nanti aku cari tahu sendiri, seenggaknya aku seneng dapet info dari kamu kalau dia ada di Yunani," ujar Dasha.

     Tinggal beberapa langkah lagi Callena akan sampai ke restoran Parmigiani, tempat dimana ayahnya membuat janji. Namun sekali lagi Callena terkejut karena melihat mobil yang digunakan Neron terparkir disana. Benaknya masih berpikir positif, mungkin saja Neron mampir untuk bertemu temannya. Callena pun membiarkan tubuhnya masuk ke dalam restoran.

    Mata Callena menjelajah seisi ruangan. Parmigiani memang selalu penuh dengan pengunjung. Restoran ini tampak mewah, makanan yang mereka sajikan adalah makanan khas italia. Akhirnya Callena menemukan sosok ayahnya. Ia pun menghampiri ke arah meja yang terletak di dekat jendela. Semakin dekat langkah Callena pada meja itu, semakin jelas pula wajah-wajah kerabat yang ayahnya maksud. Namun tubuh Callena mematung ketika retinanya melihat wajah mereka dengan jelas. Seorang pria bernama Neron ternyata ikut gabung disana. "Jangan-jangan ..." gumam Callena.

"Oh Callena sudah datang," Ayah Callena memergoki putrinya yang tengah terdiam di tengah-tengah ruangan itu.

"Oy Callena!" panggil Cyrus—ayah Callena—hingga membuat lamunan Callena buyar.

"Ayah?" Callena perlahan mulai menghampiri meja tempat ayahnya berada.

"Ini dia putriku Callena," dengan bangga Cyrus memperkenalkan putrinya.

"Ha ... Halo," Callena menjabat tangan mereka dengan gugup.

"Nampaknya calon istrimu gugup Neron," canda Vany—ibu Neron. Mendengar pernyataan itu Callena semakin membelalakan mata. Jadi dugaan yang sempat ia singkirkan tadi itu benar. Neron adalah calon suami yang telah disiapkan ayahnya.

   Hari-hari Callena sangat sulit. Rasa perih yang ia rasakan terus menggerogoti hati. Apalagi ketika melihat senyum Dasha—sahabat kecilnya. Ia tak bisa membayangkan betapa akan hancurnya hati gadis itu. Ketika tahu lelaki yang ia idamkan akan mempersunting sahabatnya sendiri.

     Tak jarang Callena merengek pada ayahnya untuk membatalkan pernikahannya dengan Neron. Tapi ayahnya bersikeras menolak. Pasti alasan yang ia lontarkan adalah demi kelanjutan ekonomi keluarganya yang hampir bangkrut, dan demi menunaikan janji kepada sahabat kecil ayahnya itu.

      Namun Callena masih tetap berdiri di depan ruang kerja Cyrus. Ini adalah usaha terakhirnya untuk menolak pernikahan itu. Callena menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan sekali hembusan. Ketika Callena hendak melangkah, seseorang menahan pundaknya. "Ibu?" Callena mengernyitkan dahi.

"Biar ibu bicara padamu," Callena pun membuntuti langkah ibunya. Hingga mereka sampai di kamar orang tua Callena. Daisy—ibu Callena—menjatuhkan bokongnya di kasur. Kemudian ia melontarkan pertanyaan pada Callena, "apa kamu berniat untuk merengek pada Ayahmu lagi soal pernikahanmu itu?"

"Aku tidak bisa menikah dengan Neron Ibu," ujar Callena.

"Neron adalah pria yang baik, dia juga pintar, dan penampilannya pun sangat tampan. Kenapa kamu menolak?" bujuk Daisy.

"Tak ada cinta diantara kami," ucap Callena tegas.

"Apakah kamu rela mengorbankan orang tuamu demi cinta? Cinta apa yang kau cari Callena?! Kami telah berkorban banyak untuk membesarkanmu, tapi kenapa kamu tidak mau menolong kami?" Daisy meledak-ledak. Callena tak sanggup lagi mengeluarkan kata-kata. Baru kali ini ia melihat wanita yang mengandungnya semarah itu.

"Hidup itu penuh pengorbanan Callena, kami pun hidup dengan penuh tekanan, kamu tahu sendiri ayahmu tengah berjuang untuk menghidupi keluarga ini, apa kamu masih mau membantah perintah ayahmu?" lanjut Daisy dengan derai air mata. Melihat ibunya menangis, Callena tak tega. Ia berlutut di hadapan ibunya.

"Jika dengan pernikahanku akan membantu kalian, maka lakukanlah. Walaupun harus menjual kebahagiaanku sendiri," Callena menggenggam tangan ibunya.

"Maafkan kami Callena, kami tidak punya jalan lain."

    Satu tahun berlalu setelah kejadian itu. Callena hanya bisa menyembunyikan perjodohannya dengan Neron dari Dasha. Hingga akhirnya Dasha mengetahui sendiri kebenarannya. Dan menyebabkan keretakan pada hubungan persahabatan mereka.

°°°

       

Teman Dari Tuhan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang