Rambut kecoklatan itu menari-nari. Nafasnya memburu, matanya menampung genangan air. Akhirnya ia tersungkur di sebuah dermaga. Menumpahkan semua tangisnya dan perlahan ia memeluk kedua lututnya. Ia tenggelamkan wajahnya dalam-dalam. Seakan matanya tak ingin melihat keadaannya saat ini. Ia begitu rapuh, hidupnya begitu hampa.Perlahan gadis ini mendekati ibunya. Ia berusaha memulai pembicaraan setelah 3 tahun bungkam diantara mereka. "Bu?" Dasha memulai pembicaraan.
"Ada perlu apa?" tanya ibu Dasha.
"Aku ... Aku tidak ingin hubungan kita menjadi asing," ujar Dasha memberanikan diri. Namun Irin hanya membalasnya dengan diam.
"Bu? Apakah tindakanku itu keterlaluan? Apakah aku keterlaluan jika aku memilih jalan hidupku sendiri?" jelas Dasha.
"Cukup Dasha! Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri, kamu tidak memikirkan keluarga besar Eleanor, kamu sungguh egois!" Irin akhirnya membuka mulutnya.
"Kamu egois ... "
"Kamu egois ... "
Ingatan itu terus menghantui pikiran Dasha. Perkataan Irin sungguh selalu terngiang di benak Dasha.
Hari semakin sore, langit pun mulai menjingga. Dasha menghabiskan waktunya di dermaga ini. Lebih tepatnya ia menghabiskan waktu untuk membuang air mata. Sepasang mata wanita tua ini tak sengaja menangkap sosok Dasha yang tengah menangis. Dengan rasa iba ia pun menghampirinya. Wanita tua itu menyentuh pundak Dasha, "nak?"
Dasha pun menoleh ke arah sumber suara, "ada apa ya, Nek?"
"Kamu sedang apa disini?" tanya nenek itu.
"Menenangkan diri," jawab Dasha singkat.
"Maaf mengganggumu, sepertinya kamu sedang sedih jadi aku memutuskan untuk menyapamu sebentar," jelas si Nenek. Dasha hanya diam tak bergeming, ia terpaku pada hijab yang nenek itu kenakan.
"Nak? Apa aku membuatmu tak nyaman? Kalau begitu aku permisi-"
"Eh tidak Nek, maaf aku melamun. Nenek mau kemana habis ini?" Dasha mengerjap.
"Aku kebetulan mau pergi ke masjid Annur," jawab si Nenek.
"Masjid Annur? Memangnya ada masjid yang legal di Yunani?" tanya Dasha.
"Masjid ini memang tidak legal, tempatnya di gang. Walaupun begitu kami butuh tempat untuk ibadah dan bersosialisasi dengan muslim yang lain," jelas Nenek tadi.
"Kalau begitu aku mau ikut, apa boleh?" Dasha senang dengan informasi yang ia dapat. Ternyata di negaranya sendiri pun ada mesjid, sebuah bangunan yang mempertemukannya dengan adzan kala itu.
"Boleh, tapi tolong jaga rahasia kami ya, Nak?" ujar si Nenek sedikit takut. Dasha pun mengangguk setuju.
Setelah lima belas menit berjalan kaki, si Nenek yang memiliki nama Sarah itu membuka pintu yang berdiri di hadapannya. Dasha membuntuti langkah Sarah yang masuk ke dalam mesjid. Sebentar lagi sang Muadzin akan mengumandangkan adzan. Walaupun tanpa pengeras suara, tak melunturkan semangatnya untuk mengumandangkan alunan suci itu.
Dengan khidmat Dasha mendengarkan setiap kalimat adzan yang dikumandangkan. Matanya terpejam menikmati merdunya suara Muadzin. Setelah adzan selesai dikumandangkan, Dasha kembali membuka matanya. Namun ia terkejut dengan pemandangan yang ia lihat. Ia membelalakkan matanya. Berulang kali pikirannya meyakinkan bahwa apa yang ia lihat hanya ilusi. Namun sosok di depannya itu tak juga menghilang. Dasha menoleh ke samping, si Nenek Sarah tengah bersiap untuk melaksanakan shalat. Dasha pun mengurungkan niatnya untuk bertanya.
Sarah mengucap "aamiin" setelah usai memanjatkan do'a. Dasha yang sedari tadi menunggu akan melancarkan niatnya. Sebelum itu, otak Dasha tengah merangkai kata yang tepat. "Umm, Nek?" Dasha mulai berbicara.
"Ada apa?" tanya Sarah.
"Apa Nenek kenal dengan pria yang di depan sana?" Dasha mengarahkan telunjuknya.
"Oh dia, dia baru bergabung dengan kami tiga bulan yang lalu. Katanya dia tengah mencari seseorang. Kasihan sekali, Dia datang dari negara yang jauh, apa ya nama negaranya? Aku lupa," Sarah tampak berpikir. Mata Dasha berkaca-kaca. Ia kini sudah yakin dengan sosok yang ia lihat. Satu persatu jamaah beranjak dari duduknya.
"Abizar!" Dasha menumpahkan tangisnya. Sarah kebingungan melihat Dasha yang tiba-tiba saja menangis. Abizar yang baru saja selesai memanjatkan do'a terkejut mendengar suara yang tak lagi asing baginya. Ia pun menoleh ke belakang.
"Dasha?" Abizar membelalakkan matanya. Ia seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Abizar ... Kamu?" Perkataan Dasha terpotong oleh tangis. Abizar pun menghampiri Dasha.
"Tolong berhentilah menangis," ujar Abizar berusaha menenangkan.
"Jadi orang ini yang kamu cari?" tanya Sarah. Abizar pun mengangguk pelan.
"Barakallah, Allah telah mempertemukan kalian," lanjut Sarah.
Rasanya seluruh tubuh Dasha telah ditumbuhi jaring laba-laba. Sebenarnya ia lelah menunggu Abizar selama ini. Tapi apa boleh buat? Dasha harus tetap menanti lelaki itu keluar dari mesjid. Nampaknya kegiatan mengaji Bizar telah usai. Lelaki itu mulai menampakkan wajahnya di depan Dasha. Mereka pun berjalan menyusuri gang untuk mencari sebuah restoran terdekat.
Dasha membawa Bizar ke Kali pita, sebuah resto kesayangan tempatnya menongkrong dengan teman-teman semasa sekolah. Biasanya Dasha selalu memilih meja di luar agar bisa menikmati indahnya pemandangan laut. Tapi kali ini, Dasha memilih duduk di dalam restoran. Agar tak ada seorang pun yang melihatnya dengan Abizar.
Setelah memesan makanan, Dasha tak sabar ingin memulai pembicaraan dengan pria di hadapannya ini. Namun Dasha masih terasa kaku karena lamanya waktu memisahkan mereka berdua. Begitu pun dengan Bizar yang gugup, ditambah lagi makan berdua dengan gadis bukan mukhrim adalah dosa baginya. Ia justru was-was terhadap dosanya bukan gugup karena baru bertemu Dasha setelah sekian lama. "Bizar? Bagaimana bisa kamu ada disini?" tanya Dasha to the point.
"Karena aku mencarimu," jawab Bizar polos. Namun justru ucapan Bizar yang polos itu membuat jantung Dasha berdegup kencang. Pipinya mulai semu kemerahan.
"Mencariku? Sampai ke Yunani?" Dasha bertanya sekali lagi untuk meyakinkan.
"Iya, memangnya kenapa?" jawab Bizar masih dengan kepolosannya.
"Aku tersanjung, kamu melakukan itu hanya demi aku," ujar Dasha memelankan suaranya.
"Hah?" Bizar tak mendengar suara Dasha yang sayup-sayup.
"Ehh tidak ... Tidak," Dasha tersipu malu.
Hening kemudian melanda mereka. Hingga pelayan menyajikan makanan pun mereka masih belum saling melempar kata. Mata Bizar menjelajah sekeliling, restoran ini sangat nyaman. "Kayaknya resto ini enak banget, apa aku coba melamar kerja disini?" gumam Bizar.
"Zar?" Dasha membuyarkan lamunannya.
"Iya?" Bizar mengerjap.
"Apa aku boleh bicara?" tanya Dasha sungkan.
"Tentu saja boleh," jawab Bizar.
"Aku ingin mengenal islam lebih dalam lagi, aku rasa telah menemukan tujuan hidupku dalam agama itu, apa kamu mau membantuku?" ujar Dasha jujur.
"Tentu saja aku kesini untuk itu Dasha, untuk mengajarkanmu tentang islam dan mengajarkanmu berjuang mempertahankan imanmu," jelas Bizar. Dasha tersenyum mendengar perkataan Bizar.
"Apa kamu menghabiskan seluruh tabunganmu untuk ini?" tanya Dasha penasaran.
"Tentu, aku akan menjemputmu pulang ke Indonesia. Bagaimana pun caranya," ucap Bizar tegas.
^^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Dari Tuhan (TAMAT)
Roman d'amour[TAMAT] "Sungguh beruntung sekali aku, Tuhan telah mengirimkannya untukku, dulu aku dipertemukan saat adzan berkumandang, kemudian kami berpisah hingga 3 tahun lamanya, dan Tuhan mempertemukan kami kembali dalam naungan kumandang adzan juga," - Dash...