"Bolehkah aku masuk? Aku takut ibumu cemas dan mengira kita bertengkar" Kata Jeon lagi.
"Boleh, tapi biarkan pintunya tetap terbuka" kataku.
Aku tidak mau terjadi hal-hal diluar kendaliku.
"Baiklah" Jeon duduk di sofa pink di depan kamarku.
Kamarku memang cukup besar. Ada sofa dan meja kecil, meja belajar dekat jendela, Rak buku penuh dengan novel, Vanity penuh dengan make up, Ruangan walk-in closet, tempat tidur di tempat yang agak terpisah dan kamar mandi.
Aku duduk disampingnya. Mengamati urat-urat yang ada di punggung tangannya, rambut ikal panjangnya, dan bentuk tulang rahang tegas yang menambah ketampanannya.
"Ada apa Jeon?" tanyaku.
"Harusnya aku yang bertanya, ada apa denganmu Delia?" Dia menatapku lagi. Mengamati dalam mata biruku yang memantulkan wajahnya.
"Tidak apa-apa Jeon" aku tersenyum.
"Apakah kau menghindariku?" Jeon mendekatkan wajahnya padaku memaksaku menatap mata gelapnya.
"Tidak" aku menggeleng.
"Delia, delia" Jeon menggoyangkan kepalanya
"Matamu berkaca-kaca, dan kau masih bisa-bisanya berbohong kalau kau baik - baik saja?" tanyanya. Jeon menyentuh rahangku dengan jari panjangnya.
"Apakah ini semua karena seorang lelaki?" Aku menggeleng.
Tau dari mana dia kalau ini semua ulah lelaki?. Lelaki itu adalah dirimu, Jeon.
"Kenapa kau berasumsi demikian?" aku melihatnya lagi.
"Aku kenal Keluargamu, Sepertinya kau tidak ada masalah apa-apa. Kau juga cantik, Kau memiliki segalanya Delia, Jadi mungkin tebakanku kali ini masuk akal" katanya.
Tidak Jeon. Aku tidak memiliki kekasih. Aku tidak memiliki sandaran saat aku menangis.
Aku tidak memilikimu.
"Masuk akal" Aku tersenyum mendengar penjelasan panjangnya.
"Lalu siapa lelaki brengsek yang telah membuat Delia-ku sakit hati? Siapa?" Jeon menatapku cemas.
Deliaku? Apa dia baru berkata bahwa aku adalah miliknya?
Aku tertawa kencang sekali, diikuti Jeon yang menatapku kebingungan.
"Aku serius Delia, tak ada satupun lelaki yang aku biarkan menyakitimu" Jeon menggenggam tanganku erat.
"Jeon, jangan berlebihan, aku tidak apa-apa" aku mengusap pipinya yang lembut. Dia terlihat menggemaskan saat cemas.
Lihat, Aku baru saja mengusap wajahnya, Namun perutku yang penuh dengan kupu-kupu.
"Delia, Berikan aku nomormu sekarang, Telepon aku saat kau membutuhkanku kapan saja, saat kau sakit, cemas, bingung atau lapar!" Katanya.
"Buat apa?"
"Agar aku bisa selalu ada disampingmu Delia, aku janji tidak ada sedetikpun aku lewatkan saat kau membutuhkanku" Jeon menggigit bibirnya canggung. Mungkin dia sadar hal ini tidak pantas diucapkan mengingat statusnya yang sudah terikat dengan orang lain.
"Ayolah berikan padaku" dia memohon sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
"Baiklah, berikanlah ponselmu, biar aku tulis"
Jeon memberikan ponselnya untuk kuisi dengan nomor teleponku, dan kuberikan lagi padanya.
"Thank you" Jeon meletakkan ponsel di saku celananya.
"Eomma memintamu untuk datang makan siang" katanya.
"Iya, Aku sudah bertemu dengannya pagi ini" kataku.
"Kau akan selalu jadi Mom's favorite, Delia" kata Jeon.
"Benarkah?" tanyaku.
Jeon mengangguk.
"Aku juga menyayangi ibumu, Jeon" kataku.
"Tenang saja, aku masih disini untuknya jika dia membutuhkanku, saat kau sudah pindah ke Virginia" Aku menepuk pundaknya lagi.Aku menyayanginya. Menyayangi semua yang ada padanya.
"Aku sangat bahagia jika kau mau melakukan itu, Terima kasih.." Jeon tersenyum.
Aku memperhatikan bibir merahnya, dan bagaimana bibirnya melengkung indah saat tersenyum.
Jeon beranjak dari sofa, Diambilnya buku yearbook yang ada di paling atas rak bukuku.
"Year book" katanya
Aku mengangguk.
Dia menggigit bibirnya, membuka lembar demi lembar di tangannya.
"It's you Delia" Jeon menunjuk foto di halaman tengah Yearbookku.
"Aku masih bingung kenapa kau tidak mendapatkan nominasi tercantik tahun itu" katanya."Ha ha, kau bercanda" kataku melemparkan candaan sinis sambil berjalan mendekatinya.
Dengan lembut aku memegang lengannya yang kencang dari belakang, berjinjit sambil melihat buku yang dipegangnya itu.
"Aku tidak bercanda Delia"
"Ya ya" Aku memutar mataku, berjalan kembali ke sofa, diikuti Jeon yang berdiri dibelakangku.
"Bulan depan aku harus kembali ke Virginia sesudah tahun baru" Katanya.
"Jadi kau tidak menghabiskah tahun baru dengan Hannah?" tanyaku.
"Tidak, " Jeon menggeleng.
"Aku menghabiskan tahun baru di sini" ujarnya.Hubungan yang aneh. Ini hanya perasaanku saja, atau Hannah terlihat acuh padanya?
"Baiklah kalau begitu" jawabku.
"Justin, Delia!" Mom berteriak seraya menaiki tangga.
"Oh, disini kalian ternyata, aku kira kalian sudah pergi ke rumah Mrs. Jeon" kata mom.
Kami menggelengkan kepala bersamaan. "Jangan lupa sampaikan salamku padanya ya" kata Mom.
"Dan Delia, aku sudah menaruh satu jar besar berisi cookies untuk keluarga Jeon, jangan lupa kalian bawa ya"
"Mom dan Dad akan ada urusan mendadak, dan mungkin tidak akan pulang sampai minggu depan" katanya."Kenapa mendadak sekali mom?" aku menjawab sedih.
"Sorry Sweetie, ini terkait dengan bisnis Dad di Ireland, Mom janji kita akan tetap merayakan Christmas tanpa gangguan siapapun" Mom tersenyum memberikan ciuman di atas kepalaku.
"Kalian berdua baik-baik ya, Have a good day!" Mom memberikan pelukan kecil untuknya.
"Baik, Mrs. Maverick!" Jeon menjawab dengan percaya diri.
"Zia dimana?" tanyaku.
"Zia menginap di rumah temannya Rebecca selama 10 hari, mereka akan berpergian ke Brighton menemui seorang teman" kata Mom.
"Baiklah. Mom, Dad hati-hati dijalan ya!" kataku.
"Okay Sweetie! Dad sudah menunggu di mobil. I Love You!" Mom menuruni tangga dan melambaikan tangan.
"Love you more mom! Katakan I Love you pada Dad ya!" aku membalas.
"Okay sweetie"
Aku mendengar suara pintu ditutup. Sekarang hanya ada aku dan Jeon disini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Goodbye | JJK ✔
FanfictionMungkin kita tidak ditakdirkan untuk bertemu lagi, Jeon. start: 10 maret, 2020 end: 18 September 2020 [Jungkook Fanfiction] ©2020geanatyas