24. Please Stay

155 25 32
                                    

AN;
Ini mah jadinya aku update tiap hari 😂, semoga tidak bosan ya,
Selamat malam bagi yang akan tidur setelah membaca ini, atau selamat pagi/siang bagi yang baca besok.

Kasihan Delia Jeon sudah bolak balik di rombak habis sama aku 😂😂

semoga suka ya , borahae💜

___

"Lalu kapan kau mau mulai membuat pie?" tanyanya.

Kalau wajahnya berbalik aku bisa mati.

"Uhm, aku masih lelah" Aku memejamkan mata, membiarkan otot punggungku melemah sejenak. 

Aku merasakan hangat nafasnya pada pelipisku, Tangannya membelai rambutku, aku tidak berani memuka mata, biarkan hal ini berlangsung tanpa distraksi. 

Jeon bersenandung lembut, menghela napas, dan menghirup napas kembali. Aku bisa mendengar irama jantungnya bersamaan dengan jantungku yang berdetak tak beraturan. 

Dia memasukan rambutku ke belakang telingaku. Ya Tuhan, aku bisa merasakan hangat napasnya berhembus pada kulitku.
Semakin dekat..

Semakin dekat lagi..



Rasanya tanganku ini ingin menariknya mendekat.


Dia semakin dekat,

Aku merinding, seakan dia menyusuri tiap inci kulitku dengan napasnya. Kupu-kupu mulai terbang acak di perutku, disusul kecupan lembut pada dahiku. Bibir hangat Jeon menyentuh dahiku lembut, semua seperti bergerak lambat. 

Tak kupungkiri, ini bukan sentuhan pertamaku dengan laki-laki. Aku sudah pernah merasakan sentuhan lainnya. Namun tak ada kecupan dahi lebih gila, lebih sensual dan lebih memabukkan daripada kecupan Jeon. Aku bersumpah sesaat setelahnya aku menginginkan bibirnya pada bibirku. Aku ingin menciumnya. Aku ingin merasakan bibir kenyalnya, merasakan Jeon.

Aku membuka mata. Perlahan. Aku tidak mau terhanyut lebih dalam.

Jeon menatapku lurus. Jarak wajahnya yang hanya  berjarak 20 cm membuatku mampu memahami wajahnya secara rinci. Aku tidak tahu hidungnya bisa secantik ini. Aku hanyut dalam matanya, tenggelam bersamaan dengan segala pikiranku tadi. Aku senang bisa sedekat ini.

Dia mendekatkan hidungnya pada hidungku, menyentuhkannya beberapa kali, gemas dan menggoda. Menatap mataku, dan turun melihat bibirku bergantian. Perutku bereaksi lagi.

Apakah dia juga mau menciumku?

Disandarkannya dahinya pada daguku. Nafasnya memburu, semakin tidak terkendali. Aku bisa melihat Jeon mengatur napasnya selagi memejamkan matanya perlahan. Apa dia sama tersiksanya denganku?

Apa dia berusaha menahan hasrat yang sedang meluap sekarang?

"Kenapa kau tidak menghentikanku?" dia bertanya seraya melayangkan matanya menatapku dalam.

Aku tersentak.
"Aku tidak mau" jawabku.

"Katakan apa yang kau mau" Jeon mengangkat badannya lagi, memposisikan dirinya di atasku. Menyusuri rahangku dengan jari panjangnya dan mengecup dahiku kembali. 

"Ini" jawabku.
"Aku mau ini Jeon"

"Ini apa?" Jeon bertanya. Menyiksaku lagi, karena sejujurnya pembicaraan ini membuatku terlihat bodoh di depannya dan aku sedang kehilangan kontrol atas perkataanku kali ini.  

"Yang kau lakukan tadi" jawabku.

"Yang mana?" tanyanya.

Aku hanya terdiam.

"Ini?" Jeon melakukannya kembali, menerbangkan ratusan kupu-kupu dalam perutku. Rasanya seperti kau merindukan sesuatu hal yang belum pernah kau sentuh sebelumnya, dan sekarang bibirnya pada dahiku sengaja berlama-lama hingga aku dapat membayangkan bentuk tiap milimeter permukaan bibirnya itu.

"Kau harus menghentikanku" bujuknya.

"Tidak mau" Aku menggeleng.

Jeon menjelajahi wajahku dengan bibirnya, rahang, pipi, dagu. Aku hampir gila! Kalau saja tadi aku menariknya untuk sebuah ciuman, aku tidak bisa bayangkan apa yang sudah terjadi di sini sekarang. Di sofa milik Mom.

Aku mengangkat tubuhku dari sofa. Baru sadar akan sentuhan terlarang baru kami lakukan. Aku menyesal,  meraih lehernya dan memeluknya erat. "Berhenti Jeon"

Ku tanamkan wajahku pada ceruk lehernya, merasakan dadanya naik turun, mengatur napasnya yang masih belum stabil.

"Berhenti ya" ulangku. Aku mengelus surainya lembut. Mencoba mengatur napasku yang masih tersendat juga , hingga sedikit demi sedikit kembali normal.

"Aku bisa saja hilang kendali, Delia" jawabnya. "Aku bisa saja-" Jeon menghentikan bicaranya sendiri.

Rona merah muda memenuhi pipiku.

"Maafkan aku tidak berusaha menghentikanmu" Aku merasa bersalah. Benar-benar merasa bersalah.

Jeon jmembelai rambutku perlahan. Waktu terasa berhenti. Seakan potongan puzzle telah menemukan bagiannya. Aku menemukannya bagai tempat persembunyian dari segala luka dunia. Pelukan Jeon yang sebelumnya membuat jantungku berdetak kencang, kini pelukannya lah yang menenangkanku, seperti menyerahkan semua dalam pundaknya, menyokong reruntuhan hatiku yang biasanya aku genggam sendiri.

"Sejujurnya aku berharap kau tidak menghentikanku" Jeon memelukku lebih erat lagi.

"Biarkan aku tinggal di sini semalam saja Delia" bujuknya.

"Tidak.."
"Tidak Jeon" Aku menggeleng.

"Aku mohon jangan biarkan aku pergi" dia merengut. Benar - benar mencuri hatiku habis tidak tersisa.

Tangannya merangkul pinggangku, melekatkan tubuhku dengan tubuhnya.

"Semalam saja" 

"Tidak" Aku menjawab lirih.

"Please" Jeon memohon. Benar - benar memohon seakan dia akan mati kalau dia tidak bermalam di sini.

"Jeon-" Dia melepaskan pelukanku, menutup bibirku dengan jari telunjuknya.

"Tolong jangan biarkan aku membungkammu dengan cara yang lain. Tolong biarkan aku disini" ujarnya lirih dengan suara yang lebih berat dari biasanya.

Silent Goodbye | JJK ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang