Bismillah.
"Ketika aku ingin pergi, justru Allah mengirimmu untuk menahan kepergianku."
-Humaira Aghata Asilla-
***
Jantung Aghata merasa tidak waras lagi, jika saja ada rumah sakit gila khusus jantung, sudah pasti Aghata akan membawa jantungnya ke sana akibat detakan yang tak karuan.
Haidar sedari tadi berdiri membelakanginya dengan jarak cukup jauh darinya. Meski terpisah jarak jauh, tetap saja jantung Aghata berpesta ria.
"Mas, saya permisi, Ass--"
Haidar langsung berbalik badan, "temani saya menghabiskan senja sebentar," pinta Haidar dengan nada datarnya. Aghata semakin berkecamuk, ia ingin menghindari tapi malah ditahan.
"Kamu lulusan Kairo?" Aghata mengangguk. Seketika ingatan Aghata kembali pada perkataan Aulia yang menyatakan bahwa Haidar sangat ingin kuliah di sana.
Dengan ragu, Aghata bertanya, "mas kenapa ingin sekali ke Kairo?" Haidar mengernyit mendapati pertanyaan itu, tanpa bertanya Haidar tahu pasti sang adiklah yang telah mengungkapkan perihal itu.
"Saya hanya ingin mengenal Islam jauh lebih dalam. Pengen ke Mesir sebab pengen ke tempat yang pernah nabi datangi." Aghata manggut-manggut. Ia mengulum senyum sekilas, tiba-tiba saja mulutnya melontarkan kalimat pertanyaan yang belum sempat Aghata pikir dulu.
"Kenapa juga sifat mas itu labil. Kalau di kafe murah senyum dan sopan, beda dengan di luar kafe, yang cuek, datar astagfirulah. Eh?" Aghata tersadar akan pertanyaannya tersebut. Haidar terkekeh melihat raut malu dari Aghata.
"Karna saya ingin senyum indah saya juga sifat manis saya, istri saya yang punya."
"Yasudah kalau gitu ketika di kafe sifatnya biasa aja seperti di luar!" Aghata membalas cepat tanpa berpikir. Seolah ialah yang akan memiliki senyum Haidar. Haidar kembali terkekeh, sepertinya Aghata masih belum tersadar akan ucapannya.
"Saya di kafe menghormati pelanggan, agar mereka merasa nyaman. Tapi, kalau Ibu Bosku memerintah seperti itu baiklah." Aghata langsung salah tingkah, ia baru menyadari ucapannya tadi. Sungguh malu Aghata kali ini.
Niatnya Aghata akan bertanya perihal arti nama kafe itu, tapi ia urungkan karna masih merasa malu.
"Kamu setuju bila abimu dan bundaku menikah?" Aghata menatap Haidar dalam. Ia takut bila Haidar menyetujui usulan konyok Refan dan malah menjodohkan abinya dengan Bu Sintya.
"Saya yakin kamu tidak setuju. Karna kamu setujunya kita yang menikah." Aghata terbelalak akan ucapan Haidar. Rasanya ada kupu-kupu melayang-layang di perutnya. Tak ingin Haidar melihat rona wajahnya, Aghata langsung menunduk.
"Apa kamu mencintai saya?" Aghata menajamkam telinganya. Ia tidak punya riwayat penyakit akan pendengarannya, tentu saja Aghata tak salah dengar. Bersamaan dengan Aghata yang mencerna perkataan Haidar, cowok itu menatap Aghata dengan kedua tangannya disaku celana.
Aghata harus melawan hawa nafsunya, ia tak boleh lagi tergoda dengan kata manis Haidar, ia tak boleh kalah melawan godaan setan. Cepat-cepat Aghata mengalihkan pandangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Humaira Aghata Asilla[Selesai]
Teen Fiction[Sekuel dari Jodohku ya Kamu] [SELESAI.] Gadis berparas cantik yang begitu mencintai Allah Ta'ala. Sampai karna cintanya kepada sang Rabbi, ia malas untuk memikirkan perihal jodoh. Meski pun umurnya sudah menginjak usia 22 tahun. Ia pasrahkan jodoh...