Bismillah.
•••
Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya Haidar tiba di Indonesia. Tidak langsung pulang. Tetapi, Haidar bergegas ke rumah Aghata ingin segera bertemu dengan gadis itu.
Meski lelah dan kantuk membersamainya, Haidar tetap ingin ke rumah Aghata sekarang. Setibanya di sana, ada sebuah mobil yang terparkir di halaman rumah Aghata. Mobil itu seperti tak asing bagi Haidar.
Haidar beranjak untuk mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Sekali lagi, dan terdengar sahutan dari suara yang ia rindukan.
•••
"Aku nggak terlalu suka warna yang mencolok," protes Aghata ketika Refan memilih warna dekorasi yang ia tidak suka. Refan sedikit mendengus, daritadi Aghata mengatakan tidak suka ini, tidak suka itu. Dan bahkanpun pernikahan ini memang Aghata tidak suka.
"Pakai warna putih aja, cocok kok." Aghata mengangguki pendapat Chaca, tak ada yang bisa Refan lakukan kecuali pasrah. Aghata sudah mau menikah dengannya saja ia sudah bersyukur berkali-kali lipat.
Seketika terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras, ketiga orang itu langsung menoleh: Aghata, Refan juga Chaca. Yang semulanya mereka sibuk membahas dekorasi pernikahan, sekarang fokusnya teralihkan.
Aghata beranjak untuk membuka pintu. Perlahan-lahan pintu itu terbuka, menampilkan sosok Haidar yang berdiri sedikit loyo tapi tetap menampilkan senyum lebarnya.
Tubuh Aghata langsung mematung. Pikiran Aghata mulai kacau. Mendapati sosok Haidar saat ini membuatnya membeku di tempat. Rasa bersalah mendatangi Aghata. Tak tahu bagaimana cara ia menjelaskan pada Haidar.
Melihat Haidar dengan membawa satu koper dan tas ransel, membuat Aghata tahu jika Haidar tadi belum pulang, sebegitunya kah ia? Lalu bagaimana ketika Haidar tahu tentang fakta pahit ini.
"Assalamualaikum?" Suara lembut Haidar menyadarkan Aghata dari lamunannya, suara yang Aghata rindukan. Suara yang ingin Aghata dengar untuk mengucapkan ijab qabul. Tapi nyatanya bukan suara itu nantinya yang akan mengucapkan ijab qabul di pernikahannya.
"Assalamualaikum?" ulang Haidar karna tak mendapati respon dari Aghata. Tak lama Aghata menjawab salam itu dengan lirih. Haidar tersenyum manis, senyum itu terasa pahit bagi Aghata, segeralah Aghata memalingkan wajahnya agar tidak terlalu sakit melihat senyum itu.
"Kamu sudah sembuh? Kata Bunda kamu keluar dari butik, kenapa?" Aghata seketika gagap bicara, atau bahkan ia tak bisa bicara saat ini. Sekuat tenaga ia menahan air matanya, dadanya sesak, matanya memerah.
"Ng-nggak." Haidar mengernyit heran dengan jawaban Aghata yang singkat dan terdengar gugup. Haidar merasakan ada sesuatu yang Aghata sembunyikan.
"Aghata, saya sudah berada di Indonesia sekarang, sebelum saya kembali ke Kairo, kapan acaran yang kemarin tertunda akan terlaksa ..."
"Tidak." Aghata langsung memotong ucapan Haidar dengan tegas. Sorot kebingungan terpancar dari raut Haidar. Sekaranglah saatnya Aghata memberi tahu tentang ini semua, dengan tetap merahasiakan tentang kejadian ia dan Refan. Tentu akan ada kebohongan.
"Mak-maksud kamu?" Aghata menarik napas dalam-dalam, perlahan ia hembuskan, ia harus kuat untuk mengatakan ini. Toh, cepat atau lambat Haidar akan tahu.
"Karna aku tidak mencintaimu." Pahit. Tentu itu pahit, bukan hanya untuk Haidar, Aghata pun merasakan hal yang sama. Rasanya ia ingin menghilangkan kata 'tidak' itu.
Haidar masih tidak percaya dengan ucapan Aghata. Tidak semudah itu untuk mencintai dan melupakan. Ada sebuah kebohongan yang tersirat dari mata Aghata yang gadis itu coba tutupi.
"Omong kosong. Katakan sejujurnya!" Haidar mencoba memelankan suaranya. Aghata masih diam. Dian berusaha menahan tangisnya. Aghata memejamkan matanya sejenak, ia menghela napas. Meyakinkan Haidar terasa sulit.
"Sungguh, mas, aku sudah tidak mencintaimu lagi. Bahkan tak pernah!" Aghata menaikkan suaranya. Sekeras mungkin ia harus bisa meyakinkan Haidar. Haidar menggeleng lemah, Aghata sendiri yang waktu itu memintanya segera mengkhitbahnya, lalu apa ini?
"Katakan sejujurnya, Aghata." Haidar tidak langsung percaya dengan omong kosong Aghata itu. Aghata sekarang yang bingung bagaimana meyakinkan Haidar.
"Oke, aku hanya menjadikanmu pelampiasan saja." Haidar tertawa garing, rasanya tidak mungkin jika selama ini dirinya hanya pelampiasan Aghata.
"Baik. Kalau begitu kita tetap akan menikah dan saya akan membuatmu benar-benar mencintai saya." Kalimat itu terasa sakit bagi Aghata. Sebesar apakah cintanya Haidar untuknya? Sampai-sampai sudah dibilangi jika Haidar hanya pelampiasan saja tetap kekeuh untuk menikahi Aghata.
"Jangan mencintaiku melebihi Allah," nasehat Aghata. Haidar tersenyum tipis, sebelum Haidar berkata lagi, Aghata berucap duluan.
"Aku hanya menjadikanmu pelampiasan. Ketika aku mencintai orang lain dan orang itu tidak membalas cintaku, maka aku pikir kamu bisa membuatku lupa akan orang itu, tap ..."
"Kalau begitu ayo menikah maka akan ku buat kamu melupakan lelaki itu." Aghata menggeleng lemah, ingin rasanya Aghata menjerit dan terisak.
"Tidak perlu. Karna orang itu telah mencintaiku dan akan menikahiku." Sangat sakit. Fakta itu menyakitkan sekali tentunya bagi Haidar. Fakta yang sebenarnya omong kosong Aghata saja.
"Menikah denganku maka akan aku buat kamu lupa dengan lelaki itu." Haidar sulit untuk melepaskan Aghata. Menikah dengan orang yang tidak mencintai kita itu sama saja bunuh diri. Akan sakit hati setiap harinya.
"Tidak perlu, mas. Ak ..."
"Saya tahu kamu berbohong." Aghata langsung masuk untuk mengambil undangan pernikahannya dengan Refan. Haidar cukup terkejut melihat sepasang nama yang tercantum di sana.
"Kurang?" sinis Aghata. Haidar merebut undangan itu dan menyobek-nyobeknya. Air mata Haidar menetes satu, tapi segera Haidar hapus.
"Saya tidak percaya. Saya tahu kamu bohong, saya tahu kamu mencintai Saya. Katakan yang sejujurnya!" Sulit untuk membohongi Haidar. Haidar terlalu percaya dengan cinta Aghata.
"Kasih alasan yang kuat kenapa bisa ada undangan ini!"
"Tentu bisa, mas."
"Kenapa? Hah!?"
"Karna dia hamil anak gue."
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Humaira Aghata Asilla[Selesai]
Ficção Adolescente[Sekuel dari Jodohku ya Kamu] [SELESAI.] Gadis berparas cantik yang begitu mencintai Allah Ta'ala. Sampai karna cintanya kepada sang Rabbi, ia malas untuk memikirkan perihal jodoh. Meski pun umurnya sudah menginjak usia 22 tahun. Ia pasrahkan jodoh...