Part 1
Permintaan Umma"Umma gak mau tau, kamu harus nikah sama calon pilihan Umma! Umma sudah tua! Umma pengen nimang cucu dari kamu."
"Tapi, Ummaaa. Ilyas sudah punya calon sendiri. Ilyas bakalan nikah sama dia. Umma, please ... aku punya pilihan sendiri."
Wanita berumur 50-an Tahun itu menoleh pada anak semata wayangnya. Matanya melotot tajam menatap Ilyas yang memasang tampang memelas.
"Kamu mau nikah sama gadis yang ngatain Umma nenek lampir itu.? Masya Allah, Ilyas ... Umma gak setuju. Kamu tinggal pilih, mau jadi anak durhaka atau nurut sama orang tua dan masuk syurga. Pilih, Nak!"
Ilyas mengusap wajahnya dengan gusar. Pilihan yang diajukan Ummanya sungguh menjadi dilema untuknya. Di sisi lain ia sayang dengan wanita yang bertaruh nyawa untuk melahirkannya. Di sisi lain ia mencintai wanita yang baru genap setahun menjalin kasih dengannya.
Tanpa menjawab apa pun, Ilyas melangkah pergi meninggalkan Ummanya yang sedang panas-panasnya terbakar api emosi. Dengan kecepatan penuh pria berumur awal 29 Tahun itu mengendarai mobilnya meninggalkan rumah.Ilyas mengusap wajahnya mengingat kembali perkataan Ummanya pagi tadi. Ia tidak habis pikir tentang permintaan dadakan sang ibu. Jarang sekali wanita itu memintanya sesuatu apalagi untuk cepat menikah. Biasanya wanita itu akan selalu berucap lembut padanya namun berbeda dengan pagi tadi. Dibentak tidak seperti sosok Umma yang menjadi panutannya setelah sang Abi meninggal karena kecelakaan kerja di lapangan.
Rinai hujan mulai turun ke bumi. Jalanan mulai licin dengan air yang menggenang di mana-mana. Alunan azan terdengar membuat lamunannya buyar seketika. Ia menoleh ke arah masjid besar di samping jalan.
Ia teringat waktu dirinya masih kecil. Abi sering sekali mengajaknya pergi ke tempat ibadah untuk melaksanakan salat berjamaah namun itu hanya dulu. Bukan sekarang.Semenjak Abi meninggal, hidupnya runtuh. Dia menjerit pada Tuhan meminta keadilan yang terbiasa Abinya katakan padanya semasa itu. Tetapi Tuhan hanya bergeming tanpa menjawab jeritan hatinya itu. Salat hingga puasa, Ilyas tidak lagi kerjakan. Hingga wanita yang melahirkannya murka.
Beberapa kali ia dipuluk oleh Ummanya dengan alsan salat. Namun hatinya sudah membatu. Nasehat islami yang disampaikan Ummanya tidak lagi didengar olehnya.
Dia hanya memikirkan tentang dunia dan Tuhannya yang kejam padanya. Mengambil orang yang paling dia sayangi dan tidak mengembalikannya lagi. Membuatnya menangis, kecewa pada Sang Pencipta. Penentu semua takdir manusia.
Mobilnya tiba-tiba saja berhenti membuat pria itu kelimpungan. Dengan terpaksa ia turun dari dalam mobil mengecek mesin mobil. Hujan semakin deras membuat tubuhnya basah kuyup.
"Tidak ada yang rusak. Lalu mengapa tiba-tiba mogok?"
Ilyas menggaruk kepalanya melihat sekitar dengan gusar. Suasana sangat sepi. Tidak ada satu pun orang yang lewat. Hanya satu. Tukang sate dengan gerobaknya.Matanya terus tertuju pada penjual makanan itu. Senyum mengembang di bibirnya. "Mobilnya kenapa, Mas? Mogok, ya?"
"Iya, Pak. Padahal gak ada yang rusak."
Bapak itu tersenyum. "Palingan minta situnya salat dulu kali, Mas. Makanya mobilnya mogok. Ayo, salat dulu. Nanti mobilnya bener lagi. Biasanya pas waktu azan berkumandang emang gitu, Mas. Mobil banyak yang mogok tanpa kesalahan mesin apa pun. Sok atu, kita salat."
"Emang gitu, Pak?"
Bapak penjual sate itu mengangguk lalu membelokkan gerobaknya masuk ke pelataran masjid. Lalu meletakan topi jualannya dan menggantinya dengan kopiah.Dengan terpaksa ia mengambil baju ganti dan berlari ke pelataran masjid. Ia mengikuti tukang sate itu pergi ke tempat wudhu. Tidak ada bedanya dengan tempat wudhu lainnya. Hanya saja semuanya telah berbeda.
Ilyas melupakan semuanya begitu saja dan lebih memilih mengejar dunia yang akan sirna kala kiamat datang. Ia menoleh mengajari bagaimana cara berwudhu pria di sampingnya. Mula-mula dia kesulitan.
Kadang, membasuh wajah baru berkumur. Tukang sate yang melihat caranya tersenyum. Bahkan dengan tanpa sungkan mengajarkan anak muda di depannya caranya berwudhu yang baik dan benar bagaimana.
"Masnya gak pernah salat, ya?" tanya si tulang sate yang bernama Effendi.
Ilyas terdiam dan memilih bungkam dari pada menjawab pertanyaan Pak Effendi."Gak papa kalau masnya gak bisa jawab. Saya mengerti. Tapi saya sarankan untuk mas menjalankan ibadah itu lagi."
Pak Effendi memandang sejurus. Kedua matanya berkaca-kaca seakan ada sebuah beban yang tengah beliau pendam namun tidak pernah dia ungkapkan.
"Hidup manusia tidak ada yang tau." Pak Effendi menoleh menatap Ilyas. "Saya bisa melihat kalau masnya kecewa. Tapi jangan berkepanjangan. Itu tidak baik." Pak Effendi melangkah duluan meninggalkan Ilyas yang tengah merenungi tentang kehidupannya waktu itu.
Ikomah terdengar membuatnya beranjak menuju ke dalam masjid. Matanya tak sengaja menangkap bayangan Abinya yang tersenyum sembari mengulurkan tangan padanya. Pakaiannya serba putih. Wajahnya bercahaya.
"Kembalikah, Nak. Abi menunggumu di syurga."
Bayangan itu menghilang dalam sekejab. Air matanya memanas. Apa ini teguran darimu ya, Allah? Apa aku harus kembali lagi seperti dulu? Menjadi Ilyas yang berbakti pada-Mu?***
"Coba di-starter lagi, Mas. Baca bismillah," kata Pak Effendi.
Ilyas mengangguk kemudian mulai ngucap basmallah lalu men-starter mobilnya. Dan benar saja. Mobilnya kembali seperti semula.
Ilyas tersenyum bahagia. "Wih, bener, Pak. Nyala.""Bener,'kan kata saya. Sopirnya disuruh salat dulu. Masnya aja ngeyel dari tadi. Teguran itu, Mas."
Ilyas menggaruk kepalanya sembari tersenyum kecil. Malu karena ketahuan belum menjalankan salat.
Setelah berpamit, Ilyas memacu kendaraanya menuju salat satu cafe. Pikirannya terus melayang tentang permintaan sang Umma.Mobil mulai memasuki pelataran kafe. Dengan langkah gontai, Ilyas melangkah masuk ke dalam kafe. Pandangannya mencari di mana kekasihnya duduk. Matanya menyipit kala tak sengaja melihat seorang wanita amat cantik duduk di bangku dengan nomor meja 09. Wanita itu sedari tadi melirik ke arah jam tangannya lalu mengedarkan pandangannya.
"Maaf, lama."
Wanita itu mendongak menatap sumbar suara. Seketika senyum mengembang di bibir berpoles lipstick merah muda itu. Wanita itu bangkit lalu memeluk Ilyas dengan gembira lalu melepaskannya.
"Aku sudah menunggu kamu sejak lima belas menit yang lalu. Mengapa baru datang? Apa Ummamu melarangmu bertemu denganku lagi? Huh, menyebalkan. Kalau kita nikah nanti aku gak mau ngurus dia," katanya dengan wajah kesal.
Ilyas menatap sang kekasih dengan pandangan tak percaya. Wanita yang terbiasa berbicara lembut padanya kini telah berubah. Terlihat wanita yang bernama Selena itu sangat membenci Ummanya. Ketara sekali dari mimik wajah juga ekspresinya.
"Lena, aku minta kita putus."
Selena yang sedari tadi berbicara panjang lebar terdiam. Matanya tak sekali pun berhenti menatap hezel milik Ilyas. Wajahnya mendadak memerah dengan mata saling berkaca-kaca.
"P--putus? Apa salahku, Sayang?" tanyanya dengan nada dibuat dramatis.
"Umma sudah menjodohkan aku dengan wanita lain.""Dan kamu gak bisa nolak, gitu?"
Ilyas mengangguk. "Sebenarnya aku mau nikahin kamu tapi Umma memberi aku dua pilihan berat antara aku harus berbakti pada Umma atau milih kamu."
Air mata lolos dari kejora milik wanita bermata sipit itu. Ia menangis tersedu-sedu membuat pengunjung kafe menoleh padanya.
"J--jadi ... kamu lebih memilih berbakti pada Ummamu? Kau gila, Ily." Selena mengusap wajahnya dengan kasar. "Mana janji yang dulu kau ucapkan, Ily. Aku sudah susah payah menolak perjodohan dengan Bram tapi apa?"
Selena meraih tasnya mengeluarkan beberapa lembar pecahan seratus ribuan kemudian meraih gelas berisi jus stroberi dan menyiramkannya di wajah Ilyas.
"Oke, kita putus." Selena meletakan gelas itu lalu melenggang pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri untuk Anakku (Marry an Angel of Heaven)
RomanceMenikah bukan hanya soal cinta. Tapi menikah menyatukan dua sisi manusia yang berbeda. "Menurutmu apa itu cinta, Mas?" tanya Hafizah sembari memandang langit-langit kamar mereka. "Cinta menurutku sebuah rasa yang dimiliki seorang manusia pada umum...