(Bismillah)
Senin pagi yang cerah Ilyas tengah sarapan bersama dengan Hafizah. Di depan mereka nasi goreng dengan berbagai jenis lauk pauk dan buah tersusun rapih. Tanpa kata mereka menikmati sarapan pagi. Beberapa kali Ilyas mencuri pandangan mengamati istrinya yang lahap memakan nasi goreng dengan telur mata sapi tanpa sendok maupun garpu.
Tersurat rasa jijik namun pikirannya menghilang setelah mengingat kebersamaannya bersama almarhum Abinya. Ia sering melihat Abi makan tanpa menggunakan sendok maupun garpu dan hanya menggunakan tangan. Awalnya Ilyas sempat menegur kelakuan Abinya namun dibantah oleh Umma. Beliau berkata jika Abi tengah mengikuti sunnah Rasul.
"Jadi kalau Rasulullah makan enggak pakai sendok, ya, Umma?" tanyanya ingin tahu.
Umma mengusap kepala putranya sembari memberikan kecupan singkat di keningnya. Senyumnya mengembang diikuti enggukkan kecil. "Iya, Rasulullah makan menggunakan tangan."
"Memangnya, pada zaman Rasulullah enggak ada sendok atau garpu gitu, Umma?"
Umma tertawa kecil lalu mencubit ringan pipi Ilyas. "Ada, anak Umma sayang. Cuma jika makan menggunakan tangan lebih nikmat dan banyak manfaatnya untuk kesehatan."
"Kalau begitu mulai sekarang Ilyas makannya pakai tangan, deh. Ilyas enggak mau kalah sama Abi."
Di sela-sela makan Abi melirik putra kecilnya dengan bahagia. Setidaknya mengajarkan kebaikan sewaktu kecil akan berpengaruh di kemudian hari.
"Mas Ilyas kenapa liatin aku kayak gitu? Awas naksir, loh. Aku enggak tanggung jawab," godanya.
Ilyas yang sadar langsung menyambar gelas di depannya, meneguknya sekaligus hingga tandas tak tersisa.
"Kalau minum itu ada temponya, Mas. Kalau minumnya kayak merek Mas Ilyas enggak baik buat kesehatan. Adapnya begini, pegang gelasnya, baca bismillah supaya berkah, baru minumnya perlahan. Setiap tegukkan baca bismillah dan diakhiri kata alhamdulilah, gitu."
Ilyas mengangguk patuh. Lebih baik diam ketimbang harus diceramahi oleh Hafizah. Entah beberapa kali ia salah tingkat jika harus berhadapan langsung dengan wanita yang berstatus sebagai istrinya itu. Setiap kali ia melakukan sesuatu setiap kali pula Hafizah mengomentarinya. Entah itu perbuatan baik maupun buruk.
Bangkit lalu berucap, "Aku berangkat."
"Baiklah, aku antar sampai depan."
Hafizah mengikuti Ilyas sampai beranda. Disodorkan tas kerja dan jas milik Ilyas padanya. Ilyas menerimanya dengan rasa sungkan. Setiap paginya Umma selalu melalukan hal itu juga namun kini bukan wanita yang melahirkannya melainkan istrinya, wanita pilihan Ummanya untuk dijadikan seorang istri. Sosok wanita tanpa sekalipun melepas senyuman untuknya. Hanya untuknya seorang.
Wanita yang menjadi teman hidup sekaligus teman tidur di kala malam. Menjadi penghangat di ranjang ketika hujan datang. Tempat mencurahkan isi hati jika beban di dadanya tak sanggup untuk ditopang lagi. Menjadi istri sekaligus penuntunnya ke surga nanti. Namun lagi-lagi rasa itu hanyalah angan semata.
Ilyas tidak sebegitu dekat dengan Hafizah sampai-sampai melakukan hal tersebut. Untuk bercerita sangat jarang. Lebih tepatnya ia sering menjadi pendengar untuk segala masalah duniawiyah maupun akhirat oleh istrinya. Sindiran-sindiran halus kerap kali Ilyas dapatkan jika tidak memaksakan salat maupun tidur selepas subuh maupun magrib.
Hafizah mengulurkan tangannya membuat Ilyas tidak mengerti. Dirogohnya saku celana kemudian mengeluarkan dompet. Ia memberikan sejumlah uang tunai pada Hafizah.
"Mas ...."
Ilyas menaikan alisnya. "Apa lagi? Kurang?"
Hafizah menggeleng, meraih tangan Ilyas kemudian memberi kecupan singkat di punggung tangan. Ilyas tertegun dengan apa yang baru saja dilakukan wanita di depannya itu. Selena bahkan tidak pernah melakukan hal itu dan dia dengan seenaknya mengecup punggung tangannya. "Aku hanya ingin mencium tanganmu sebelum kau berangkat kerja, bukan meminta uang."
Hafizah menyodorkan uang itu kembali namun ditolak. "Kenapa? Bahan makan masih banyak. Uang listrik, air dan keamanan sudah di bayar. Aku tidak membutuhkannya."
"Simpan saja untuk kebutuhanmu. Kau bisa membeli baju, tas, ataupun kerundung. Terserah padamu."
"Tapi aku benar-benar tidak membutuhkannya, Mas. Lagi pula jika aku membelanjakan uang untuk keperluan tidak penting itu sama halnya membuang-buang uang. Aku takut hisabnya di akhirat besar, Mas."
"Kau ingin menjadi istri shalihih atau tidak? Gunakan saja! Ini perintah! Niatkan untuk menyenangkanku. Lagi pula aku bosan melihatmu dengan sarung dan baju itu terus."
Hafizah menunduk tidak ingin mendengar Ilyas marah padanya lagi. Baginya kemarahan Ilyas neraka baginya. "Ma-af, Mas. Aku sudah membuatmu marah. Aku janji akan membeli kebutuhanku nanti," katanya tetap dengan wajah menunduk.
"Aku tidak marah padamu, Fizah. Hanya kesal saja setiap hari melihatmu dalam pakaian seperti itu. Cobalah kamu merias diri agar orang melihatmu cantik, itu saja. Jangan ngelombrot seperti ini terus. Suami mana di dunia yang tidak malas melihat istrinya setiap pulang dari kantor memakai daster pasti sarung."
"Baik, Mas. Tapi aku akan merias diriku hanya di depanmu saja. Hanya di depanmu. Jika kau memaksaku untuk merias diri hanya karena pandangan orang lain melihatku risih dengan pakaianku, maaf. Aku tidak bisa. Aku takut aku kena azab dari Allah. Aku tidak bisa," ucapnya dengan meneteskan air mata.
Ilyas sedikit bergetar dengan pernyataan menakjubkan keluar dari bibir Hafizah. Meski terkesan hampir tidak terdengar namun mampu mendobrak jiwanya yang kelam. Ia sadar diri berbicara dengan siapa. Seorang Hafidz Quran dengan pemahaman agama luas. Tidak seperti dirinya entah masih mengingat alif ba tha atau tidak.
Ilyas melangkah mendekat. Dengan memantapkan hati ia memeluk bidadari surganya yang terisak. Isakanya membuat hatinya merasa sakit. Berbeda dengan Hafizah yang kaget akan pelukan pertama yang diberikan Ilyas padanya. Dengan perasaan takut ia membalas pelukan itu. Nyaman, hanya kalimat itulah yang terucap dalam hatinya. Dia tidak pernah sekalipun berpelukan dengan seorang pria.
Hafizah bisa merasakan detak jantung Ilyas berdetak berirama seirama dengan detak jantungnya. "Maaf, aku sudah membuatmu menangis." Pelukannya semakin erat pada wanitanya. Ia merasakan hal aneh ketika memeluk Hafizah. Perasan yang sama ketika bersama dengan Selena. Apakah ia mulai jatuh cinta pada Hafizah? Atau hanya perasaannya saja?
Ilyas melepaskan pelukannya. Tangannya terulur menghapus kristal bening yang menetes dari kejora milik Hafizah membuat wanita di depannya memejamkan mata. "Jangan menangis, aku tidak akan konsen bekerja jika harus melihatmu menangis seperti ini."
Kedua mata Hafizah terbuka. Tawa lirih terdengar indah di indra pendengaran Ilyas. Senyumnya mengembang mendengar kalimat itu meluncur dari bibir pria tampan bak dewa Zeus di depannya. Ilyas hanya bisa mengagumi dalam diam senyuman istrinya yang terkesan manis.
"Bagaimana bisa? Aku tidak menangis. Aku hanya kelilipan."
"Kelilipan? Alasan receh!"
"Sana, berangkat."
"Kamu mengusirku?"
"Iya, sana berangkat. Nanti atasanmu marah. Dan aku tidak ingin suamiku dimarahi. Sana, berangkat."
Hafizah mendorong lengan Ilyas hingga masuk ke dalam mobil. "Ingat, beli sesuatu dengan uang itu. Aku tunggu SMS darimu nanti."
Hafizah mengangguk. "Mas ...."
Ilyas menoleh menatap istrinya. "Ada apa lagi?"
"Kau tidak ingin mendapat pahala?" tanyanya dengan malu-malu.
"Pahala apa?"
"Rasulullah biasanya mengecup kening istrinya ketika akan meninggalkan rumah. Apa kau ...."
"Mendekatlah."
Dengan perasaan malu Hafizah melangkah mendekat dan berhenti di depan kaca mobil Ilyas yang terbuka. Sebuah benda kenyal menempel di kening membuat jantungnya serasa akan meledak. Ilyas menjauhkan tubuhnya kemudian tersenyum kecil. Cukup membuat seorang Hafizah menahan napas.
"Aku berangkat, assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Hafizah berlari menuju gerbang, membukanya membiarkan mobil sang suami melintas keluar. Setalah merasa aman tubuhnya bersandar di dinding dengan tangan memegangi dada.
"Ada apa denganku, Ya Allah? Mengapa jantungku berdetak cepat setiap kali bersama dengannya? Apa aku mulai mengaguminya?"
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri untuk Anakku (Marry an Angel of Heaven)
RomansaMenikah bukan hanya soal cinta. Tapi menikah menyatukan dua sisi manusia yang berbeda. "Menurutmu apa itu cinta, Mas?" tanya Hafizah sembari memandang langit-langit kamar mereka. "Cinta menurutku sebuah rasa yang dimiliki seorang manusia pada umum...