Part 4

304 21 0
                                    

Mencoba move on

Setelah kepergian keluarga Ilyas, Umi Fatima tampak resah dengan hatinya. Dengan sikap dan tindak-tanduk calon menantunya membuatnya sedikit gelisah. Apakah dia pantas untuk putrinya?

"Apa Abi yakin dengan keputusan menjodohkan Hafizah dengan putra Umma Sofia, Ilyas?"

Aba Husain yang tengah membaca kitab di tangannya menoleh pada sang istri. Dilekatannya kitab tersebut di antara jajaran kitab lainnya di almari. "Keputusan semuanya ada di tangan Hafizah, Mi. Kita tunggu saja jawaban dari istikharahnya itu. Jika dia memang berjodoh dengan Ilyas, mau bagaimana lagi."

Abah melangkah lalu menjatuhkan bobotnya di samping samping sang istri yang tengah resah. "Lagi pula sebelum Abinya meninggal, kami sudah sepakat menjodohkan mereka. Umi ingat itu, bukan?"

Umi Fatimah mengangguk lalu memandang ke arah putrinya yang tengah bermain dengan kucing di dekat kolam. Hafizah tampak cantik jika tersenyum. Tawa terdengar jelas di indra pendengaran.

Entah bagaimana nasib putrinya nanti jika menikah dengan ilyas. Pria itu terlihat kurang memahami agama. Lalu, bagaimana bisa dia membimbing putrinya nanti? Bagaimana dia menjadi pemimpin keluarga? Apa dia bisa? Pikirnya.

Umi Fatimah bangkit lalu melangkah menuju dapur setengah mendengar piring pecah.

Di sisi lain Selena tengah pusing memikirkan tentang rencana yang ada di otaknya. Berbagai konsekuensi harus ia pertimbangkan. Katty yang sedari tadi diam duduk di tepi ranjang beberapa kali menghela napas melihat temannya yang sedari tadi mondar-mandir bagaikan setrikaan. Antara otak mulai gesrek atau pun kurang vitamin. Itulah yang dipikirkan Katty sekarang.

"Mau sampai kapan lo mondar-mandir kayak gitu, Sel. Gue liatin lo sampai pusing nih kepala!"

Teguran dari Katty membuyarkan pikirannya tentang Ilyas. Dengan malas ia menoleh menatap sahabatnya yang tengah memijat pelipisnya yang terasa pening. Selena menghempaskan bokongnya di samping sahabatnya dengan perasaan kesal. Kesal karena hanya mengomel tanpa memberi solusi untuk masalahnya.

Terbayang olehnya senyum pria yang menjalin kasih dengannya selama setahun lebih itu. Bayangan tentang malam putusnya mereka membuat kepalanya pening. Tentang keputusannya lebih memilih sang Umma ketimbang dirinya yang mencintainya tanpa syarat.

Selena harus menyesali keputusan Ilyas secara sepihak. Mengapa dia tidak memperjuangkan hubungannya dan lebih memilih pasrah akan takdir yang dibuat Umma?

"Bantuin gue, dong, Katt. Gue pusing, nih!"

Katty mendongak menatap ponselnya yang bergetar lalu mulai melalukan panggilan jarak jauh. Selena yang melihat sahabatnya tengah sibuk mendesah kesal. Beberapa menit kemudian Katty izin pamit karena orang tuanya baru saja pulang dari Los Angeles dan dia harus menjemputnya di bandara.

"Sorry, Beb. Gue gak bisa temenin lo." Selena mengangguk, mengantar kepergian Katty pergi dari rumahnya.

***

"Bro, lo ke mana aja beberapa hari ini? Kok kagak masuk? Selena nyariin lo, Tuh!"

Ilyas melirik rekan kerjanya lalu memfokuskan perhatiannya pada layar monitor yang menyala dengan data-data yang harus ia kerjakan untuk diserahkan kepada sang boss . Pikirannya berkecamuk tentang mantan kekasih yang ia cintai itu. Tidak mudah untuknya untuk move on dari cinta pertama. Kata orang, cinta pertama itu sangat berkesan dan sulit untuk melupakannya. Termasuk yang dialami Ilyas sekarang.

"Lo marahan ya sama Selena?" tanyanya sembari menopang bahu membayangkan kekasih sahabatnya itu.

Ia sebenarnya menaruh rasa pada Selena. Walau lebih memilih diam tanpa mengungkapnya. Dia tidak mau membuat persahabatannya rusak hanya karena seorang wanita. Persahabatan lebih utama ketimbang cinta. Pikirnya tentang definisi cinta itu sendiri.

Ilyas menghela napas lalu berkata, "Aku sudah putus sama dia, Cel."

Excel berteriak histeris mendengar fakta yang ada. Beberapa karyawan yang tengah sibuk berkutat di balik layar monitor menoleh padanya lalu memperingatikannya untuk tidak berisik. Excel menggaruk kepalanya sembari tersenyum kecil meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi.

Dalam hatinya ia bersorak kegirangan. Ada kesempatan emas untuk mendapatkan mantan temannya itu. Pikirannya melayang berbagai rencana yang akan ia susun kelak nanti.

"Kalau Selena buat gue, gimana, Yas?"

Ilyas menghentikan jemarinya yang menari indah di atas keyboard. Tatapan tajam pria berusia hampir kepala tiga itu berikan pada sahabatnya. Merasa tatapan tajam menusuk padanya, Axcel nyengir menampakkan deretan giginya putihnya yang kuinclong bagaikan model pasta gigi terkemuka.

Ilyas mendesah panjang. Jika bukan karena sang Umma memberinya pilihan, dirinya tidak mungkin memutuskan wanita yang dicintainya setengah mati itu. Ta'aruf, ia ingin sekali tertawa mengingat hal konyol seperti itu. Mengapa tidak langsung menikah saja? Mengapa harus melakukan serangkaian hal yang membuang waktu itu? Tapi itu bagus. Dia bisa lebih leluasa mengenai calon istrinya itu. Tindak-tanduknya.

"Yas, gak boleh, ya?"

Excel menundukan kepala menyadari apa yang baru saja ia katakan membuat sahabatnya tersinggung. Ia mengerti, jika Ilyas tipikal pria setia dan tidak akan bisa pindah ke lain hati. Termasuk dengan kehadiran calon istrinya itu.

"Sana, buat kamu. Aku juga sudah dijodohkan Umma dengan salah satu teman keluarga kami," katanya sembari meraih dokumen di meja kerjanya.

Excel yang mendengarnya terlonjak bahagia. "Makasih, Bro. Lo emang sahabat terbaik gue."

Ilyas menggelengkan tingkah sahabatnya yang aneh itu. Ia tau bahwa Excel juga menyukai Selena. Dan mau tidak mau dia harus menyerahkan semuanya pada takdir yang telah Tuhan gariskan padanya.

***

Bagaskara merangkak ke peraduan pertiwi menyisahkan guratan jingga di angkasa. Azan berkumandang di seantero masjid mau pun mushalla terdekat dari kediaman Umma Sofia. Beberapa kali wanita paruh baya itu melihat ke luar. Guratan kehitaman mulai terlihat menutupi guratan-guratan jingga di langit.

Gemericik air turun dari langit. Bunyi kayak bernyanyi menandakan kemakmuran yang akan dirasakan masyarakat. Namun jika itu di perkampungan. Berbeda di perkotaan. Bukan berkah melainkan bencana. Banjir bisa saja menggenangi kediaman Umma Sofia jika tanggul tidak jebol. Pernah beberapa bulan lalu ia beserta Ilyas harus mengungsi untuk menghindari banjir yang hampir menggelengkan rumahnya itu.

"Oma, kok di sini? Nunggu Om Ilyas pulang, ya?" tanya Rafa mengamati Umma Sofia yang tengah memandang luar rumah.

Wanita itu menoleh sembari tersenyum. "Iya, tumben sekali Ommu belum pulang. Biasanya sebelum magrib pasti sudah pulang. Ini belum?"

Decit mobil berhenti membuat keduanya menoleh. Umma Sofia lantas melenggang menuju pintu bersama dengan Rafa di belakangnya.

Mang Sugi berlari membawa dua buah payung dari dalam rumah menuju mobil anak majikannya itu. Sampai di sana Mang Sugi langsung membuka payung untuk pintu mobil dan membimbing Ilyas menuju beranda rumah. Kilatan guntur membuat Rafa menjerit sembari menutup kedua telinganya. Umma Sofia yang berada di sampingnya memeluk cucunya menenangkan untuk tidak takut dengan petir.

Derap langkah membuat Umma Sofia mendongak menatap anak laki-lakinya telah pulang. Wajahnya terlihat letih. Umma yang melihat wajah putranya merasa kasihan dengan pekerjaannya itu.

"Assalamualaikum, Umma." Ilyas meraih tangan sang Umma lalu mengecupnya. Umma yang melihat sedikit perubahan baik pada putranya lantas mengusap kepalanya sembari membalas salamnya.

"Om kenapa baru pulang? Oma dari tadi cemas mikirin Om mulu! Dasar gak peka!" Rafa berceloteh dengan kesalnya. Kedua tangannya bersidekap.

Ilyas bergeming lalu meraih tangan Umma menariknya meninggalkan Rafa yang kesal padanya.

"OM ILYAS, TUNGGUIN! KENAPA RAFA DITINGGALIN!" teriak bocah itu lalu berlari mengejar Ilyas dan Umma Sofia yang telah menjauh.

To be continued

Istri untuk Anakku (Marry an Angel of Heaven)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang