Menikah dan Menangis
Jalanan padat merayap membuat Ilyas berkali-kali menyumpah-separapahi lalu lintas yang tidak pernah benar. Beberapa kali ia melakukan panggilan namun orang yang berniat ia hubungi selalu saja nomornya tidak aktif.
Dengan perasaan panik ia membanting ponselnya.
"Arkkkhhh!!!"Rasa takut ia rasakan kembali. Masih tercekat jelas di otaknya bayangan akan rumah sakit. Tempat di mana Abi meninggal karena kecelakaan kerja. Dan tempat itulah yang paling ia takuti. Tempat di mana ia menganggap Tuhan tidak adil padanya. Tempat di mana Ilyas menyalahkan dokter yang dianggapnya tidak becus dalam menangani pasien.
Satu jam lamanya ia terjebak dalam kemacetan yang mengharus ia tetap bersabar namun kesabaran ada batasnya. Mengingat Ummanya ia tidak bisa bersabar lagi. Hanya rasa was-was dan takut yang ia rasakan sekarang.
Mobil mulai berhenti di parkiran rumah sakit. Ia berlari menuju meja resepsionis untuk bertanya. Setelah mendapat informasi di mana ruangan itu berada Ilyas melanjutkan berlari tanpa menganggap orang yang menatapnya dengan bertanya. Di depan ruang IGD keluarga Abah Husein beserta Rafees, Aisyah, dan Bagas menunggu di luar. Bagas nangis tersedu-sedu di dalam pelukan Rafees. Semua orang menoleh menatapku dengan tatapan sendu.
"Ilyas ...."
Pintu ruangan IGD terbuka. Seorang dokter melangkah keluar menghampiri keluarga Ilyas beserta Abi Husein.
"Dengan keluarga Ibu Sofia?"
Ilyas melangkah mendekat. "Saya, Dok. Bagaimana keadaan Umma saya? Apa beliau baik-baik saja?" tanyanya dengan rasa was-was.
Dokter menghela napasnya." Sel kanker yang Ibu Sofia derita sudah menyebar ke seluruh tubuhnya. Saya sebagai dokter tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah pada Tuhan."
Bagai godam menghantam dada. Ilyas menggeleng teratur dengan air mata yang jatuh membasahi pipi. Keluarga Abah Husein yang mendengar fakta tersebut kaget bukan main termasuk Rafees dan Istrinya, Aisyah.
"K-kanker, Dok? Tapi Umma saya tidak pernah bercerita beliau memiliki penyakit semematikan itu. Pasti dokter salah diagnosa. Ya, pasti dokter salah."
"Kami sudah mengecek semuanya dan hasilnya mengatakan demikian. Ibu Sofia juga sering berobat di rumah sakit ini beberapa minggu lalu," jelasnya.
"Boleh saya bertemu dengan Umma saya, Dok?"
Dokter berpikir sejenak lalu mengangguk. Ilyas melangkah masuk ke dalam dengan mengusap air matanya yang mengalir. Di ranjang rumah sakit, seorang wanita yang paling ia cintai terbaring lemah di sana. Wajahnya memucat. Tidak terlihat lagi cahaya yang biasa terpancar pada wajah cantik sang Umma. Bibir yang terbiasa tersenyum dan mengeluarkan nasehat untuknya terkatub rapat tanpa mau mengeluarkan sepatah-katapun.
Ilyas meraih tangan sang Umma dan mengecupnya. Isak tangisnya tidak bisa tertahankan lagi. Ia yang terbiasa menentang perintah sang Umma melaksanakan salat kini harus menyesali semuanya ketika perintah-petintah itu tidak terdengar kembali di telinganya. Ia menyesali semuanya. Menyesali karena telah membenci Allah, Tuhannya yang memberi kenikmatan berupa kasih sayang tulus dari Ummanya.
"Umma ... bangun. Buka mata Umma. Ilyas akan nuruti semua mau Umma. Ilyas akan melakukan apa pun asalkan Umma bahagia. Bila perlu, Ilyas akan menikahi wanita pilihan Umma itu sekarang. Aku akan melakukannya tapi, Umma harus bangun. Jangan tidur terus. Ilyas takut Umma ...."
Ilyas menunduk sembari terus menangis. Di luar ruang IGD Hafizah melihat pemandangan di depannya dengan hati bergetar. Ia tidak pernah sekali pun melihat seorang pria menangisi Ibunya seperti itu. Tanpa sadar ia ikut menitihkan air matanya. Ikut merasakan pilu yang telah Ilyas rasakan sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri untuk Anakku (Marry an Angel of Heaven)
RomanceMenikah bukan hanya soal cinta. Tapi menikah menyatukan dua sisi manusia yang berbeda. "Menurutmu apa itu cinta, Mas?" tanya Hafizah sembari memandang langit-langit kamar mereka. "Cinta menurutku sebuah rasa yang dimiliki seorang manusia pada umum...