Hi Author come back. Jangan lupa vote and komen. Thanks and happy reading😘
***
Istri Cerewet
Berkali-kali Hafizah memejamkan mata namun sama sekali tidak bisa. Ucapan Ilyas tadi sungguh membuat seorang Hafizah terus saja membuat debar di dadanya menggelora. Derit pintu kamar mandi terbuka menampakan sosok pria yang membuat jantungnya terus saja menggila.
Dengan santainya Ilyas melangkah melewati ranjang dengan handuk membelit bagian bawah tubuhnya tanpa mengetahui jika Hafizah sama sekali belum terlelap. Merasa haus ia menyibak selimut kemudian duduk di tepi ranjang. Jemari putihnya meraih teko kaca di atas nakas menuangkan isinya ke dalam gelas. Meminumnya dengan perlahan tanpa menyadari Ilyas menatapnya tanpa berkedip.
"Kau belum tidur?" tanyanya.
Hafizah menoleh seketika lalu menunduk. Hampir saja ia berteriak dan melepaskan gelas di genggamannya namun ia sadar diri. Mereka sudah menikah dan wajar jika melihat pemandangan yang meruntuhkan iman. "B-belum, aku belum mengantuk."
Ilyas bergeming lalu melangkah menuju kamar mandi barulah Hafizah bisa bernapas lega. Entah sejak kapan ia merasakan perasaan aneh pada suaminya itu. Ketika bersama membuat jantungnya berolah raga namun jika Ilyas pergi ke kantor, ia merasa merindukan pria itu. Cinta? Hafizah tidak mengenal kata itu. Dia hanya mengagumi tanpa tahu apa itu cinta. Yang ia tahu dari teman-temannya hanyalah cerita kepedihan tentang cinta. Bukan rasa bahagia yang pernah ia dengar.
Lima menit kemudian pintu kamar mandi terbuka kembali. Ilyas melangkah lalu duduk di samping Hafizah yang duduk melamun.
"Kau memikirkan apa?" tanyanya. Hafizah menoleh menatap Ilyas dengan prihatin. "Mau aku pijit? Sepertinya kau sangat lehit."
Ilyas menggeleng lalu tersenyum kecil. "Tidak, terima kasih. Aku baik-baik saja."
Ilyas mengulurkan tangannya membenarkan kimar Hafizah yang melenceng. "Bercerminlah sebelum memakainya. Sekarang sudah cantik. Tidurlah, ini sudah malam. Nanti kau tidak bisa salat tahajut gara-gara bangun kesiangan."
"Mau malam atau sore aku akan bangun jam 3."
"Mas sudah salat isya?" tanyanya dengan wajah penuh tanya.
Ilyas bergeming. Tidak menjawab pernyataan yang dilontarkan padanya. Salat? Kata yang tak pernah ada dalam kamus hidupnya setelah Abi meninggalkannya dan Umma. Dan sekarang wanita di depannya menanyakan hal serupa sama ketika Umma masih hidup. Setiap pulang ngantor pastilah pertanyaan tentang salat tak pernah absen Umma tanyakan padanya.
"Sudah kuduga. Apa dzuhur, ashar, magrib tadi kau tidak salat, Mas?" tanyanya dengan berhati-hati.
Ilyas bangkit lalu menatap Hafizah dengan berapi-api. "Apa masalahmu jika aku tidak salat, ha? Dosa aku yang menanggung, mengapa kau yang cerewet? Kau itu beda sama Selena. Selena enggak protes kalau aku enggak salat sedangkan kau? Kau itu bawel banget. Aku sudah sabar menghadapi sikapmu itu. Mulai malam ini kita pisah ranjang!"
Ilyas melangkah cepat menuju pintu, membukanya lalu membanting dengan keras. Hafizah yang sedari tadi diam tak kuasa lagi menahan diri untuk tidak menangis. Apa dia salah menegur suaminya untuk melakukan kebaikan? Apa dia salah melakukan hal itu? Apa Ilyas hanya memikirkan dunia tanpa mau memikirkan tentang akhirat kelak? Dan dengan teganya dia membanding-bandingkan mantan kekasihnya dengan Hafizah. Mereka jelas berbeda. Didikan dan pergaulan mereka jelas berbeda. Bagaikan langit dan bumi.
Pagi harinya Ilyas langsung berangkat ke kantor tanpa mengatakan apapun pada Hafizah. Hafizah yang mendapat perlakuan tersebut terdiam sembari menangis di meja makan. Biasanya ia akan menegur suaminya kini tidak lagi. Ia hanya sendiri ditemani kesunyian dalam dirinya. Beberapa kali Hafizah berucap istighfar namun berkali-kali pula tangisnya tak bisa dibendung.
Di tempat lain Ilyas tengah disibukan dengan berkas di mejanya yang harus segara ia selesaikan. Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Biasanya Hafizah akan mengirim SMS namun kali ini tidak. Ada secercah rindu yang tak bisa digambarkan dalam benaknya tentang istrinya yang selalu cerewet mengenai pola makanya yang tak teratur. Namun Ilyas tidak peduli lagi dengan nasehat-nasehat yang diucapkan olehnya.
"Yas, ngantin, yuk? Tinggal dulu, lah. Nanti bisa dikerjain setelah makan sama salat. Awas, yang di rumah marah kalau lo enggak makan," ajak Kevin.
Ilyas mendengus sebal dengan terpaksa menutup laptopnya kemudian melangkah keluar dari ruangannya menyusul Kevin yang duluan melangkah menuju kantin.
Suasana di kantin sangatlah ramai. Ia jarang kemari untuk makan siang. Biasanya ia akan makan siang di ruangannya itupun bekal yang dibuat khusus untuknya. Namun saat ini sudah berbeda. Ia harus merogoh saku celananya mengeluarkan rupiah demi sesuap nasi, teh hangat, dan tempe orek.
"Wes, tumben seorang Ilyas makan di kantin? Ada apa gerangan nih?" tanya dua orang pria yang baru saja duduk di depan Ilyas.
Ilyas meraih teh yang masih mengepul. Kembali ia teringat akan satu perkataan Hafizah yang membekas di pikirannya.
'Baca bismillah baru minum perlahan, biar tambah berkah.'Setidaknya memang yang dikatakan wanita itu ada benarnya. Namun gengsi terlalu tertanam kuat menjadi sebuah prinsip baginya. Ia berpikir sebagai seorang pria Ilyas harus mampu mengingatkan istrinya namun kenyataan mengatakan sebaliknya. Ia selalu diingatkan walaupun itu menyangkut hal sekecil biji sawi sekalipun. Ia merasa gengsi menerima kritik maupun saran yang dilontarkan padanya.
Dulunya ia sering memberi nasehat untuk Selena namun kenyataanya berbanding terbalik, kini dialah yang harus menerima saran itu dari Hafizah. Termasuk mengenai salat yang tak pernah ia jalankan sama sekali. Meskipun dirinya sudah menikah dengannya.
"Bismillah ...." Perlahan ia mulai menyeruput teh tersebut. Kedua pria di depannya lantas tertawa keras mengundang perhatian seisi kantin.
"Widih, Ilyas insyaf, cuy? Sejak kapan lo jadi alim kayak gini, Yas? Kayaknya kemarin-kemarin makan sama minum enggak baca doa, deh?"
"Ya iyalah Ilyas insyaf! Wong dianya nikah sama seorang hafidz Quran. Lulusan Al-Azhar lagi. Keren enggak, tuh, San, Lex?" sahut seorang wanita dengan kerudung di samping mejanya.
Sandy dan Alex menatap wanita berhijab itu dengan pandangan penuh tanya. "Beneran? Boong palingan lo, Nis?"
"Kalau aku bohong sama kalian berdua, aku traktir seisi kantin. Tapi kalau aku enggak bohong, aku mau kalian berdua yang bayar makanan sama minuman seisi kantin. Gimana?" tanyanya dengan tersenyum simpul.
"O-okey, gue setuju. Gue yakin Ilyas belum nikah," sahut Sandy dengan percaya diri.
"Yas, lo udah nikah atau belum?" tanya Alex dengan was-was.
Ilyas mendongak lalu meraih tisu mengelap mulutnya. Tangan kanannya terangkat hingga menunjukan cincin di jari manisnya. "Sudah, dan yang dikatakan Annisa benar adanya." Sandy dan Alex meneguk liurnya susah payah.
Annisa naik ke kursi lalu berteriak, "Perhatian semuanya. Inces Annisa mau kasih kabar gembira buat kalian semuanya. Hari ini teman kita Sandy dan Alex mau traktir kalian semuanya. Jadi kalian enggak usah bayar. Yang akan bayar makanan sama minuman di sini mereka berdua!" Annisa menunjuk Sandy dan Alex. "Jadi, makan sama minum sepuas kalian!"
Semua orang bersorak kegirangan menimpali teriakan Annisa yang sensasional bin cetar membahana. Beberapa kali terdengar cuitan panjang mengiringi sorakan tersebut. Semua orang berbondong-bondong menuju Ibu kantin memesan makanan.
"Mati kita, Lex," kata Sandy dengan mimik wajah menyedihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri untuk Anakku (Marry an Angel of Heaven)
RomanceMenikah bukan hanya soal cinta. Tapi menikah menyatukan dua sisi manusia yang berbeda. "Menurutmu apa itu cinta, Mas?" tanya Hafizah sembari memandang langit-langit kamar mereka. "Cinta menurutku sebuah rasa yang dimiliki seorang manusia pada umum...