part 10

300 20 0
                                    

(Frustasi)

Hafizah menoleh pada Ilyas yang sedari tadi memandangnya dengan tatapan aneh. Cantik, kata itu terdengar jelas di indra pendengaran. Tanpa sadar ia tersenyum kecil kemudian bangkit melangkah cepat membawa pecahan itu ke pembuangan terakhir. Meninggalkan Ilyas yang masih menatapnya dengan posisi masih berjongkok.

"Om, ngapain jongkok di situ?"

Ia mendongak menatap wajah keponakannya yang super menyebalkan. Bapaknya model calm down tetapi anaknya ceriwis bin tukang ngomel membuat kepalanya mendadak pusing. Entah sifat siapa yang kedua orang tuanya warisan.

Jika dari Aisyah tidak mungkin. Wanita bercadar itu pendiam dan jarang berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Biasanya wanita keturunan Saudi Arabia itu hanya menggunakan bahasa Arab jika mengobrol dengan Rafees. Suaranya yang lembut membuat Ilyas ekstra harus mendengarnya dengan jeli jika tidak ia akan merasa seperti orang gagu yang ditanya jalan.

Jika bukan dari Aisyah maka jawabanya dari Bapaknya. Ia tau Rafees juga orangnya sedikit pendiam namun bawel ketika menyangkut tentang sikapnya. Dia akan berubah menjadi Cek Gu besar seperti dalam serial kartun anak-anak Upin-Ipin.

Lebih galak namun tidak memegang golok jika memberinya nasihat. Berbeda dengan Ummanya yang setiap kali menasehati Ilyas ketika sedang memasak dan pastinya memegang pisau daging waktu itu. Bisa dibayangkan mental pria itu saat melihat bagaimana Ummanya memotong bahkan mencincang daging itu hingga berakhir di penggorengan.

"Nyari sinyal kagak nemu-nemu. Kenapa?" tanyanya mulai merasakan gejolak emosi dalam dadanya.

Entah mengapa, setiap kali melihat keponakannya Ilyas selalu meradang. Pikiran indahnya tentang wajah Hafizah ambyarlah sudah bagaikan kapal yang baru saja karam dihembas ombak lautan.

Rafa mengerutkan keningnya. "Lah, di sini, 'kan ada wifi, Om. Ngapain kayak maling ketahuan nyolong gitu?"

Ilyas mendengus kemudian bangkit. Tatapan tajam ia berikan pada bocah bersurai kecoklatan itu. Matanya menyipit ketika melihat koper di tangan kanannya.

"Entu koper buat apa? Mau minggat, ya?"

"Iya, Om. Abi sama Umi ngajak aku buat pulang. Katanya Abi di calling sana boss-nya. Padahal aku pengennya tetap tinggal di sini sama Om sama Tante Hafizah," jelasnya panjang melebihi rumus pythagoras. Mimik wajahnya terlihat sedih walau terlihat seolah dibuat-buat.

Dari lorong, Rafees dan Aisyah melangkah dengan koper di tangan mendekat pada Ilyas. Kedua netra mereka itu memandang ke arah pria di depan putra mereka.

"Kalian mengapa tidak mengatakan padaku kalau mau pergi?"

Rafees tertawa kecil sembari menepuk bahu sepupunya itu. "Mendadak, Yas. Tadi pagi buta aku di telfon sama atasanku di kantor. Katanya ada sedikit kendala. Makanya aku harus ke sana sekarang. Juga, kami gak mau ganggu pengantin baru."

***

Taksi melenggang meninggalkan pekarangan rumah Ilyas. Hening. Hanya terdengar gemericik air mengalir dari kran yang sengaja di buka. Hafizah beberapa kali menghela napasnya menetralisir kegugupan. Pasalnya hanya ada dirinya dan Ilyas saja. Pembantu? Hanya datang seminggu tiga kali untuk membersihkan rumah.

Hanya tukang kebun saja di sini. Biasanya setiap pagi Umma akan menyapu teras depan rumah dan akan memamerkan senyumnya ketika Ilyas berangkat bekerja. Namun saat ini berbeda. Ada Mang Umar yang siap sedia membereskan sampah maupun dedaunan yang berserakan di halaman rumahnya.

Dering panggilan mengalihkan pikirannya. Hafizah yang tengah berdiri di sampingnya memilih masuk ketimbang harus ikut campur urusan suaminya. Ia berpikir pasti telepon itu dari kantor namun seketika langkahnya terhenti kala mendengar nama 'Selena' terucap dari bibir suaminya. Ia berbalik, menatap punggung kokoh suaminya.

Istri untuk Anakku (Marry an Angel of Heaven)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang