Part 9
Desir Aneh
"Mas, bangun. Sudah subuh." Hafizah terus saja menepuk-nepuk wajah Ilyas yang tengah terlelap. Jam baru saja menunjukkan pukul 04:30 pagi namun wanita itu justru membangunkan prianya di jam paling malas seorang Ilyas bangun.
Ilyas menggeliat malas lalu menarik selimutnya sembari meracau tidak jelas. Hafizah mendesah panjang, kembali berusaha membangunkan pria itu dengan berbagai cara.
'Jika kamu ingin membangunkan suamimu kelak, gunakan cara yang lembut.'
Hafizah mendesah panjang, mulai kembali membangunkan Ilyas. Lagi-lagi pria itu merengek layaknya anak kecil meminta untuk tidak diganggu.
"Mas Ilyas, ayo, bangun sebelum aku minta Rafa yang bangunin kamu," ancamnya.
Ilyas menggeliat malas. Kelopak matanya mulai terbuka. Ia ngedumel tentang ancaman Hafizah padanya. Selimut disingkapnya kemudian melangkah menuju kamar mandi.
Lima belas menit kemudian Ilyas keluar dengan handuk yang membelit tubuhnya. Dadanya berdebar kala Hafizah tengah duduk dengan menunduk memandang ponsel di tangannya. Ia tidak pernah bertelanjang dada di depan wanita sebelumnya apalagi di depan Hafizah.
Bodo amat! Yang penting aku sudah mandi, pikirnya. Dengan santainya pria itu melangkah melewati Hafizah yang sibuk berbalas pesan hingga tidak menyadari suaminya telah keluar dari kamar mandi. Hingga detik berikutnya ia menjerit dengan menutupi kedua matanya melihat Ilyas yang berjalan di depannya. Ilyas panik dengan cepat masuk kembali setelah mendapatkan apa yang ia cari.
Merasa tidak ada orang lagi, Hafizah membuka kedua tangannya. Kemudian mengusap dadanya yang berdebar melihat pemandangan yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Pria bertelanjang dada. Heh, rasanya menggelikan. Bayangan akan tubuh suaminya tergulir di kepalanya. Tentang perut sispek milik Ilyas dan bulir-bulir air yang menetes di rambutnya. Rasanya membuatnya gila karena mengingat semua itu.
Beberapa kali ia mengetuk-ngetuk kepalanya berharap bayangan tubuh setengah telanjang suaminya hilang dari pikirannya.
"Kenapa mengetuk-ngetuk kepalamu? Sakit kepala?" tanya Ilyas yang keheranan.
Hafizah mendongak menatap siapa yang bertanya. Sontak ia menurunkan tangannya. Wajahnya memerah dengan ingatannya tadi yang terus saja berkelebatan membuatnya sebal setengah mati.
"Bukan sakit kepala. Hanya saja ...."
"Hanya saja apa?"
Duh, mati aku. Harus jawab apa aku sekarang. Enggak mungkin aku bilang kalau ... ah, Hafizah bodoh! Mengapa kau terus saja mengingatnya! rutuknya dalam hati.
"Fizah ...."
"Ah, iya. Aku mau wudhu."
Ilyas menaikan alisnya tidak mengerti dengan gerak-gerak istrinya yang terbilang aneh.
***
Keheningan mewarnai acara sarapan pagi di kediaman Selena. Kedua orang tuanya tengah sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri termasuk Selena yang tengah memikirkan berbagai macam cara untuk mendapatkan Ilyas kembali.
Setelah kematian Ummanya Ilyas pikirnya tidak ada yang akan menghalangi mereka berdua untuk bersatu. Namun kenyataan berkata lain, justru kejutan yang ia terima. Ilyas sudah berganti status menjadi seorang suami dari wanita yang dijodohkan almarhumah Ummanya.
Marina melangkah tergopoh-gopoh menghampiri majikannya di ruang makan. Wanita itu tampak berseri. Entah ia baru saja memenangkan lotre atau undian berhadiah?
"Tuan besar, ada tamu yang mencari Anda," katanya.
Anggara menoleh, lalu bertanya, "Siapa memangnya yang bertamu pagi-pagi seperti ini?"
"Kalau enggak salah namanya ...."
"Pagi Om, Tante, Selena," sapa seorang pria dengan rambut klimis layaknya kecoa. Kemeja putih dengan dasi menggantung di lehernya. Tak lupa jas hitam menambah kesan maskulin pada pria tersebut.
Anggara tersenyum kemudian bangkit beserta istrinya Yuanita memamerkan senyumnya yang merekah indah menyambut tamu agung yang bertandang ke rumah bak istana miliknya. Sedangkan Selena menatap malas pada pemuda yang sok akrab dengan kedua orang tuanya itu.
"Mengapa tidak mengatakan kalau akan datang kemari, Erlangga? Kami terkejut."
Pria yang dipanggil Erlangga terkekeh geli lalu tanpa perintah duduk di sebelah Selena membuat mood wanita itu seketika hilang. Dengan penekanan Selena meletakan alat makannya kemudian bangkit melenggang menuju kamarnya.
"Mau ke mana, Nak?" tanya Yuanita menatap anaknya dengan keheranan.
Ia mendesah panjang lalu berbalik. Tatapan tajam ia berikan pada Erlangga yang tengah memamerkan senyum padanya. "Mandi, mau berangkat ke butik."
Selena kembali berbalik kemudian melangkah dengan penuh penekanan menuju lantai satu. Anggara mendesah kesal menatap putri semata wayangnya yang kabur meninggalkan mereka.
"Maaf, ya, Nak Erlangga. Selena enggak sopan," kata Yuanita dengan beramah-tamah.
"Iya, gak papah, Tan. El udah biasa digituin sama Selena."
***
Beberapa kali Ilyas mendesah menatap kamar Ummanya. Pikirannya berkecamuk tentang keinginan Ummanya waktu itu.
"Umma pengen kamu cepat nikah biar kamu enggak suka keluyuran tiap malam."
"Umma pengen cepet nimang cucu dari kamu."
"Umma pengennya kamu nikah sama pilihan Umma. Anak teman almarhum Abimu bukan sama gadis gak punya tata krama kayak kekasihmu itu!"
Lantas semua telah ia turuti namun takdir lebih berkuasa dari segalanya. Allah lebih sayang dengan Ummanya hingga memanggilnya sewaktu ia mewujudkan semuanya menjadi nyata.
Tanpa sadar air matanya jatuh mengingat keinginan Ummanya. Mengapa harus sekarang? Mengapa Engkau memanggil Umma setelah aku menikah dengan wanita pilihan beliau. Dan penyakit yang derita Umma, mengapa baru saat itu aku mengetahuinya? Mengapa tidak jauh-jauh hari saja? pikirnya.
Lantunan kalam ilahi terdengar. Secepat kilat Ilyas menghapus air matanya kemudian menoleh. Di ujung lorong, Hafizah terlihat tengah menyapu. Bibir ranumnya terus saja mengucap bait demi bait ayat Alquran dengan tajwid yang fasih.
Angin berhembus membuat kimar yang ia kenakan melayang di udara. Wajahnya terlihat bercahaya diterpa sinar sang bagaskara. Netranya tak hentinya menatap sang istri dengan desir aneh di dada. Seolah hatinya mengatakan, 'peluk dia, jadikan dia milikmu seutuhnya' namun lagi-lagi Ilyas harus menepis bisikan dari dalam hatinya itu. Cintanya hanya untuk Selena seorang, bukan seorang wanita sesempurna Hafizah Ar-Rasyid seorang Hafidz Quran yang diidam-idamkan Abinya.
'... bukan paras rupawan yang kuinginkan. Tapi, apakah bisa kau membimbingku manusia yang tak luput dari dosa ini menuju surga bersamamu, Mas?'
Sekali lagi Ilyas harus menyesali keputusannya itu. Menikah dengan Hafizah sangat menyulitkan. Berbagai pernyataan di benaknya mampu dengan mudah ia jawab dengan otaknya yang jenius. Beberapa kali ia merasa tidak pantas bersanding dengan wanita itu hanya karena dia seorang Hafidz Quran dan dia hanya seorang pria bodoh yang tak tahu akan agama. Sedangkan ia? Perfect wife.
Ilyas merasa ia bukan menikahi seorang wanita melainkan bidadari surga. Tutur kata dan perbuatannya membuatnya merutuki semua yang ada di kehidupannya. Ia bagaikan kertas yang sudah menghitam dan dia putih bersih masih suci. Namun noda putih bisa membuat kertas hitam sekalipun bisa putih juga dengan takaran maupun koofesien yang tepat. Seperti layaknya kertas lakmus biru bila dimasukan ke dalam larutan asam akan mengubahnya menjadikan kertas tersebut menjadi merah.
Merasa diperhatikan wanita itu menoleh ke arah Ilyas. Dengan perasaan tak menentu ia menyunggingkan senyumnya membuat dada pria di depannya sesak. Hingga tanpa sadar menyenggol guci di sampingnya hingga pecah. Niat menghindari wanita itu malah membuatnya apes. Dengan sapu di tangan, Hafizah mendekat dan memunguti pecahan guci itu. Ilyas yang sedari tadi berdiri ikut melakukannya.
"Ceroboh sekali." Wanita itu berkomentar. Ilyas menoleh menatap wajah istrinya yang ke merah-merahan. Entah karena lelah atau bias cahaya matahari yang begitu menyilaukan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri untuk Anakku (Marry an Angel of Heaven)
RomansaMenikah bukan hanya soal cinta. Tapi menikah menyatukan dua sisi manusia yang berbeda. "Menurutmu apa itu cinta, Mas?" tanya Hafizah sembari memandang langit-langit kamar mereka. "Cinta menurutku sebuah rasa yang dimiliki seorang manusia pada umum...