part 2

381 26 0
                                    

Part 2
Ta'aruf

Dengan melangkah gontai Ilyas menuju beranda rumahnya. Pintu terbuka lebar membuat keningnya berkerut. Rentetan pertanyaanku bermunculan di kepalanya itu.

Di ambang pintu matanya menyipit kala melihat Umannya tengah duduk memangku seorang pria kecil. Pipinya gempal dengan tubuh sedikit bongsor dari pada anak seusianya.

"Om Ilyas!"

Pria kecil itu bangkit lalu berlari menuju Ilyas yang berdiri mematung. Semua orang menoleh ke ambang pintu. Ilyas memeluk bocah itu dengan malas. Malas karena mengetahui jika anak sepupunya itu sangatlah jahil.

Muhammad Rafa Alfarizi namanya. Anak dari sepupu asal Cianjur. Merupakan anak pertama yang hobinya gangguin Om-nya kalau lagi kerja.

"Umma pikir kamu gak bakalan pulang, Yas. Padahal Umma sudah mempersiapkan untuk mencoret namamu dari kartu keluarga."

Ilyas menoleh menatap Ummanya dengan mata melotot. "Umma kejam banget, sih! Ilyas tadi hanya bertemu dengan Selena."

"Jadi, kau memilih Umma atau Selena kekasihmu itu?"

Ilyas menghela napas mengeluarkanya dengan sekali embusan lalu menunduk meredam rasa sakit yang ditimbulkan oleh sebuah yang bernama cinta. "Umma ...."

Segurat melengkung terbit di bibir wanita yang melahirkannya. Lantas wanita itu bangkit kemudian memeluk putra semata wayangnya dengan perasaaan syukur teramat sangat. Tangan ringkihnya mengelus kepala sang anak dengan penuh rasa bahagia.

"Terima kasih, Nak. Kau anak sholeh Umma."

Tubuh pria di dalam pelukan Umma membeku. Shaleh? Apa aku bisa menjadi apa yang Umma katakan tadi? Sedangkan aku sendiri tidak mengerti apa aku bisa menjadi pria shaleh seperti yang pernah Abi katakan dulu?

"Jadi kamu menerima perjodohan ini?" tanya Umma sembari melonggarkan pelukannya.

Sekali lagi Ilyas hanya bisa pasrah akan suratan takdir yang telah Tuhan tetapkan padanya. "Iya, aku menerimanya."

***

"Nak, apa kamu sudah siap? Kita hampir telat ini?!" Umma berteriak sembari melirik ke jarum jam yang sudah menunjukan pukul 9 pagi.

Hening

Tidak ada jawaban sama sekali. "Oma, ada apa? Kok teriak-teriak kayak di hutan?" tanya Rafa. Tangan mungilnya sibuk membenarkan letak kopiah yang ia pakai.

Umma menoleh pada cucunya itu. "Ommu itu sudah setengah jam belum turun juga dari atas. Coba kamu ke kamar Om Ilyas. Lagi apa dia?"

Rafa berdiri tegap lalu memberi hormat pada wanita itu. "Asyiaaap, Oma. Tapi ada syaratnya. Oma harus beliin Rafa mainan baru. Oke?"

Wanita itu mengangguk. Dengan langkah penuh semangat Rafa berlari menuju lantai atas. Umma yang melihat tingkah anak itu berteriak agar hati-hati.

Sesampainya di lantai atas, Rafa meraih gerendel pintu lalu mendorong masuk. Di dalam kamar tersebut tidak ada siapa pun. Rafa berteriak memanggil-manggil sang Om namun tidak ada yang menjawab teriakannya.

"Eh, bocah. Ngapain di situ?"

Teguran dari sesorang membuat anak itu berjengit kaget. Tangan mungilnya memegangi dadanya.

"Allahumma laka sumtu wabika amantu ...."

Ilyas menaikan alinya sebelah. "Belum buka, bocah oneng. Masih pagi!" cerocos Ilyas melihat tingkah anak sepupunya yang kaget melihatnya tiba-tiba datang.

"Ish, Om Ilyas Ini! Kaget gue, Om. Lu ke mana aja? Gue cariin gak ketemu?"

Ilyas ternganga mendengar ocehan bocah berumur 6 Tahun itu padanya. Sebuah jitakkan melayang di kening bocah berwajah blasteran Jawa Arab itu.

"Siapa yang ngajarin bilang lo gue sama orang tua, ha?"

"Lah, emang Om Ilyas udah tua? Nikah aja belum. Tandanya masih bocah, 'kan?"

"Bukan masalah nikah apa belum anak jin tomang! Gunakanlah bahasa sesuai umur kau itu."

Kening bocah itu mengkerut. Ditunjuknya dirinya sendiri. "Aku? Jin tomang? Lalu Om apaan? Kayu kering kerempeng gak ada dagingnya?"

Ilyas mendesah panjang lalu melangkah meninggalkan bocah yang masih saja berceloteh panjang kali lebar lapangan sepak bola. Tidak ada gunanya meladeni bocah dengan mulut kaleng rombengnya itu. Jika ditanggapi malah akan semakin menjadi. Bukan kaleng rombeng lagi, melainkan kaleng krupuk.

"Om, jawab ngapa? Dikacangin mulu aku? Om ...."

Rafa terus saja merengek namun Ilyas sama sekali tidak mengindahkan ocehan bocah itu. Dengan pijakan terakhir Ilyas melangkah duluan ke dalam mobil menghiraukan tatapan Umma beserta sepupunya itu.

"Om-mu kenapa itu?" tanya Rafees sang Ayah.

Rafa menaikan bahunya. "Tau, tuh, Bi. Om Ilyas oneng. Katanya aku anak jin tomang. Lah pas aku balas Om Ilyas kayak kayu kering kerempeng gak ada dagingnya malah diam aja!"

Rafees menggelengkan kepalanya dengan sikap Ilyas. Sama-sama bocah jika harus berurusan dengan buah hatinya.

"Bi, aku nyusul Om, ya?"

Rafees mengangguk mantap bocah dengan mata kecoklatannya itu. Matanya persis seperti istrinya yang asli warga negara Saudi Arabia tersebut.

Rafa berlari menuju mobil yang terparkir di depan rumah Omanya. Dengan sekali tarikan pintu terbuka. Dengan cepat anak itu sudah berada di dalam mobil di samping Ilyas.

"Hai, Om."

Nasib-nasib. Tuhan ... tolong jauhkan aku dari bocah tengik remahan rempeyek ini. Aku gak bakalan kuat kalau harus menghadapi anak seperti ini, gumannya.

***

Ilyas berkali-kali harus menghela napas menghadapi calon mertuanya. Impiannya untuk menikah dengan sang kekasih kandas terhalang restu sang Umma.

"Jadi, Ilyas sudah menyetujui perjodohan ini?" tanya seorang pria bersorban bernama Husain Al Ayubi.

Ilyas membisu. Genggaman di tangannya membuatnya menoleh pada Ummanya. Wajah wanita itu mengisyaratkan kebahagiaan tersendiri di matanya.

"Iya, Ilyas menerima perjodohan ini."

Ilyas semakin dalam menunduk ketika perkataan Ummanya lolos begitu saja. Ia ingin sekali menangis saat ini dan berteriak tidak ingin. Namun lidahnya kelu.

Pikirannya kembali terpatri pada satu nama, Selena Morgan Giovanni. Wanita yang ia cintai selama ini. Entah setelah menikah nanti, Ilyas bisa mencintai istrinya atau malah tidak bisa melupakan Selena?

"Jadi, sudah jelas. Tinggal kita melangsungkan proses ta'arufnya saja. Agar mereka berdua saling mengenal. Bukan begitu, Mi?" tanya Abah Husain. Wanita di sampingnya mengangguk mantap.

"Njeh, Bi."

Ta'aruf, oh Tuhan ... tamatlah riwayatku. Bagaimana ini?

"Ini proposal Ilyas." Umma menyodorkan proposal berisi biodata putranya pada Umi Fatima. Begitu pun demikan yang dilakukan oleh Umi Fatima.

Selepas perbincangan selesai, keluarga Ilyas berpamit pulang. Di dalam kabin, Umma terus saja menggoda anak laki-lakinya dengan berbagai pertanyaan namun tidak ada satu pun yang ia jawab. Pikirannya berkelana tentang nasibnya kelak nanti jika harus menikah dengan pilihan Ummanya.

"Cantik enggak calonmu itu, Nak? Dia lulusan terbaik Kairo, loh. Hafidzah Quran lagi. Umma pintar, 'kan?" tanyanya.

"Umma bukan pintar lagi, tapi the best kalau urusan jodoh. Hafizah emang cocok untukmu, Yas. Terima sajalah. Urusan cinta belakangan. Kayak ane  contohnya," sambung Rafees dengan tingkat   ke-PDnya yang sudah sampai lantai hingga lupa untuk berpijak ke bumi.

To be continued

Istri untuk Anakku (Marry an Angel of Heaven)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang