Api Unggun Mendengarkan

699 107 15
                                    

Ada beberapa cangkir kebohongan yang kusajikan kala itu; saat duduk bersamamu dihadapan tarian api unggun. Cangkir dengan rasa pahit, yang mulai mendingin, berwarna hitam legam. Beberapa komponennya larut berkepanjangan, sedang sisanya mengendap jauh di dasar—namun bukan kopi,
hanya perasaan dalam sebuah hati.

Bodohnya,
Di hadapan api unggun, kita bersua, juga tertawa sembari menyaksikan kayu itu dihabisi api. Padahal, didalam sana ada hati yang juga mulai dihabisi oleh sebuah ambisi.

Aku berpura-pura tidak tenggelam dalam linang air mata. Saat kau curiga atas genangan di permukaan pipi, aku melempar salah pada asap. Ini semua ulah asap. Ini karena serangan asap. Begitu kataku.

Padahal asap adalah sebaik-baiknya tokoh malam itu; kau antagonis dan asap protagonis. Malam itu, tangisku di-usap asap.

Di hadapan api unggun, kita berdampingan, mensejajarkan bayang yang menggelepar diatas tanah. Kita juga menyelaraskan kaki; dan bukan hati. Aku bercerita banyak tentang caraku mencintaimu, dan kau juga bercerita banyak tentang caramu menyakitiku. Kumulai dengan sebuah kisah, tentang tak ada hal mustahil di muka bumi. Lalu kau tamatkan dengan kisah tentang hak paten hatimu; yang sudah pasti miliknya. Dengan rupa kisahmu itu, jelas bahwa kisahku tak lebih dari sebuah kisah fiktif, jelas bahwa hatimu adalah mustahil bagiku.

Aku bersandiwara seolah gemetar tubuhku disebabkan oleh jilatan angin malam. Kau tak menaruh curiga, karena api didepan sana mulai padam, kayunya lahir kembali dalam wujud abu. Mungkin kau benar-benar mengira bahwa aku sebatas kedinginan. Sandiwaraku boleh juga, kan? Padahal ada seonggok jantung yang berpacu lebih cepat, bersiap-siap meledak karena tak kunjung berhenti berdetak walau ribuan kali telah ditolak. Sedikit tak punya malu memang, banyak ngeyelnya.




Lagipula kalau hatimu itu mustahil,
memangnya kenapa?

Aku sedang mencintaimu,
Mencintaimu itu bukan hal mustahil,

dan,
Aku masih mencintaimu,

Sampai sekarang, sampai sekarat


-di bumi perkemahan, di bawah pohon trembesi

Meracik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang