Semalam, aku memutuskan untuk membaca buku tentang musim. Kau pasti tahu betul—perihal membaca aku omnivora. Aku baik-baik saja saat harus membaca wikipedia, juga ensiklopedia. Namun tidak saat membaca hatimu; dimana isinya hanya si dia.
Pernah dengar negeri matahari terbit? Dari buku yang kubaca, negeri itu memiliki empat musim. Saat belahan dunia itu mencair; Prunus Serrulata hadir—bermekaran tepat seminggu sebelum berguguran.
Tapi dia tak membenci dahan walau telah dilepaskan. Tak juga membenci angin walau sudah dijatuhkan. Dia tetaplah Prunus Serrulata yang selalu cantik; dalam genggaman maupun pijakan. Aku ingin menjadi sepertinya—yang semoga tak lekas kau lupakan.
Kalau negeri kita kau pasti sudah tahu; hanya ada dua musim. Yang satu kemarau, satu lagi hujan.
Bicara soal musim hujan—dia mengerikan, ya? Bukan perkara angin yang menyertai atau petir yang suka ikut campur. Ini perkara musim hujan itu sendiri. Yang dinginnya tak hanya menusuk tulang, tapi juga menembus rindu dan menyuruhnya lekas berpulang.
Orang-orang selalu bilang bahwa hujan itu tak menyisakan genangan; namun kenangan.
Salah.
Hujan tak menyisakannya; hujan hanya menyiraminya dan—
Mampuslah kau saat kenangan kembali bersemi. Modar kan? Iya, aku sendiri juga modar.
Saat aku menyeruput kopi bungkus; yang hangat bukan kerongkongan; melainkan pipi. Mencuci baju pun yang bersih justru otak; di sana tiba-tiba kosong hanya karena ada wangimu tersisa di baju dan tersentuh penciuman payahku.
Sekarang kau tahu kan apa yang lebih susah dari basah, becek dan tak ada ojek saat musim hujan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Meracik Kita
Poetry#sehimpunsajak Kalau rasamu sedang tenggelam di dasar hatinya; bersegeralah kau kembali ke permukaan--sebab di sana tak ada apa-apa selain pemicu luka. sampul luar biasa oleh @rawniesw ©woomeya, 2020