•Part 11 × Dia•

1.1K 114 27
                                    

.
.
.

“Cukup dengan buktikan ucapanmu. Buktikan bahwa kau memang ingin mempertahankanku, Xavier...”

.
.
.

  Xavier menatap penuh kasih pada Alice yang kini sedang tertidur lelap disampingnya. Hari sudah larut malam. Sunyi dan menenangkan. Xavier merelakan tidur malamnya agar bisa menikmati kebersamaannya dengan Alice.

Ini adalah yang pertama kali. Inilah pertama kalinya mereka akhirnya bisa saling terbuka dengan perasan masing-masing. Pertama kalinya mereka bisa saling menerima perasaan yang sebenarnya sudah terpendam lama tanpa disadari oleh keduanya.

Xavier merengkuh tubuh Alice yang terasa mungil dalam dekapannya. Dalam hidupnya, Ia baru merasakan kebahagiaan yang seperti ini.

Perasaannya yang bersambut dengan Alice, dan buah hatinya yang sebentar lagi akan hadir menyempurnakan kebahagiaan dalam hidupnya.

Xavier berjanji, setelah ini Ia akan segera mengikat Alice dalam ikatan pernikahan. Hanya tinggal beberapa langkah lagi. Tunggu sampai urusannya selesai. Maka Xavier tidak akan mensia-siakan kesempatan yang ada.

Saat sedang membayangkan betapa indahnya hari-hari Xavier bersama Alice kedepannya, terdengar suara lolongan serigala yang saling bersahutan. Suaranya terdengar sangat jelas. Rasanya seperti ada segerombolan serigala berada di sekitar tempat itu.

Memang, Xavier tak membawa Alice kembali ke Istana Asgard. Melainkan membawanya ke Kastil yang biasa Ia jadikan tempat pelarian untuk memenangkan diri. Sekaligus tempat dimana Edric melakukan penelitian dan eksperimen-eksperimen terkait dengan kondisi wilayah Asgard beserta penghuninya.

Alice menggeliat tak nyaman. Rupanya suara serigala tersebut berhasil mengusik waktu tidurnya.

Wajah serius Xavier adalah pemandangan pertama yang Alice lihat ketika membuka mata. Awalnya Ia terkejut dan ingin memberontak, sebelum akhirnya ingatan membawa Alice pada kenyataan bahwa mereka sekarang sudah sepakat untuk menjalani hidup bersama.

“Apakah itu suara serigala?”

“Kenapa? Kau takut?” Xavier mengangkat sebelah alisnya seolah mengejek. Tangannya masih setia mendekap Alice, seolah-olah Alice akan menghilang ketika Ia lepaskan barang sedetikpun.

“Aku tidak pernah bermain-main jika itu menyangkut keselamatan.”

Xavier menangkap raut wajah Alice yang seketika terlihat datar. Ia menyadari terdapat bulir-bulir keringat disekitar wajah Alice, bahkan matanya terlihat berkaca-kaca setelah diamati, meskipun Alice mencoba membuat ekspresi wajahnya menjadi serius.

Sepertinya, Alice merasa takut.

“Dengarkan aku. Jika kau masih merasa takut pada keadaan ketika sedang bersamaku, itu sama saja kau tidak mempercayaiku, Alice.”

“Aku juga tidak akan pernah bermain-main jika itu menyangkut dengan keselamatanmu.”

Tatapan teduh Xavier lagi-lagi memporak-porandakan perasaan dan fikiran Alice. Membuatnya terdiam seribu bahasa.

“Kau tetap disini, lanjutkan saja istirahatmu. Aku akan turun untuk melihat keadaan sekitar.”

Alice segera mencekal tangan Xavier ketika hendak beranjak turun dari ranjang.

“Tunggu dulu. Aku ikut!”

“Jangan. Udara malam tidak baik untukmu. Aku hanya pergi ke bawah untuk melihat sekeliling. Aku tidak akan lama.”

ADELARD-XTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang