Apa Memang Ditakdirkan?

70 12 2
                                    

“Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku seorang diri, Engkaulah ahli waris yang paling baik.”
(Al Anbiya: 89)

***

Selama tiga hari ini Bilqis asyik mondar-mandir dari rumah, fakultas, biro universitas, rumah dinas para dosen, rumah sakit untuk menemui pembimbing yang notabennya seorang dokter. Laporan KOAS-nya telah ia serahkan. Bukan hanya itu, persyaratan wisuda pun telah ia lengkapkan serta serahkan di bidang akademik dan kini ia bisa berhela-leha di rumah.

Walaupun rasa kehilangan itu masih terus tersemat di hatinya dengan keadaan ia tak tahu kenapa rasa itu terus muncul. Ia masih belum mendapatkan jawaban kenapa ia bisa merasakannya. Anehnya lagi, semakin ia menyibukkan diri, rasa sepi semakin tersemat dalam dirinya. Apalagi ia sendiri di rumah. Azra hanya akan menemaninya kala malam menjemput.

Bilqis bangkit dari duduknya begitu mendengar kumandang adzan dari masjid. Ia hendak melaksanakan salat Dzuhur dengan berjamaah. Hal tersebut dilakukannya berharap ia tak lagi merasa kehilangan. Namun ternyata dugaannya salah. Usai salat, dengan kebiasannya, ia melangkahkan kaki ke lantas dua yang kosong. Ia duduk di dekat tangga seperti biasanya. Dikeluarkannya Al Quran dari tas mukena dan ia mulai melantunkan ayat suci tersebut.

Letak dugaan yang salah ialah kala ia menyelesaikan bacaannya. Dari atas sana, ia melihat ke arah saf pria. Seminggu yang lalu, untuk pertamakalinya ia melihat sosok idola tampannya duduk di sana berdiskusi dengan remaja komplek. Tawa yang menghiasi wajahnya membuat jantung Bilqis bergetar. Namun hari ini, yang ia lihat hanya kerumunan remaja tanpa sosok yang ia pikirkan. Hal itu semakin membuat ia merasa kehilangan. Kesepian kini telah menyelimutinya dengan penuh.

Sedang asyiknya Bilqis melamun, ia tak sadar seseorang telah duduk di sampingnya. Ustadzah Fatimah duduk dengan memperhatikan gelagat tetangga yang sudah dianggap dokter pribadi keluarganya. Ia menyentuh tangan Bilqis yang berhasil membuatnya tersentak.

“Ustadzah,” cicit Bilqis begitu ia menyadari siapa yang menyentuh tangannya.

Ustadzah Fatimah tersenyum lembut dan bertanya, “Kenapa sendiri? Apakah saya menganggu lamunan kamu?”

Bilqis menggeleng kecil tanpa menjawab apapun. Ia tak tahu alasan apa yang akan ia berikan. Karena hanya akhir-akhir ini ia suka duduk di atas sini. Jikalau kemarin-kemarin, ia akan duduk di balik tirai pembatas antara wanita dan pria atau di tempat ia melaksanakan salatnya.

“Bagaimana harimu? Menyenangkan?” tanya Ustadzah Fatimah yang melihat raut gusar di wajah Bilqis tak bisa disembunyikannya.

Bilqis tersenyum kikuk. Ia memang sangat dekat dengan Ustadzah Fatimah. Namun mereka tidak pernah membahas hal yang sangat pribadi seperti ini.

“Apa Azra menyusahkanmu saat kalian tidur bersama? Jika iya, menginaplah di rumah,” sambung Ustadzah Fatimah yang berhasil membuyarkan pikiran negatif yang sempat tersamat dalam pikirannya.

Kini, senyum Bilqis tak sekaku tadi. Ia pun menambahnya dengan gelengan yang mantap. “Tidak, Ustadzah. Malah dia sangat membantu saya. Kalau dia tidak ada, mungkin saya akan kesepian di rumah. Akan sahur sendiri seperti biasanya,” jawab Bilqis dengan senyum yang tulus.

“Apa Azra sudah mengabarkan bahwa kami akan ke Istanbul?”

Bilqis mengangguk.

“Kamu ikut, ya?”

Bilqis terdiam. Ia memang belum mengambil keputusan apapun. Namun, ia tak tahu apakah harus menerima tawaran tersebut atau tidak. Uang sakunya memang cukup jika hanya menyewa hotel selama empat hari. Tapi, entah kenapa seperti ada perasaan aneh yang muncul di hati dan pikirannya. Namun Bilqis tak bisa mengartikan perasaan apa yang mampir itu.

Malam Lailatul Qadar (Series Ramadan) [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang