Pertemuan Pertama

85 13 0
                                    

“Kami kisahkan kepada kamu, sebaik-baiknya kisah.”
(Yusuf: 3)

***

Matahari naik semakin tinggi dan sinarnya semakin menyengat kala menjelang siang hari. Rasanya kini tenggorokan semakin kering saja. Bilqis berjalan sedikit berharap sampai ke tempat tujuan dengan cepat. Hari ini ia memiliki jadwal kerja dengan shif siang. Rasanya ia sangat malas untuk bergerak. Tapi ia tak boleh malas demi menghidupkan diri di negara orang untuk beberapa minggu lagi.

Bilqis memasuki ruang istirahat para dokter untuk meletakkan barangnya dan mengambil jasnya. Bilqis melenguh lega begitu bisa menghirup udara pendingin ruangan yang amat segar. Tak lama ia pun berjalan dengan cepat keluar dari ruangan tersebut dan menuju UGD untuk menggantikan Dokter Keyli yang sudah siap untuk keluar dari ruangan tersebut. Setelah mengucapkan selamat bekerja, Dokter Keyli pun berlalu dari hadapannya.

Satu jam, dua jam, tiga jam berlalu. Beberapa jam lagi jadwal kerjanya akan selesai. Bilqis duduk di meja dokter UGD sekadar beristirahat, pun karena tidak ada pengecekan ataupun pasien baru. Namun, setelah setengah jam Bilqis berbicara santai dengan rekan kerja yang kebetulan satu shif dengannya, seorang pria berjalan terburu-buru dengan mendorong kursi roda. Bukan hanya itu, sebuah ambulance steretcher didorong dengan amat cepat. Bilqis yang melihat Insan sudah duluan mengambil alih pasien berkursi roda dengan cepat pula mengambil alih si pasien yang tampak lemah.

Bilqis masuk ke dalam ruangan yang hanya ditutup tirai hijau begitu melihat petugas ambulance sudah siap dengan pekerjaan mereka. Dengan ditemani seorang perawat pria yang siap dengan alat infus, Bilqis berdiri tegak di samping brankar dengan seorang pria di atas nama. Tubuh Bilqis menegang saat mengenali sosok yang ada di hadapannya. Matanya tertutup dengan pelipis yang terluka hebat serta mengeluarkan banyak darah. Lantas ia berkata dalam bahasa Turki, “Infus segera dan cek golongan darah pasien. Cek juga persediaannya. Saya akan mengecek dokter bedah yang kosong.”

“Baik, Dok!”

Begitu mendengar jawaban itu, Bilqis berlalu untuk melakukan tugasnya. Ia mengembuskan napas gusar berkali-kali setelah melihat pasien barunya. Ia tak paham, kenapa pria itu ada di hadapannya, bukan di Istanbul. Mengingat pesan yang diabaikannya, ia merasa bersalah. Walaupun tak mau geer dengan keberadaannya pria itu datang ke Ankara, namun ia berharap ini semua tak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Ia pun berharap bahwa pria yang di dalam sana baik-baik saja.

Satu jam yang lalu, Zaidan tiba di Ankara untuk mengunjungi kampusnya dulu. Ia hendak melakukan perlengkapan sidang S2-nya dengan mengstempel legalisir basah ijazah S1-nya. Setelah urusannya dengan akademik selesai yang tak sampai satu jam pula, ia pun kini siap untuk kembali ke Istanbul. Namun naasnya, begitu ia keluar dari gerbang universitas, sebuah sedan berwarna putih menghantam mobilnya dengan kencang. Untungnya, bukan bagian kemudi yang terhantam. Namun akibat hantaman tersebut, ia mendapat goncangan dan pelipisnya terantuk dengan setir. Maka dari itulah ia kini bisa berada di rumah sakit dan siap untuk dibedah. Pelipisnya yang memang pernah terluka mengalami kebocoran lagi bak luka yang lama sembuh. Padahal jika dihitung, sudah hampir 10 tahun luka itu bersih dari pengobatan.

“Saya sudah menjahit lukanya. Tidak terlalu dalam karena saya mendapatkan bekas jahitan juga. Sepertinya, sebentar lagi dia akan sadar. Apa sudah hubungi keluarganya?” tanya Dokter Zamzami begitu ia keluar dari brankar Zaidan.

Bilqis menggeleng kecil. “Dia warga Indonesia, Dok. Nanti akan saya tanyakan apakah ada keluarganya yang bisa dihubungi,” jelas Bilqis dengan mata yang sesekali melirik tirai yang tertutup rapat.

Dokter Zamzami ikut mengangguk. “Saya pamit dulu,” pamitnya yang langsung berlalu dari sana.

Kini, tinggallah Bilqis seorang diri. Ia ragu untuk menemui pasiennya. Keraguan itu muncul dikarenakan ketidakenakannya pada Zaidan yang disebabkan pesannya terabaikan. Namun jika ia tak masuk, pria itu kini adalah pasiennya. Ia pun bertanya pada diri sendiri, untuk apa ia tak enakan. Memangnya Zaidan tahu bahwa dirinya pemilik akun bookstagram yang mengabaikan pesannya?

Malam Lailatul Qadar (Series Ramadan) [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang