Kembali ke Istanbul

627 28 21
                                    

“Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahi.”
(Al Baqarah: 227)

***

“Dengan ini kami tetapkan, saudara Zaidan Karim dan saudari Aliska Muntia Siddiq resmi bercerai.”

Suara ketukan palu menggema di ruangan yang sepi. Usai itu, kegaduhan menyambut mereka. Sepasang tangan terangkat dengan mengucap alhamdulillah dan ia meraup wajahnya yang tak lagi muda. Ia bangkit dari duduknya bersama sang suami dan mendekati putranya yang duduk tegak di hadapan hakim dengan seorang wanita yang sudah berdiri untuk menjauh dari sana bersama kedua orang tuanya. Pria yang masih tetap diam itu menatap ke depan dengan hembusan napas lega walaupun tak bisa dipungkuri bahwa ia yang seorang laki-laki kini sudah takut dengan yang namanya berkomitmen.

Sebuah pelukan dirasakannya dengan bisikan, “Yang tegar, Nak. Umi, Abi, Zania, tetap ada untuk kamu. Ini hanya batu sanding dalam hidupmu, Sayang. InsyaAllah, Dia akan memberimu hidup yang lebih indah.”

Pria itu mengangguk lemas sambil membalas pelukan sang umi. Sebuah tepukan di bahu ia rasakan pertanda ia harus kuat. “Kamu kuat, Nak. Kamu tidak salah. Biar dunia menghukum, tapi Allah tau bahwa keputusan ini adalah hal yang terbaik untuk kalian berdua,” ujar pria tua yang berstatus sebagai abinya.

Dalam agama Islam, Tuhan sangat membenci sebuah perceraian. Bukan keinginan Zaidan pula untuk duduk di depan hakim dan bersikap seakan tak kenal dengan Aliska yang sering dipanggil ‘alzawja’ atau ‘habibati’. Bukan keinginannya pula memberi talak tiga secara emosional yang amat tinggi kala itu. Usai berkata itu, ia sempat tertampar dengan prinsip yang ditanamkan sejak remaja. Jatuh cinta cukup sekali, nikah cukup sekali, tanpa ada perceraian yang menghampiri. Namun siapa sangka, takdir ternyata berkata lain. Ia tak tahu apakah Aliska cinta terakhirnya, atau aka nada Aliska lainnya dalam hidupnya, atau ia bertemu dengan kekasih impiannya.

Pintu persidangan dibuka oleh Abi Zikri dengan begitu lebar dan cepat. Tak kalah cepat dengan wartawan yang berhamburan di depan pintu dengan lampu kamera yang saling sahut menyahut. Zaidan menunduk di belakang Abi Zikri karena tak ingin wajahnya ditangkap kamera wartawan. Abi Zikri dengan lantang dan amat memohon berkata pada para wartawan, “Izinkan kami pergi. Kami butuh istirahat setelah masalah ini. Berikan kami ketenangan. Satu yang perlu kalian tau, percerian ini bukan karena orang ketiga dari pihak mana pun. Bukan pula karena kesalahan Zaidan. Mohon tidak mengusik kami.”

Lantas usai itu, Abi Zikri membawa Zaidan pergi dari sana. Untungnya, Zania dengan cepat membuka pintu mobil untuk keluarganya masuk. Terdengar hembusan napas lega dari Zaidan. Saat ia melihat ke belakang, Aliska tersenyum di antara wartawan. Sang ayah berbicara dengan amat santai. Dalam hati Zaidan berbisik, ya Allah ya Tuhanku. Berikanlah hamba-Mu ini ketenangan. Hamba paham, hamba salah mengambil langkah. Namun hamba mohon, berilah jalan untuk hamba bangkit. Berilah jalan untuk menghapus cinta serta benci yang ada di hati hamba. Hanya pada-Mu hamba berserah diri.

***

Zaidan membanting remote ke arah kasurnya. Media sedang dibodohi oleh kekuasaan seseorang. Ia muak dengan calon mertuanya yang asyik menyalahkannya. Ia pikir, dengan tak adanya hambatan perceraian bisa membuat hidupnya aman, ternyata ketidakperhatiannya pada perceraian itu membuat kubu sebelah leluasa mengarang cerita.

Zaidan pindah posisi ke jendala kamar. Saat diintipnya, banyak wartawan yang berdiri di luar. Tak lama terdengar ketukan lembut dari arah pintu. Dengan lemah Zaidan menyaut, “Masuk aja. Pintu nggak dikunci.”

Malam Lailatul Qadar (Series Ramadan) [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang