Ankara di Pagi Yang Cerah

185 21 3
                                    

Allahumma bika ashbahnaa wa bika amsainaa wa bika nahyaa wa bika namuutu wa ilaikan nusyuuru.
“Ya Allah, karena Engkau kami mengalami waktu pagi dan waktu petang, dan karena Engkau kami hidup dan kami mati dan kepada-Mu kami akan kembali.”

***

April adalah bulan pertengahan musim semi di Turki. Semua bunga dan perpohonan sedang tumbuh subur berlomba-lomba menunjukkan warnanya yang indah hingga berhasil membuat sejuk mata kala memandangnya. Orang-orang menyambut pagi dengan gembira. Ada banyak orang terpanjatkan di pagi hari kala adzan berkumandang merdu. Dan tahun 2019 ini, Ramadan sudah menunggu kita. Tinggal menghituang 20 hari lagi, kita akan menyambut bulan yang indah untuk menyambut bulan suci tersebut. Musim semi yang indah untuk merangkul Ramadan yang penuh berkah.

Gadis cantik berperawakan tinggi dengan mata cokelat yang cerah sedang bersimpuh di atas sajadah kuningnya. Suara lantunan ayat suci Al Quran terdengar damai di kamar yang sunyi nan senyap. Tak ada suara lain kecuali lantunan indah dari bibir mungil nan tipis merah jambu tersebut. Ayat demi ayat dilantunkannya dengan irama yang berdayun-dayun. Bulu mata lentinya bermain di antara kelopak mata kala ia berkedip. Sungguh indah ciptaan Tuhan yang tanpa cacat itu.

Matahari terus naik memperlihatkan kuning cerah yang indah. Gadis itu menghentikan lantunan ayat suci-Nya dengan menyebut: “Maha Benar Allah dalam segala firmannya.”

Mata indah itu melirik ke arah jam yang tergeletak di nakas dekat ia bersimpuh. Pukul enam pagi waktu Ankara, Turki. Tak menunggu lama, ia langsung bangkit dan membereskan segala perlengkapan salatnya. Berjalan ke arah pintu kamar mandi dengan menarik handuk sebelum masuk ke dalamnya.

Bilqis Faiha Rifda. Gadis cantik perawakan tinggi dengan tubuh putih mulus itu berasal dari Aceh, Indonesia. Gadis bermata sayu itu mengadu nasib di kota terbesar nomor dua di Turki. Ia merantau jauh dari negaranya demi mewujudkan cita-citanya sedari kecil. Dan kini, sedikit lagi ia akan mengantongi gelar dokternya.

Bilqis bukanlah gadis yang kaya-raya. Hanya seorang gadis sederhana yang mencoba hidup lebih semakin sederhana di kota Ankara. Ia kuliah dengan beasiswa yang ia dapatkan dengan mati-matian kala ia menuntut ilmu pesantren di Pulau Jawa. Untuk menjadi seorang santriwati di pesantren terkenal itu pun, ia amat susah payah pula. Gadis yang memiliki darah Aceh yang konon dikatakan memiliki garis keturunan Arab, China, Eropa, Hinda itu kini berhasil memijakkan kaki di negara yang dijadikan negara impiannya untuk dipijaki. Sudah hampir enam tahun lamanya ia berkelana di Ankara. Ya … walaupun pada dasarnya yang diincar adalah Istanbul dan bukan Ankara, tapi ia sudah sangat bersyukur bisa berangkat ke luar negeri.

“Selamat pagi, Iqis!” sapa Noela—teman serumahnya yang memiliki agama yang berbeda dengannya. Mereka sama-sama dari Indonesia. Hanya saja, agama mereka yang berbeda. Namun, mereka sungguh saling menghormati satu sama lain.

Noela tidak pernah risi dengan suara lantunan kitab suci umat Islam dan juga sebaliknya. Bilqis tidak keberatan jika Noela melantunkan nyanyian doa umat Kristian. Dan yang paling menguntungkan untuk Bilqis, Noela tidak pernah memasukkan barang haram dalam rumah tersebut. Hanya ada salip di kamar dan lehernya. Serta sebuah patung yang disebut Tuhan oleh Noela di kamarnya.

“Pagi, Noe!” balas Bilqis yang ikut menemani Noela yang sedang sarapan.

“Piket pagi?” tanya Noela yang melihat setelan Bilqis yang sudah rapi.

Bilqis mengangguk dengan menjawab, “Iya, nih. Dokter Hushen minta ganti sif.” Bilqis menerima uluran roti lapis berisi selai kacang dari Noela dan mengucapkan basmalah sebelum menggigitnya.

Malam Lailatul Qadar (Series Ramadan) [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang