15 - More Traumatic Moment (Rani)

448 83 0
                                    

Sekecil apapun kenangan buruk yang dimiliki seseorang, untuk menghilangkan itu tidak semudah menghapus coretan spidol tinta permanen di papan putih.

~Rani

---R&Я---


RANI POV

Tidak terasa sekarang kembali memasuki hari Senin. Namun sampai saat ini laptop yang telah tewas beberapa hari lalu belum kunjung diterima oleh pemiliknya. Sementara Yuno—orang yang terakhir kali membawa barang itu—belum juga kabari aku. Aku tidak tahu apakah laptop itu bisa diperbaiki dan kembali dalam keadaan utuh. Menurutku, itu mustahil.

Aku berusaha untuk merahasiakan kejadian ini dari nenek dan kakak laki-lakiku. Awalnya mereka terlihat biasa-biasa saja. Nenek sibuk melakukan aktivitas rumah dan membuat kue. Sedangkan abang, kalau tidak sedang keluar rumah dia lebih suka mengunjungi kamarku. Namun seiring hari berjalan, mereka mulai mengkhawatirkan aku setelah mengetahui bahwa tubuhku sedang tidak enak badan.

Namun mereka hanya mengira aku hanya sedang demam.

Sebenarnya pagi tadi, abang meminta aku untuk tidak masuk sekolah karena panas di tubuhku mulai meninggi. Tetapi aku bersikukuh untuk tetap bersekolah demi mengetahui nasib laptop milik orang yang tidak sengaja aku rusak, meskipun aku tetap tidak memberitahu dia soal laptop itu.

Dan sekarang aku mulai kesulitan untuk bertahan.

"Rani, mending lo nggak usah ikut upacara." Yani duduk di sampingku. "Gue takut nanti lo malah pingsan di lapangan."

Aku menggeleng pelan. "Aku masih kuat kok."

"Tapi muka pucat lo menjawab sebaliknya." Satu tangannya menyentuh dahi kepalaku. "Tuh, lo demam tinggi. Nggak mungkin lo masih kuat begini."

"Paling setelah berjemur di lapangan demamnya bakal turun," kataku.

"Ya, lalu lo langsung masuk rumah sakit." Yani langsung menarik aku berdiri. "Gue langsung anterin lo ke UKS! Tenang aja, kali ini gue yang temani."

Alhasil, aku tidak mengikuti upacara pagi. Dan di ruang UKS hanya ada aku dan Yani. Sepertinya tidak ada siswa yang sakit dan jatuh pingsan hari ini. Sebenarnya Yani sengaja memanfaatkan situasi ini agar dirinya dapat menghindar dari panas matahari yang sangat terik pagi ini.

Di satu sisi, aku merasa sedikit lebih baik setelah beristirahat disana selama upacara berlangsung. Namun disisi lain, aku merasa takut seandainya ruangan ini didatangi seseorang. Tentu saja aku masih mengkhawatirkan soal laptop rusak itu.

"Omong-omong, bagaimana dengan laptop kak Arika? Kak Yuno sudah kabari lo soal itu?" tanya Yani.

Aku menggeleng. "Mana mungkin laptop pecah bisa diperbaiki."

"Iya sih, tapi lo sanggup ganti rugi barang kayak begitu? Harganya jutaan loh."

"Kalau nenek dan abangku sampai tahu, aku pasti dimarahi."

Yani terbelalak menatap aku. "Lo belum cerita soal itu pada mereka? Kenapa lo rahasiakan coba?"

Aku bergumam, mencari-cari alasan. "Mereka tidak mungkin sanggup membeli laptop baru."

"Terus kalau misalnya kak Yuno sudah memperbaiki laptop itu, bagaimana lo akan membalasnya juga?"

Dan jawabannya adalah, aku tidak tahu.

Yani mendesah pelan. "Rani, lo memang bernasib buruk setelah masuk sekolah ini."

"Em? Kenapa begitu?" tanyaku heran.

We Are (not) TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang