23. Kenyataan Pahit

78 15 8
                                    

Bryan melajukan motornya dalam kecepatan sedang, Gisti tahu betul bahwa keadaan hati kekasihnya sedang tidak baik-baik saja itulah sebabnya ia diam tidak mengajak Bryan berbicara disepanjang jalan. Ia hanya ingin memberinya waktu untuk melamun sejenak menikmati kota di malam hari.

"Kok engga ngomong?" Tanya Bryan.

Gisti yang masih memeluk erat Bryan hanya menggeleng. "Sepi tau." Ucap Bryan.

"Aku hanya ingin memberimu waktu."

Bryan tersenyum mendengar perkataan Gisti, ia merasa sangat beruntung bertemu dengan gadis yang sangat mengerti keadaannya saat ini. Ia memarkirkan kendaraannya tepat di lapangan Gasibu letaknya bersebrangan dengan Gedung Sate.

Gisti langsung melepaskan pelukannya. "Lo, beneran ngajak gue olahraga ya, Yan?" Tanya Gisti.

"Biar badan lo makin langsing," timpal Bryan dengan santainya.

"Jahat banget sih lo! Gue udah langsing gini masih disuruh olahraga!" Geram Gisti.

Bryan mengelus lembut rambut Gisti. "Iya engga lah. Masa iya gue nyuruh lo olahraga malam-malam kayak gini?"

"Terus mau ngapain kesini? Random banget sih lo!"

"Hidup gue emang engga jelas kayak gini ya, Gis. Gue aja gak tau tujuan hidup gue itu apa. Gue manusia bodoh yang cuman numpang hidup di bumi." Ucap Bryan.

Gisti yang mendengar perkataan Bryan merasa bersalah karena sudah mengucapkan kalimat yang seharusnya tidak ia ucapkan. "Maaf," Gisti menunduk merasa bersalah di hadapan Bryan.

"Hey, kenapa mesti minta maaf? Lo, engga salah kok ngomong gitu."

Bryan langsung meraih tangan Gisti menariknya dari atas motor untuk berjalan mengikutinya. "Kita mau kemana?" tanya Gisti.

Bryan menunjuk ke arah kursi yang menghadap ke depan Gedung Sate. "Duduk disana yuk." Ajak Bryan.

Setelah mereka berdua duduk Bryan hanya melamun, terdiam seolah tidak ingin mengutarakan apa-apa. Gisti yang melihat keadaannya saat ini tidak bisa menahan bahwa hatinya begitu sakit memandang kekasihnya dalam keadaan seperti itu.

"Peluk aku," Gisti membuka lebar kedua tangannya, mengisyaratkan agar Bryan mau memeluknya.

Tanpa membalas ucapannya, Bryan menyambut hangat pelukan dari Gisti. "Semuanya tidak perlu terlihat baik-baik saja, Yan. Hidup tidak akan berjalan sesuai dengan apa yang kita mau, tetapi hidup akan berjalan sesuai dengan apa yang semesta izinkan."

"—jika kamu terpuruk ada tangan yang siap memelukmu, jika kamu bersedih ada seseorang yang dapat mengusap wajah sedihmu itu." Lanjut Gisti.

Bryan masih terdiam dalam peluknya. Mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Gisti membuat keadaannya semakin bersedih. Sedih karena ia harus menampilkan wajah terpuruknya di hadapan gadis yang ia cintai.

"Kamu tidak akan pergi?" Ucap Bryan.

"Pergi kemana?"

Bryan melepaskan pelukannya. "Lo, engga akan pergi kayak cewek lain kan, Gis?"

Gisti tersenyum. "Sejauh apapun aku pergi jika hatiku tahu kemana ia akan kembali, ku pastikan ia akan pulang dengan selamat kepada pemiliknya."

"Kamu hebat."

"Tidak. Bukan aku yang hebat, tapi kita."

"Loh, kenapa kita?"

"Karena kita tetap bertahan pada rumah yang sama. Walaupun terkadang ada beberapa atapnya yang rusak, tapi kita tetap bertahan untuk saling mencintai." Ucap Gisti.

Tentang Kita ✔ [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang