5. Murid Baru

15 3 0
                                    

Budayakan pencet bintang di pojok bawah sebelah kiri sebelum membaca!

***

"Lo ngapain ngikutin gue?" tanya Elfan galak.

"Takut nyasar, gue gak hafal jalan di hutan ini."

"Terus cerminnya ngapain lo bawa?"

"Emm ... an—anu ... itu ...." Zia gelagapan. Gadis itu tak tahu harus menjawab apa. Apakah Zia harus menceritakan kejadian janggal yang ia alami pada cowok asing yang baru dikenalnya itu? Bisakah Zia percaya padanya?

Elfan semakin memandangnya curiga. Tatapan cowok itu semakin mengintimidasi Zia.

"Ah! Pas kemarin gue nyasar kesini, gue liat cermin ini. Bagus, antik, mayan kalo dibawa pulang. Cuma kemarin gue gak sempet bawa pulang karena banyak orang, malu gue. Makanya, sekarang gue balik lagi kesini buat ambil nih cermin. Mumpung gak ada orang." Zia semakin menampilkan gelagat aneh dan membuat Elfan semakin memicing curiga.

"Gak ada orang? Terus gue apaan? Setan?" tanya Elfan dongkol.

"Bukan, lo itu manusia kulkas."

"Lo yakin, alasan ngambil cermin ini cuma gara-gara antik? Bukan gara-gara disuruh anak kecil di belakang lo?" Zia seketika menoleh kebelakang dan menemukan Silbi sedang tersenyum padanya. Senyum khasnya yang membuat Zia bergidik ngeri.

"Kok lo bisa liat dia?" Elfan tidak menanggapi pertanyaan Zia. Cowok itu segera pergi meninggalkan Zia seorang diri.

"Eh bentar tungguin gue!"

"Nggak usah ngikutin gue."

"Lo belum jawab pertanyaan gue." Penyakit kepo yang diderita Zia sedang kumat. Kalau sudah begini, bagaimanapun caranya gadis itu harus menemukan jawaban.

"Pertanyaan lo gak penting." Elfan semakin mempercepat langkahnya, dan hal itu membuat Zia semakin sengsara karena langkah gadis itu tak secepat dan selebar langkah Elfan.

"Penting buat gue!"

"Buat gue nggak," ujar Elfan cuek.

"Tinggal jawab apa susahnya sih?" tanya Zia kesal.

"Gue indigo." Zia terkejut mendengar penuturan Elfan. Jadi benar, saat di gubuk tadi Elfan berbicara dengan setan? Memikirkannya saja membuat Zia bergidik ngeri.

Zia semakin kesulitan menyeimbangi langkah Elfan. Pasalnya, tenaga gadis itu mulai terkuras dan gelapnya malam membuat gadis itu beberapa kali terjatuh.

Saat Zia terjatuh, jangan bayangkan Elfan akan menangkap tubuhnya seperti di drama Korea. Itu sangat mustahil. Manusia kulkas sepertinya kan tidak punya hati.

Zia dan Elfan sudah keluar dari kawasan hutan. Elfan yang motornya dititipkan ke salah satu rumah warga, segera mengambilnya lalu bergegas pulang tanpa menawarkan tebengan pada Zia. Ya, begitulah Elfan. Tidak punya hati karena membiarkan seorang gadis pulang sendiri saat malam hari.

Zia sampai di rumahnya dengan selamat. Meski sempat kesulitan mencari kendaraan untuk pulang, akhirnya gadis itu menemukan pangkalan ojek dan pulang dengan selamat.

Satya langsung menghampiri gadis itu dengan cemas. "Lo kemana aja sih Zi? Udah malem ini."

"Yang bilang masih pagi siapa?"

Satya menatap adiknya sebal, "Gue serius. Lo dari mana?"

"Aduh Bang, Zia capek. Besok aja Zia jelasin," ujar Zia santai lalu segera melenggang pergi menuju kamarnya.

Satya hanya menggeleng takjub melihat kelakuan adiknya. Bagaimana tidak? Zia pulang malam seperti ini sendirian dan rela membawa cermin berukuran lumayan besar di tangannya? Untuk apa?

Zia masuk ke kamar, lalu meletakkan cermin itu di samping laci kamarnya. Gadis itu sengaja membalikkan posisinya agar dia tidak bisa bercermin. Karena untuk saat ini, ia masih terlalu takut untuk bercermin lalu masuk ke dimensi lain lagi.

Zia berbaring di atas kasur sambil menatap langit-langit kamarnya. Untuk saat ini, hari-harinya terasa sangat aneh. Banyak kejanggalan-kejanggalan yang terus menyeruak di hidupnya.

***

Pagi telah tiba. Matahari telah menampakkan sinarnya. Sinar matahari itu menerobos masuk melalu jendela dan menembus gorden kamar Zia.

Karena sinar matahari itu menyorot wajahnya, Zia pun terbangun dari tidurnya. Segera gadis itu menuju ke kamar mandi lalu segera turun ke bawah untuk sarapan bersama abangnya.

"Lo hutang penjelasan sama gue," ujar Satya sambil membantu Bik Ijah menyiapkan sarapan.

"Etdah Bang, harusnya tuh pagi-pagi gini ngucapin selamat pagi kek, apa kek. Malah nagih penjelasan," jawab Zia sambil memutar bola matanya malas.

"Buruan jelasin Zi." Nada bicara Satya mulai meninggi. Kalau seperti ini, laki-laki itu berarti sedang serius dan tidak ingin dibantah.

Zia menghela napas, "Tadi malem Zia ke hutan, mau ngambil cermin." Gadis itu menjawab dengan nada sesantai mungkin. Akan tetapi, berbeda dengan jantungnya yang sedari tadi berdegup kencang karena tidak mau kalau Satya tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Cermin? Buat apa lo ngambil cermin?" Dahi Satya mengerut dalam. Dan tatapan cowok itu membuat Zia semakin gugup dan takut.

"Cerminnya bagus Bang. Estetik hehe," jawab Zia.

"Cuma demi cermin lo rela malem-malem pergi ke hutan? Cermin kek gitu di toko banyak kali Zi." Satya semakin takjub dengan jawaban adiknya. Satya juga geram dengan tingkah adiknya yang terkadang sangat aneh.

"Nggak ada yang estetik kek gitu Bang. Lagian kalo ada yang gratis, kenapa harus cari yang bayar?" Zia menjawab dengan enteng lalu meminum susu coklat hangat miliknya.

Karena jam sudah menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit, akhirnya mereka menyudahi acara sarapan tersebut. Seperti biasa, Zia diantar Satya ke sekolah menggunakan motor kesayangan cowok itu.

Zia sampai ke sekolah tepat waktu. Akan tetapi, gadis itu pergi menuju kelasnya dengan tergesa-gesa. Gadis itu baru ingat saat di jalan, kalau hari ini ada ulangan. Dan dia berniat untuk menyempatkan belajar selama beberapa menit sebelum bel berbunyi.

Karena sikap cerobohnya, Zia menabrak orang di depannya yang sedang melintas. Sampai-sampai, pantat Zia harus berciuman dengan lantai koridor.

"Aduuuh! Kalau jalan pakek mata dong!" omel Zia sambil mengusap-usap pantatnya.

"Gue pakek kaki." Jawaban cowok di depannya membuat Zia naik pitam. Gadis itu sudah siap mengomeli cowok yang sudah berani menabraknya.

"Heh lo tuh–" Zia tidak melanjutkan kalimatnya ketika melihat cowok yang sudah ia tabrak. "Elfan? Ngapain lo di sini?"

Baru saja Elfan membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Zia, bel masuk sudah berbunyi. Zia panik karena belum belajar sama sekali untuk ulangan nanti. Dengan segera, gadis itu berlari dan meninggalkan Elfan seorang diri.

Zia sampai di kelas dengan napas yang tidak teratur. Gadis itu duduk di bangkunya untuk menetralisir rasa lelah karena berlari dengan kencang.

"Zi! Lo tau nggak, di kelas kita bakalan ada murid baru. Semoga aja cogan yang dateng." Ara yang duduk di belakang Zia, memberi info padanya yang membuat Zia bersemangat.

"Serius lo?" tanya Zia dengan semangat yang membara.

"Iya. Mending lo berdoa aja deh, biar yang dateng cogan. Kan enak, kita bisa cuci mata tiap hari," ujar Ara sambil terkikik geli.

"Heh! Kalian ya, kalau masalah cogan tuh gercep banget sih. Heran gue." Lio menyambar percakapan Zia dan Ara dengan nada sebal.

"Ngikut mulu lo. Udah diem aja napa," ujar Zia.

Seorang guru masuk ke kelas. Guru itu memberi informasi yang sedari tadi sudah di tunggu-tunggu oleh seluruh siswa kelas XI Ipa 2.

Guru itu lalu mempersilahkan seorang murid laki-laki masuk yang membuat semua kaum hawa klepak-klepek karena ketampanan yang terpancar dari wajahnya.

Lain halnya dengan Zia yang mendengus sebal ketika mengetahui siapa murid baru tersebut. "Jadi ...  murid baru itu Elfan?"

CerminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang