13. Favorite Place

5 0 0
                                    

Saat mereka sudah sampai di supermarket yang sudah diinstruksikan Zia, suasana di sana sangat ramai dan dipenuhi warga. Hal itu membuat Zia semakin cemas.

Segera Zia turun dari boncengan motor Saga dan menghampiri salah satu warga. "Ini ada apa ya Pak?"

"Oh ini Neng, ada kecelakaan."

Bagai tersambar petir di siang bolong, Zia sangat terkejut dengan penuturan salah satu warga tersebut. Kalau saja Saga tidak cepat menangkap tubuh Zia, mungkin tubuh gadis itu akan merosot ke jalanan.

"Kalau boleh tau, ciri-ciri orang yang kecelakaan gimana ya pak?" tanya Saga sopan.

"Perempuan. Masih pake seragam SMA dan naik mobil warna putih. Itu mobilnya," jelas salah satu warga tersebut sambil menunjuk mobil putih yang sudah remuk dan dikerubungi warga.

"Lo kenal Zi?" tanya Saga sambil tetap merangkul Zia agar tidak ambruk.

"A—Ara Saga. Hiks i—itu mobil Ara hiks hiks," ujar Zia sesenggukan.

Saga memeluk Zia dengan erat. Saga juga mengelus rambut Zia agar gadis itu tenang.

"Sekarang keadaan korban gimana Pak? Kebetulan itu temen kita," tanya Saga lagi.

"Sudah dibawa ke rumah sakit terdekat. Tadi sih masih hidup. Doakan saja dia selamat."

Tangis Zia semakin kencang. Bukan karena penuturan warga tersebut, tapi karena kemunculan Silbi dengan senyum meremehkannya. Tidak ingin berlama-lama bersitatap dengan Silbi, Zia memilih untuk menenggelamkan wajahnya di dada bidang Saga.

Zia merasakan kehangatan dalam pelukan Saga. Zia merasa tenang dan aman ketika berada dalam dekapan Saga.

"Sialan nih jantung. Kenapa jadi deg-degan gini sih," gerutu Saga dalam hati.

"Zi, mending kita berangkat ke rumah sakit aja yuk," ajak Saga lalu menggenggam tangan Zia dan menuntunnya menuju motor.

Dalam perjalanan, Saga terus mengamati wajah Zia dari kaca spion. Saga takut terjadi apa-apa pada Zia. Meski mereka sering sekali bertengkar, tapi entah kenapa Saga tetap peduli pada Zia.

"Zi? Are you ok?"

"I'm fine," jawab Zia dengan senyum manisnya. Saga tahu itu adalah senyum palsu karena gadis itu sedang kacau sekarang.

Sesampainya di rumah sakit, Saga segera menarik tangan Zia dan membawanya pada resepsionis.

"Permisi, pasien kecelakaan atas nama Davina Azahra di ruang mana ya?" tanya Saga mencoba untuk tenang.

"Pasien atas nama Davina Azahra sedang di tangani di ruang ICU Mas."

"Makasih ya Mbak." Lagi-lagi, Saga menggenggam tangan Zia dan membawanya ke ruang ICU.

Di depan ruang ICU, tampak kedua orang tua Ara, Lio, Lia, Ibnu, dan beberapa kerabat Ara sedang menunggu gadis itu di tangani dokter dengan wajah cemas.

Kedatangan Zia dan Saga menarik perhatian mereka semua. Zia segera memeluk Lia. Keduanya sama-sama meneteskan air mata. Lio yang melihat pemandangan tersebut, membuat cowok itu nimbrung dan memeluk mereka dengan maksud ingin menenangkan.

"Ara baik-baik aja kan?" tanya Zia kepada sahabat-sahabatnya.

"Doain aja," jawab Lio sambil mengusap lengan Zia.

Lagi-lagi, Silbi muncul dengan senyum menyeramkannya. Silbi memandang Zia dengan tatapan mengejek. Seakan-akan, dia ingin menunjukkan pada Zia bahwa dialah yang menang.

Zia mengalihkan pandangannya ke arah lain lalu pergi meninggalkan teman-temannya tanpa berpamitan. Rasa bersalah lagi-lagi datang menghampirinya. Kali ini, gadis itu ingin mencari tempat untuk menenangkannya. Mungkin, rooftop adalah tempat yang tepat.

Di rooftop rumah sakit, kebetulan ada beberapa kursi usang yang sudah tidak terpakai. Zia duduk di sana lalu memandang pemandangan kota di bawahnya.

Di atas sini, membuat Zia merasa sedikit lebih tenang. Zia memandang hamparan luas di bawahnya. Saat gadis itu menoleh ke arah samping, lagi-lagi Silbi muncul dengan seringai menyeramkannya.

"Mau lo sebenernya apa sih?! Gue punya salah apa sama lo hah?! Kenapa lo gak berhenti ganggu hidup gue?!" Teriak Zia sarkas.

Silbi terkekeh ringan lalu menatap Zia tajam. "Karena kakak udah bikin kematian ku sia-sia!"

"Maksud lo apa?! Gue gak kenal sama lo!" Kristal bening mulai mengalir dari mata Zia.

"Kak Zia emang gak kenal siapa aku! Tapi orang yang paling aku sayangi, kenal dan bahkan sayang banget sama Kak Zia!" Silbi mulai mendekat pada Zia, lalu menarik rambut gadis itu. Sontak, Zia sedikit menunduk sampai tinggi wajah mereka setara.

"Kalau Kakak mau tau siapa orangnya, Kakak bisa dateng di tempat favorit Kakak dan orang yang Kakak sayang," tukas Silbi sok misterius sambil melepas cengkeramannya pada rambut Zia.

"Faedahnya Zia dateng ke sana apa?" Elfan tiba-tiba datang dan menimpali perkataan Silbi. Sedangkan Silbi hanya terkekeh melihat Elfan.

"Dateng aja, nanti juga tahu sendiri," jawab Silbi lalu diakhiri dengan kekehan khasnya.

"Shit." Elfan mengumpat dan menatap Silbi tajam. Saat Elfan mengalihkan pandangannya sebentar lalu menoleh pada Silbi lagi, gadis iblis itu sudah tidak ada di tempatnya semula. Lagi-lagi, dia menghilang.

"El ... menurut lo gue harus dateng apa nggak?" tanya Zia pada Elfan yang sedari tadi mengerutkan keningnya karena berpikir.

"Terserah."

"Gue bingung El. Gue gak tau harus minta saran ke siapa," ujar Zia sambil menghapus air matanya kasar.

"Dateng aja. Siapa tau dapet petunjuk," tukas Elfan datar.

"Tapi gue harus dateng kemana?" Zia memang benar-benar tidak mengerti ia harus pergi kemana. Zia tidak tahu tempat apa yang dimaksud Silbi tadi.

"Tempat favorit lo."

"Tempat favorit gue banyak."

"Tempat favorit lo sama orang yang lo sayang." Kata-kata Elfan membuat Zia mencoba untuk berpikir dengan keras.

"Orang yang gue sayang? Siapa?" gumam Zia.

"Mama lo? Atau Papa lo mungkin?" bantu Elfan.

Zia tersenyum miris pada Elfan. "Gak mungkin kita punya tempat favorit yang sama. Jalan-jalan bareng aja gak pernah." Zia terkekeh miris sambil mati-matian menahan agar air matanya tidak jatuh.

"Pacar? Atau saha—"

"Gue tau!" Zia berteriak dan hal itu membuat Elfan terjingkat kaget karena suara cempreng gadis itu.

"Kevin. Kita dulu punya tempat favorit. Di danau depan rumah peninggalan neneknya Kevin." Mata Zia berbinar senang karena akhirnya ia bisa menemukan tempat yang Silbi sebutkan.

"Ayo kita pergi! Lo mau anterin gue kan?" tanya Zia penuh harap. Gadis itu terlihat sangat bersemangat untuk pergi ke danau meski matahari sebentar lagi akan tenggelam.

Elfan mengangguk sebagai jawaban, dan hal itu membuat senyum di wajah Zia terbit.

"Sekarang udah jam empat. Perjalanan ke sana sekitar satu jam kalau naik motor. Kalau naik mobil, butuh waktu yang lebih lama lagi," jelas Zia.

"Ayo pergi, keburu malem," ajak Elfan dengan wajah yang tetap datar.

"Gue ikut!" Zia dan Elfan tersentak kaget karena ada dua orang cowok yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CerminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang