1

1.3K 209 9
                                    

***

Siang ini Lalisa berjalan di trotoar, matanya sibuk memperhatikan satu persatu bangunan yang ada di sebelah kirinya. Toko bunga, toko pakaian, bar– ah! Akhirnya ia menemukan juga bangunan yang sedari tadi dicarinya. Bangunan itu berbentuk seperti bangunan pertokoan lainnya, dengan tinggi tiga lantai dan papan nama bertuliskan Big Bang yang terlihat dari luar. "Akhirnya ketemu," gumam Lisa begitu ia telah berdiri di depan pintu masuk bangunan itu.

Begitu masuk di lantai dasar bangunan itu, Lisa mengamati sekitarnya. Tempat itu terlihat seperti cafe di mata Lisa. Sebuah meja panjang bertuliskan Resepsionis ada di sudut dekat tangga, di sudut bagian itu meja resepsionisnya terlihat seperti sebuah cafe dengan sebuah mesin kopi, meja kasir sampai beberapa dessert yang terlihat manis. Kemudian di bagian lain lantai dasar itu juga terdapat tiga meja bundar dengan empat kursi di masing-masing mejanya. Benar-benar mirip cafe.

"Ada yang bisa saya bantu, nona?" tanya seorang pria yang sedari tadi berdiri di balik meja bertuliskan Resepsionis itu.

"Aku mencari alamat yang tertulis disini, apa tempat ini sudah berubah jadi cafe sekarang?" tanya Lisa sembari memberikan kartu nama kusam yang ada di tangannya pada pria itu.

"Siapa yang anda cari? Pemilik kartu nama ini?" tanya pria itu setelah ia menerima kartu nama kusam yang Lisa berikan.

Lisa mengangguk, menjawab pertanyaan pria tiga puluh tahunan di depannya. Gadis itu masih sibuk mengamati isi cafe yang hampir kosong itu– tidak ada pelanggan, dessert-dessertnya terlihat palsu dan peralatan membuat kopinya terlihat sangat sederhana– seolah mereka hanya menjual satu jenis kopi di sana.

"Anda datang ke alamat yang benar nona, namaku Kang Daesung, sekarang anda berada di biro Detektif Swasta Big Bang," jawab sang pria yang setelah itu justru bertanya– apa Lisa sudah membuat janji dengan Detektif Kwon sebelumnya.

"Belum," jawab Lisa. "Tapi aku yakin Detektif Kwon akan bersedia menemuiku. Kami pernah punya hubungan yang spesial," tuturnya membuat si pria di hadapannya terlihat sedikit bingung namun masih berusaha untuk tetap tenang di meja kerjanya.

Pria bernama Kang Daesung itu kemudian menelepon seseorang dengan pesawat telepon yang ada di depannya, di sebelah meja kasir. "Detektif Lee? Seorang wanita bernama- siapa nama anda nona? Ah seorang wanita bernama Lisa datang untuk menemui Detektif Kwon, apa beliau ada di tempat?" tanya Daesung berusaha terdengar sopan walau sopan santun memang sudah jadi pekerjaannya selama beberapa tahun terakhir ini.

Sementara itu, di lantai tiga bangunan itu, ada dua orang pria yang tengah bersantai.  Seorang pria sedang menelepon– Lee Seungri yang saat ini bicara pada Daesung di telepon– sedang seorang pria lainnya tengah meringkuk di sofa, masih berbaring bahkan setelah membuka matanya dua puluh menit lalu.

"Jiyong hyung baru saja bangun tidur, masih berusaha mengumpulkan nyawanya sekarang," gumam Seungri menjawab pertanyaan Daesung kemudian menoleh ke arah sofa dan bertukar tatap dengan pria yang sedang ia bicarakan itu. "Hyung, seorang wanita bernama Lisa datang mencarimu," jelas Seungri, sembari menunjukan layar monitornya pada Jiyong– menunjukkan rekaman CCTV di lantai dasar bangunan itu, memperlihatkan seorang gadis dengan jaket kulit hitam serta celana ketat yang juga hitam.

"Wajahnya?" tanya Jiyong dan Seungri mengganti gambar pada layar monitor itu dengan rekaman CCTV di alat kasir, tetap di depan wajah Jiyong. "Rasanya wajah itu tidak asing, siapa tadi namanya?"

"Namanya Lisa," jawab Seungri yang kemudian berucap pada Daesung, menyuruh Daesung untuk mengantarkan gadis berambut hitam itu naik ke lantai dua dan masuk ke ruang tunggu disana.

Kira-kira sepuluh menit Lisa menunggu Jiyong di ruang tunggu itu. Jiyong sengaja membuatnya menunggu karena dia masih mengingat-ingat siapa gadis cantik yang datang itu. Daesung bilang gadis cantik itu mengaku pernah punya hubungan spesial dengan Jiyong, karenanya Jiyong harus membuat Lisa menunggu untuk mengingat-ingat kenangan mereka.

"Kekasihmu banyak sekali hyung," komentar Seungri, yang tetap duduk di kursinya bahkan setelah Daesung datang dan memberitahu informasi tersebut. "Sudah hampir dua puluh tahun aku mengenalmu dan selalu saja ada gadis yang tiba-tiba muncul lalu mengaku sebagai kekasihmu," komentar Seungri membuat Jiyong kemudian bangkit dan berjalan turun ke lantai dua, ke tempat Lisa menunggu sekarang.

Paling-paling mereka pernah tidur bersama beberapa tahun lalu dan sekarang gadis itu butuh uang lalu berencana mengancamnya dengan tuduhan pemerkosaan atau sesuatu semacamnya– pikir Jiyong yang sudah beberapa kali bertemu gadis gila seperti itu. Kadang Jiyong heran, kenapa gadis-gadis putus asa itu mengancam dengan ancaman yang sulit dibuktikan, namun yang lebih mengherankan lagi, ia tetap bisa menanggapi gadis-gadis itu dengan tenang.

Di ruang tunggu, yang berupa sebuah ruangan dengan dinding kaca di keempat sisinya– yang memperlihatkan sebuah kantor pada umumnya– Lisa menunggu. Ruang tunggu itu sebenarnya ruang meeting, dengan sebuah meja besar dan lima buah kursi di sekitarnya, juga papan tulis beroda di sisi kanan ruangan, lalu lembar proyektor putih di sisi lainnya. Begitu masuk, Jiyong menarik seutas tali yang menggantung di dekat pintu, ia membuat sebuah tirai berwarna krem menutupi seluruh dinding kacanya, memberi privasi di antara mereka. Pria itu juga meraih sebuah remote di atas meja, kemudian mengarahkannya pada empat buah CCTV di masing-masing sudut, mematikan kamera CCTV yang mungkin sedang di tonton Seungri dan Daesung sekarang.

"Monsieur, anda mengingatku kan? Aku Lisa, Lalisa Jang,"

"Lama tidak bertemu, Lisa," sapa Jiyong, sembari melangkah duduk di depan Lisa, bersela sebuah meja diantara mereka. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya, kini Jiyong mengenali gadis itu. Si gadis lugu yang pernah bertemu dengannya sekitar sepuluh tahun yang lalu.

Perjalanan ke Osaka dalam rangka membuntuti istri perdana menteri yang dicurigai suaminya, di ruang kabin untuk dua orang dalam kapan Panstar. Anak yang mempesona– itu yang muncul dalam ingatan Jiyong disaat ia mengenali Lisa yang datang padanya. Anak yang mempesona, tentu saja anak yang mempesona karena saat pertama kali mereka bertemu, Lisa masih sangat belia. Ketika itu, Lisa masih begitu muda, begitu bersemangat, menggebu-gebu, penuh rasa kagum dan pemujaan– seolah ia dengan senang hati memberikan jiwanya pada pria dewasa yang ditemuinya di kabin kapal. Keluguan, juga kepolosan yang tergambar apa adanya seperti seorang anak-anak saat itu terasa sangat mempesona terlebih bagi pria dewasa seperti Jiyong.

Senang rasanya melihat anak lugu nan polos itu, anak yang rasanya belum pernah tahu bagaimana kerasnya dunia, anak yang kelihatannya tidak pernah tahu bahaya yang akan selalu mengintai dirinya. Setidaknya, dulu itu alasan Jiyong menyukainya. Dulu Lisa membuat Jiyong merasa berkuasa, merasa serba tahu dan merasa punya kendali– karena gadis polos nan lugu yang tidak tahu sebahaya apa seks bebas itu bersedia patuh padanya. Konon, pria tidak butuh perhatian, konon mereka hanya butuh penghargaan atau pujian atau apapun yang bisa membuat mereka hebat– dan itu yang Jiyong dapatkan dari si anak kecil di Panstar sepuluh tahun lalu.

Setelah beberapa detik berbasa-basi, keheningan menyergap. Sekarang Lisa terlihat sedikit gelisah, ia menautkan kedua tangannya, jemari kanannya menyelinap di sela jemari kirinya dan sebaliknya, sedikit ia basahi bibirnya kemudian memejamkan matanya– "Jiyong oppa, aku ingin oppa membantuku," ucapnya, langsung ke alasannya datang.

"Ya?"

"Uhm... Dulu sebelum kita berpisah di Osaka, oppa bilang kalau aku bisa menghubungimu kapan pun, kalau oppa akan membantuku, apapun, kapan pun dan dimana pun aku butuh bantuan, aku datang untuk menagih janji itu."

Jiyong memang pernah mengatakannya. Saat hendak berpisah, seseorang memang biasa mengatakan basa-basi seperti itu. Mereka mengatakannya tanpa merasa perlu menepatinya, dan biasanya orang yang mendapatkan tawaran itu pun tidak akan menagih janji itu. Sangat, sangat jarang ada orang menepati janji itu terlebih setelah sepuluh tahun lamanya. Gadis itu masih cantik, dan sepertinya juga masih tidak mengetahui apapun– cara orang berbasa-basi misalnya.

"Tolong, kami oppa, kami dalam masalah-"

"Kami? Kau sudah menikah?"

"Belum, maksudku aku dan teman-teman yang tinggal denganku, kami dapat masalah karena kematian salah satu teman kami."

***

Help Me, Monsieur!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang