[8] Mata-Mata?

38 9 14
                                    

.

.

.

.

Teh hangat yang tadi masih mengepulkan asapnya kini sudah dingin, si empunya sedang asik bermain tebak gambar di ponsel.

"Sen, kamu main games terus. Kapan mikir mau kuliah?" ujar seorang wanita yang sangat mencolok dengat lipstik merahnya.

Tidak ada jawaban dari Arsen, dia tetap fokus pada permainannya. Hal ini membuat Intan sedikit kesal.

"Arsen, kamu dengar Mama bilang apa, kan? Kita gak ada kendala biaya sama sekali, tapi kamu selalu bilang, iya nanti Arsen pikirin. Gimana?" Intan bersikap lebih tegas sekarang.

Arsen meletakkan ponselnya. "Iya, Ma. Arsen bakal kuliah, Arsen cuma lagi cari jurusan yang Arsen minat. Dan sampai sekarang belum ketemu."

Intan menghela napasnya, anaknya ini sangguh keras kepala. Dari dulu di suruh untuk ambil jurusan manajemen bisnis, agar bisa ikut ambil bagian di perusahaan papanya.

"Kenapa harus susah payah mencari kalau udah dipilihkan. Toh, ujung-ujungnya kamu bakal megang perusahaan papa,"
Intan memperbaiki rambutnya lalu lanjut bicara. "Jadi, perusahaan kita jauh lebih mantap saat sudah kamu yang kendalikan."

Arsen diam, dia bingung harus jawab apa lagi. Yang dikatakan Intan memang benar, namun beri waktu untuk dia memilih. Bila nanti memang tidak ada pilihan, baru ia akan ke jurusan itu.

"Kamu itu anak Mama yang paling kecil, abangmu udah menikah, dia juga udah membangun perusahaannya sendiri. Kakakmu pun udah menikah, sedang mengandung pula. Dia bakal jadi ibu rumah tangga, dia emang gak mau jadi wanita karir." Intan memang ibu yang cerewet tapi itu semua agar anak anaknya terdidik dengan baik.
Arsen mencoba membela diri, namun segera di potong oleh Intan lagi.

"Papa juga gak bakal sanggup selamanya kerja, jadi emang cuma kamu yang kami harapkan." Intan menatap Arsen begitu dalam.

Arsen benar benar bungkam, diam seribu bahasa. Kali ini Intan tampak sangat serius dalam pembahasan ini.
Arsen tidak ada pilihan lain selain meminta waktu untuk dia merenungkan pilihan orang tuanya. Agak berat, tapi itu yang harus terjadi.

Tap tap tap ...

Intan meninggalkan kamar Arsen, dia juga wanita yang sibuk, dia harus menjaga anak perempuannya yang sedang hamil muda.

Ting!

Sesaat setelah itu ada pesan yang masuk. Segera Arsen mengecek ponselnya. Sebuah pesan datang dari Aldo, isinya mengatakan bahwa ia dan teman teman yang lain ada di depan pagar.

"Lama, woi," ucap Devan yang sudah kepanasan di luar.

Usai pagar dibuka, mereka langsung masuk dan menuju tempat nongkrong mereka, rumah pohon di taman belakang rumah.

"Ngapa lagi sih, lo? Melamun terus," tanya Aldo yang sedari tadi memperhatikan Arsen diam tidak banyak bicara.

Arsen melirik ke arah Aldo, kemudian menegakkan punggungnya dan duduk dengan baik.

"Muka gue kayak lagi susah amat, ya?" Arsen malah bertanya balik.

"Muka lo itu kayak lagi mikirin gimana ngasih makan anak istri, tau. Masih muda, juga."
Raka terkikik mendengar ucapan Devan yang ceplos ceplos.

"Gak gitu, bos. Gue tuh lagi mikir, apa gue setuju aja buat masuk ke jurusan yang mama gue pilihin," jawab Arsen sambil memijit bahunya sendiri.

Raka yang tadi berdiri kini memilih duduk karna kakinya sudah lelah. Dia duduk menghadap Arsen.

"Ya terima aja lah, pilihan orang tua gak akan salah, gitu kata ibu gue." Raka menasihati Arsen.

SERENDIPITY [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang