bagian kedua belas

71 6 0
                                    

Reot, lapuk, dan sebenernya tidak terlalu layak untuk di huni.

Nabila membuka pintu rumahnya, ia baru pulang.

Pukul 21:13 WIB.

Macet membuatnya terjebak lama bersama Kevin, yang notabene sudah resmi menjadi anak buahnya. Yang kapan saja bisa ia atur nanti. Siap-siap saja Kevin!

"Assalamualaikum."

Nabila sudah membuka sepatunya, baju gadis itu sedikit lembab karena Kevin hanya mengantarnya di depan gang. Bukan sampai di depan pintu rumah.

Dasar!

Ia duduk di tikar pandan, melepas kaos kakinya lalu masuk kedalam kamar untuk berganti baju.

Ibu yang tadinya dari belakang, ketika mendengar salam dari Nabila, ia bergegas ke ruang tengah.

Nabila ini kemana saja, jam segini belum juga pulang." Tadi Ibu sempat khawatir. Terlebih Bandung sedang hujan deras malam ini.

"Nabila? Loh kemana dia?"

"Sebentar, Bu."

Nabila keluar. Menghampiri Ibu yang sudah duduk di tikar pandan rumahnya yang tepi-tepinya sudah sedikit rusak.

"Dari mana?" tanya Ibu.

Nabila tahu ibunya khawatir.

"Ibu tahu kan cowo yang ngantar Bila ke tempat jualan tadi?" Ibunya menganguk, Ibu mendongak, "terus, kenapa?"

"Nah, Ayahnya itu kepala sekolah Nabila, Bu. Dia minta Nabila untuk jadi coach futsal pribadinya. Dan Nabila nanti di kasi fee."

Ibunya mendongak lagi menatap Nabila, "fee itu apa?"

Nabila menggaruk dagunya, "ehm. Sejenis bayaran gitu lah pokoknya Bu."

Ibunya diam.

"Jangan terlalu percaya dengan laki-laki Nabila. Ibu masih bisa ngasih kamu uang jajan. Masih banyak pelatih yang bisa mereka bayar. Sudah. Jangan macam-macam lagi."

"Tapi Bu, keluarga mereka baik kok."

"Dari mana kamu tahu? Kamu baru sehari kenal sama mereka. Percaya sama Ibu. Jangan percaya lagi sama yang namanya laki-laki." Ibu menggantung ucapannya. Sejenak ia menunduk.

Mereka terdiam, hening yang cukup lama. Hanya berdua. Adik Nabila sudah berada di dalam kamar dan tertidur. Sempat terdiam cukup lama, sampai akhirnya Ibu membuka percakapan kembali.

Ibu menatap lamat-lamat wajah anak pertamanya, yang ia tahu, bahunya sekuat baja, yang hatinya seteguh besi. Yang telah banyak merasakan kesialan dan kesusahan karena dirinya.

"Biar Ibu saja yang sakit Nabila. Biar Ibu saja yang di kasarin. Kamu jangan, kamu ga boleh seperti Ibu. Kamu ga boleh ngerasain apa yang Ibu rasakan."

Terdengar pelan-pelan suara isakan, Ibu menangis. Nabila menunduk. Rasanya ada memori yang hadir kembali setelah bertahun-tahun mereka coba lupakan. Mereka sama-sama benci, sangat benci dengan ingatan mereka berdua.
Memori itu suram, sangat menyeramkan.

Dimana di suatu malam....

"Dasar perempuan tidak berguna!" Dari arah dapur, dentingan piring pecah terdengar. Berkali-kali. Setiap bunyi pecahan kaca yang jatuh kelantai itu, setiap itu pula terdengar suara perempuan mengaduh dan menjerit.

"Jadi perempuan itu cerdas sedikit. Pulang itu bawa uang yang banyak. Kalau perlu kamu pergi ke hotel, jual harga dirimu disana! Dasar bodoh!"

Ia memukul perempuan di depannya dengan panci dapur tepat di bahunya. Menerajangnya tepat di ulu-ulu hati perempuan itu. Setiap malam. Setiap ia tak puas dengan uang yang di dapat dari perempuan itu, setiap itu pula, lelaki itu membuat istrinya sendiri lebih dekat dengan maut.

Derap langkah besar mengentak-hentak lantai tanah tanpa alas, langkah itu sempoyongan. Lelaki pemilik kaki besar itu tengah mabuk dengan memegang sebotol anggur merah. Matanya merah, menjalar ke dadanya juga. Nafasnya tak menentu.

"Sh*it" umpatnya.

Ia keluar, sebelum terlebih dahulu menendang pintu kamar yang di dalamnya, berada anak kecil yang tengah terisak menangis dengan bantal sebagai penutup telinganya. Ia memeluk boneka kelincinya erat.

Seerat detak jantungnya yang melaju lebih cepat, seerat ketakutannya yang melonjak naik, setiap mendengar pertengkaran diantara kedua orangtuanya. Seerat kesedihannya yang tak sanggup lagi untuk melihat tubuh lebam ibunya setiap kejadian itu.

"AKU BENCI AYAH, BU!"

TOM BOY VS BAD BOYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang