6. Genderuwo

496 34 6
                                    

Oleh: Sembur Banyu

***

Saudara kita yang berada pada sisi dan lapisan dunia lain terkadang memiliki cara-cara yang unik untuk berkomunikasi. Entah karena ingin meminta bantuan atau hanya sekadar untuk menyapa. Namun, tak sedikit pula yang merasa kaget atau bahkan malah terganggu karena tak memahami pola interaksi yang mereka lakukan. Sudah seharusnya kita belajar mengerti bahwa kita tak sendiri, hidup berdampingan dengan yang ada di seluruh alam. Termasuk yang gaib. Yang sebenarnya adalah teman kita juga, karena kita sama-sama dilahirkan Tuhan untuk mengisi alam semesta. Meskipun tak semua orang dapat merasakan atau melihatnya. Berpikirlah demikian, maka akan terjadi keseimbangan. Sama-sama ciptaan Tuhan. Tak akan ada gangguan. Karena sejatinya kita berteman.

***

EPISODE 6

***

Lagi-lagi sorot terang sinar rembulan menerangi sisi-sisi langit yang mulai terlihat begitu kentara, tepat di tengah malam. Dan beberapa langkah kaki diperdengarkan olehnya seperti memotong keheningan yang telah menyelimuti malam ini.

Terlihat dua sosok anak manusia yang berjalan menuju belakang rumah, tepat ke arah sebuah pohon tua, pohon yang entah mengapa terlihat tak biasa. Yang bahkan mampu membuat orang biasa ingin segera untuk memalingkan wajahnya. Membuat tak betah memandangnya karena perasaan aneh yang mampu memberikan sugesti pada bulu kuduk untuk segera berdiri.

Sorot mata yang tadinya kelam perlahan mulai lunak dengan pandangan sayu namun disertai tubuh yang masih kaku. Belum sehangat gerakan yang menenangkan. Masih membuat cemas yang menyaksikan. Begitulah kondisi Trubus terlihat oleh yang hadir dalam ruang tamu, malam itu.

Mutut sang Ibu pun sedari tadi masih komat-kamit membacakan doa sebisanya dengan tetap mengelus kepala anak kesayangannya. Dalam hatinya sempat terlintas, apa salah anaknya sehingga terjadi yang demikian. Kalau bukan salah anaknya, apa mungkin ini salahnya sendiri atau bahkan suaminya? Begitulah. Benar-benar kalut pikirannya, melihat anak gadisnya yang begitu manis sebelumnya tiba-tiba hari itu menjadi sebegitu menyeramkan.

Dalam ruangan itu tampak pula sepasang tetangga yang sedari tadi menemani keluarga Trubus. Terlihat sang wanita yang dengan sabarnya menemani dan masih dengan posisi memegangi tubuh Ibu Trubus yang memang belum pulih karena dua kali terjatuh pingsan sebelumnya. Begitu pula dengan sang lelaki yang dengan pandangan tajam mengawasi mereka dan sekitar ruangan seperti yang sudah diinstruksikan oleh Mbah Yai sebelumnya yang kini sedang berada di belakang untuk menyelesaikan tugasnya.

Di bawah cahaya rembulan, terlihat begitu jelas apa yang dua orang itu sedang lakukan. Ya, mereka adalah Mbah Yai yang sedang ditemani Bapak Trubus. Melakukan ritual untuk penyelesaian. Penyelesaian permasalahan yang terjadi di keluarga ini.

Terlihat Mbah Yai sedang duduk bersila tepat menghadap ke arah pohon tua yang memang disebutkan arwah Estu sebelumnya sebagai "punjer" (pokok) permasalahan yang terjadi pada keluarga Trubus seharian ini. Di belakangnya terlihat Bapak Tubus yang sedari tadi masih komat-kamit melafalkan doa dan ayat-ayat pendek sesuai anjuran Mbah Yai disertai pandangan ke segala penjuru arah karena khawatir dan merasa bergidik melihat suasana malam yang begitu mencekam. Sedari tadi.

"Sing ono ning kene, ndang metu. Ojo nggarai perkoro. Podo mahluke."
(Yang berada di sini, silahkan keluar. Jangan membuat perkara. Kita sama-sama mahluk-Nya)

Tiba-tiba Mbah Yai mengucapkan kalimat yang tak diduga sama sekali oleh Bapak Trubus yang sedari tadi di belakngnya. Sontak hal ini membuatnya bergidik. Dengan banyak pertanyaan, terutama apakah di tempat ini ada penunggunya?

Hanya selang beberapa detik setelah ucapan Mbah Yai, seketika itu juga muncullah asap yang tiba-tiba mengepul dan membesar tepat berada pada tanah di depan Mbah Yai. Bapak Trubus yang menyaksikannya pun semakin kaget dan merasa keringat dingin sudah mulai membasahi bagian-bagian tertentu pada tubuhnya.

Tak disangka, di balik asap itu muncul sosok yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sosok yang terlihat hitam legam begitu tinggi besar dengan kaki panjang yang penuh kuku tajam pada jari-jarinya. Badan besar penuh bulu yang terlihat sedikit membungkuk. Lengan yang besar dan panjang hingga dengkul disertai kuku yang menghitam. Kepala yang dipenuhi bulu panjang. Mulut yang sesekali mengeluarkan busa dan air liur yang menetes ke tanah. Lidah yang memanjang disertai gigi-gigi runcing dengan susunan gigi bawah menjulang ke atas. Hidung yang terlihat seperti anjing, serta diikuti bentuk mata tanpa alis yang besar dan memerah terang penuh amarah serta dendam seakan terlihat siap menerkam siapa saja yang ada di depannya.

Seketika itu pula kemunculannya membuat Bapak Trubus terlihat semakin bertambah gemetar, tak terbayangkan sebelumnya mengapa ia sampai melihat sosok yang sedemikian mengerikan muncul, bahkan tepat berada di depannya. Ingin lari sebenarnya, tapi entah mengapa tubuhnya serasa mati rasa. Bahkan kakinya terasa tak ada tenaga sama sekali walau hanya sekadar untuk di gerakkan. Meskipun di depannya ada sosok Mbah Yai yang terlihat tenang dan tetap tersenyum ramah. Pada mahluk itu.

"Grrrr.... grrrrr.... grrrrr....."

Dan kemudian mulai terdengar erangan-erangan kecil dari mulut mahluk yang terlihat begitu menjijikkan tersebut disertai dengan air liur yang kembali mulai menetes pada badan yang kemudian sisanya meluncur ke tanah.

"Lapo ganggu aku?! Kene iki omahku!", terdengar jelas dengan suaranya yang besar mahluk itu mulai membuka komunikasi pada Mbah Yai yang masih tetap duduk bersila.

"Lho, kok ngono lo ngger. Awakmu kui salah manggon. Kudune ora ning kene.", sahut Mbah Yai yang memanggil mahluk tersebut dengan panggilan "ngger" yang biasanya dilakukan oleh orang yang lebih tua kepada anak yang jauh lebih muda. Ya, sepertinya kali ini Mbah Yai menganggap dan memperlakukan mahluk itu seperti anak-anak yang tak paham dan tak tahu tempat untuk tinggal dan bermain. Yang dianggap tak memahami apakah mengganggu yang lain atau tidak.

"Ojo ganggu aku. Hey, wong tuwek!!! Timbang tak obrak-abrik sekitarmu!!!", bentak mahluk itu pada Mbah Yai yang sedari tadi masih terlihat tersenyum. Sepertinya senyuman Mbah Yai mulai membuat kesal mahluk itu.

"Kowe iki dikandani kok angel men. Pantes nek koyo bocah cilik sing ora kenek dituturi.", sahut Mbah Yai yang sepertinya sontak membuat mahluk itu terbelalak dan merasa dirinya telah direndahkan oleh manusia tua yang ada di depannya.

"Whuuuuussssss...!!!"

Seketika itu terlihat tangan kiri mahluk itu berusaha melayangkan cakaran tepat ke arah Mbah Yai yang sedari tadi masih tersenyum padanya.

"Awas Mbahhh......!!!"

Terdengar teriakan histeris Bapak Trubus yang sedari tadi berada tepat di belakng Mbah Yai.

BERSAMBUNG

Visit
IG: semburbanyu
TikTok: semburbanyu
Youtube: semburbanyu

SURUPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang